Selasa, 03 Mei 2011

61. KETIKA MUSIM PANEN USAI

Oleh : Hasbullah Said.-


KALI pertama lelaki itu menginjakkan kakinya dikota ini. Dia datang dari sebuah desa yang jauh terpencil. Baginya, masih terasa sangat asing buat segalanya. Namun dipaksakannya ia ayunkan langkahnya mengitari seputar taman kota. Begitu dia berjalan perlahan sekali seolah tanpa ada keraguan akan tersesat, kendati baru pertama kalinya ia kesini.
Sesekali ia menyedot rokok kreteknya yang terselip lurus dibibirnya. Diepul-kannya membentuk pusaran bola-bola asap kecil kemudian pecah membubung keatas. Sekadar penyejuk hatinya yang galau serta untuk menghangatkan suasana kebekuan malam yang kian kelam.
Angin malam terasa lembut mengelus kulit ari tubuhnya dibalik jaket blue jeans yang ia kenakan, bertiup dari arah pantai letaknya tak jauh dari taman kota. Bunyi sandalnya terdengar melangkolik terseret perlahan berbaur dengan suara-suara kendaraan yang hiruk-pikuk lalu-lalang didekatnya membuat ia terheran-heran melihatnya. Jauh beda dengan kondisi didesanya, malam seperti ini sudah sunyi-senyap, penduduknya sudah pada tertidur pulas, mungkin karena seharian kecapain bekerja keras disawah ladang mereka.
Lelaki itu berjalan dan berjalan lagi, dan setelah letih ia rehat duduk sendirian diatas bangku beton taman kota tanpa ditemani oleh siapa-siapa.
Ditaman itu perlahan ramai dipadati oleh pengunjungnya datang dari berbagai arah. Sesaat lampu taman menyala terang membuat suasana malam teramat indah romantis dan sangat mengesankan baginya.
Ada kecemburuan lahir dihati lelaki itu melihat beberapa pasang remaja duduk santai dikeremangan lampu disudut taman bermesraan sambil bercumbu rayu. Disedotnya kembali rokok kreteknya kemudian membentuk pusaran-pusaran asap kecil lalu di hembuskannya keatas.
Setelah lama ia duduk ditaman, ia bangkit lalu berjalan lagi menuju pinggir pantai yang letaknya tak jauh dari taman kota.
Langkahnya gontai melahirkan suara melangkolik dari seretan sandalnya bersentuhan dengan aspal yang hitam pekat. Sesaat, sebuah suara terdengar sangat halus dan lembut dipendengarannya memanggil-manggil seseorang. Akhirnya ia yakin bahwa suara itu adalah suara seorang perempuan.
“Hai,…..anak muda!” begitu panggilnya perlahan, namun ia tak menoleh sedikitpun kearah datangnya suara itu, tetap ia melangkah dan melangkah lagi, karena ia tak begitu yakin bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya.
“Hai, anak muda yang merokok,............!” panggilnya sekali lagi dengan suara sedikit lebih keras dari semula. Langkahnya terhenyak, lalu berpaling ia kearah datangnya suara itu.
Yakinlah sudah bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya. Sesaat di hadapannya kini telah berdiri tegak sesosok perempuan yang sangat cantik jelita memakai busana muslim kerudung putih bersih dengan bau farfum yang menyengat menyeruak masuk dihidungnya. Ia seolah bermimpi ketemu dengan seorang anak bidadari turun dari kahyangan. Dengan agak ragu lelaki itu berujar.
“Ada perlu apa kau panggil-pangil aku?” tanya lelaki itu sambil menatapnya lekat-lekat.
“Boleh tidak aku tahu, anda hendak kemana?” balik perempuan itu bertanya dengan melempar senyum manis kepadanya.
Tetapi lelaki itu tidak secepatnya menyahut. Ia diam, lalu menatap kesekujur tubuh perempuan itu. Akhirnya ia yakin bahwa perempuan yang berdiri di-hadapannya adalah perempuan baik-baik bukan perempuan nakal seperti sering orang dapati diseputar taman kota bila malam-malam seperti ini. Dari busana muslim yang dikenakan perempuan itu, maka tambah yakinlah ia dan tidak merasa curiga sedikitpun terhadapnya. Kemudian lelaki itu menyahuti tanyanya.
“Aku akan mengikuti ayunan langkahku kemana ia mau pergi.“
“Lucu ya.“ gumam perempuan itu sembari mendekati lelaki itu dengan langkah berjingkrak-jingkrak kelihatannya seperti tak menyentuh tanah.
Malam perlahan merayap ketitik larutnya. Lelaki itu masih diam membisu sambil memperhatikan tingkah lakunya yang aneh. Akhirnya ia semakin tertarik pada perempuan di hadapannya yang memiliki suatu daya pikat yang luar biasa membuat ia sangat kagum memandangnya.
“Sudikah engkau menolong aku?” pinta perempuan itu ramah dengan nada sangat lembut. Lahir kini dihati lelaki itu rasa simpati padanya tanpa ada keraguan sedikitpun.
“Kalau boleh aku tahu, barangkali apa yang aku bisa bantu?” tanya lelaki itu dengan membalas senyumnya.
