Selasa, 03 Mei 2011

62. PENGHUNI RUMAH TUA

Oleh : Hasbullah Said.-

PERSIS dijalan buntu lagi sempit. Dulu bergelar daerah Texas sebelum dibangun perumahan mewah. Disitu ada rumah tua, sesudah persimpangan jalan berakhir dan sebelumnya beberapa buah rumah cantik berjejer sangat rapi. Diujung situlah rumah dimaksudkan.
Dalam urutan berderet panjang, mungkin rumah itu yang paling lama dan tua. Sangat sederhana bentuknya dengan sapaan orang rumah antik. Catnya begitu buram kelihatannya malah terlalu kuyu dibanding dengan deretan rumah lainnya bercorak gaya minimalis.
Model rumah itu gaya lama. Bubungan atapnya bungkus nasi ala rumah Jawa. Sangat kontras dengan rumah-rumah yang ada dideretannya. Maklum, rumah itu dibangun jauh sebelumnya.
Entah, beberapa puluh tahun yang silam. Jelas bahwa rumah itu sudah tua dan lama, karena dilihat kap bagian atasnya terbuat dari atap seng yang telah usang berubah warna kecoklatan penuh karatan. Jarak dari perumahan mewah itu ada sekitar 100 meter jauhnya sehingga tak terusik oleh suara-suara bising apalagi suara kendaraan bermotor karena agak jauh dari jalan raya. Suasananya terasa tenang aman dan tentram.
Ketika malam tiba, maka burung-burung malampun banyak yang hinggap diatas sebuah pohon besar yang tumbuh bersejajar dengan rumah itu, lalu nginap sehabis mencari makan mengepakkan sayapnya kemudian burung-burung itu diam bersama diamnya malam yang mencekam. Pohon beringin sangat ditakuti sebagian orang karena konon disitu tempatnya banyak bermukim mahluk halus.
Sangat angker memang kelihatannya bila memandangnya dari jauh. Nada-nada sumbang sering terdengar bagi setiap orang lewat disitu meninggalkan kesan bulu kuduknya berdiri seolah ada penunggunya yang menggidik-gidiknya.
Padahal pohon itu berfungsi sebagai kipas angin raksasa yang dapat melahirkan kesejukan mengusir jauh gerah udara siang yang sangat menyiksa.Terlalu berani Uwak Nongka tinggal sendirian disitu. Semua orang bilang begitu. Terkenal daerah texas, konon dahulu siapa saja masuk diwilayah itu tak akan pernah pulang-pulang lagi. Hilang tak tentu dimana rimbanya. Bak ditelan bumi.
Rumah kecil mungil harus menyiasati bentuk dan ukurannya, karena disuatu ketika usia jelang senja tenaga telah tiada untuk merawatnya, pula isi kantong telah mulai menipis. Maka rumah itu akan memperoleh julukan rumah hantu. Karena tak terawat lagi. Tak ada tenaga, tak ada biaya, tak ada orang yang dapat membantu memperbaikinya.
Lihatlah, gordyn jendela warna pink tergerai terkulai lesu telah berubah warna kusam. Langit-langit rumah ruang tamu satu-persatu copot dari tempatnya terlihat bolong sangat mengganggu pemandangan bagi siapa saja yang melihatnya.
Dihalaman rumah itu ada bunga-bunga terkulai layu menunggu siraman air sejuk dari pancuran air kran. Dan rumput liarpun mulai