“Aku hanya mohon bantuannya untuk mengantarku pulang kerumah karena aku kemalaman, dan malam-malam seperti ini aku takut terjadi apa-apa pada diriku dalam perjalananku pulang, maklum dikota besar seperti ini sering terjadi sesuatu yang tidak dinginkan apalagi aku seorang perempuan, aku baru saja pulang dari sebuah pesta pernikahan.“ katanya dengan nada iba memelas penuh harap. Suaranya begitu halus lagi lembut dipendengarannya bagai bulu perindu mendayu-dayu tertiup angin lalu. Hatinya luluh. Terenyuh. Ia segera akan menolongnya.
“Ya, apa salahnya bila aku menolongmu.“ ujar lelaki itu.
“Terima kasih.“ balasnya lagi dengan senyum manis tersungging dibibirnya nan merah.
Malam perlahan dipagut sepi menuju titik larutnya yang beku. Kendaraan dijalan-jalan telah mulai berkurang. Perempuan itu memanggil sebuah becak untuk ditumpangi bersamanya pulang kerumahnya. Kemudian mereka saling mengenalkan diri masing-masing.
“Kenalkan, nama saya Sumiaty.“ ujar perempuan itu sambil mengulurkan tangannya menyalami lelaki itu.
“Badollahi.” balasnya memegang tangannya sambil menatap wajahnya lekat-lekat.Terasa sangat dingin bagaikan es batu ketika menyentuh tangan perempuan itu yang begitu lembut. Sementara becak yang mereka tumpangi berjalan diatas aspal yang mulus dikeheningan malam yang kian mencekam. Roda-roda ban becak itu melahirkan suara khas bergesekan dengan aspal memecah kebekuan malam.
“Kalau boleh aku tahu, Kak Dollah ini asalnya dari daerah mana?” tanya perempuan itu lagi setelah sekian lama terdiam.
“Aku dari desa Anta Brantah.“ sahut lelaki itu apa adanya.
“Dimana itu?” tanyanya lagi sembari mengernyitkan keningnya.
“Nun jauh disana.“
“Tapi datangnya kapan?”
“ Tadi siang.“
“Lalu sudah berapa kali Kak Dollah datang dikota ini?” tanyanya lagi.
“Baru pertama kalinya, ketika pasca panen didesaku banyak anak muda datang kekota ini termasuk aku untuk beristirahat sambil melihat-lihat keramaian kota sehabis kerja keras disawah ladang kami.”
Perempuan itu mengangguk tanda mengerti bahwa Badollahi adalah anak desa yang baru pertama kalinya datang kekota ini. Akhirnya mereka kembali diam. Diam bersama kebekuan malam yang kian mencekam. Sementara becak berjalan terus, kemudian belok ketimur menuju arah pinggiran kota.
Dan akhirnya tak terasa oleh mereka telah tiba dipinggiran kota yang amat sunyi. Sepi-lengang. Tidak ada lampu-lampu jalan yang dapat menerangi perkampungan itu sehingga kelihatannya nampak gelap gulita seperti kota mati.
“Kita telah berada dimana?” tanya Badollahi setelah sekian lama tak ada suara diantara mereka.
“Rumahnya masih jaukah.“ ulangnya lagi bertanya tak sabar.
“Sudah dekat, didepan situ!” sahutnya sambil menunjuk kearah sebuah kuburan tua yang amat sepi ditumbuhi semak dan rumput ilalang. Timbul keraguan dihati Badollahi melihat situasi yang semakin meragukan. Hatinya didalam gamang. Bulu kuduknya kini merinding, rasa ketakutan tiba-tiba datang bergelayut dihatinya ketika mereka tiba dikuburan tua itu.
“Berhenti disini,…. sudah sampai, rumahku ada didalam situ, aku tinggal dibawah tanah, mari masuk Kak Dollah!” ujarnya sambil meloncat turun dari atas becak, lalu ia berlarian masuk kekuburan tua itu, setelah ia menyerahkan uang lima ribuan kepada tukang becak itu.
Dengan langkah berjingkrak-jingkrak, kakinya diayunkan perlahan kelihatan tak berpijak tanah seolah melayang-malayang diudara lalu menghilang lenyap dipandangan Badollahi ditelan oleh kegelapan malam yang bisu. Keringat dingin mengalir perlahan disekujur tubuhnya, basah hampir menyatu dengan bajunya, kendati angin malam telah mulai berhembus lembut dari balik semak belukar.
“Mari kita cepat pulang.” bagitu panggilnya gegagapan kepada tukang becak itu kemudian segera meninggalkan kuburan tua itu pulang menuju rumahnya.
Dalam perjalanannya pulang, baru ia sadar bahwa Sumiaty perempuan yang ditemaninya tadi sudah lama meninggal, dia adalah korban pemorkosaan kemudian dibunuh dengan sangat sadis oleh pelakunya.
Kejadian serupa telah pernah pula dialami oleh seorang lelaki tak dikenal pada beberapa tahun silam. Malam-malam seperti ini telah ditemukan oleh warga seorang lelaki malang terbaring diatas sebuah kuburan tua tidak sadarkan diri hingga keesokan harinya. Begitu penuturan tukang becak itu, kemudian ia berlalu meninggalkan Badollahi dikeremangan malam nan beku.
Cerita itu diketahui jauh sebelumnya, telah menjadi perbincangan hangat berkembang terus setiap usai panen didesanya. Tak lupa lelaki itu memanjatkan doa semoga arwah almarhumah yang pernah teraniaya, diterima disisi-Nya.Amin….!.(*)


Makassar, 22 Mei 2008

Harian Radar Bulukumba, 18 Mei 2009
Harian Cermin Reformasi Ternate, 15 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar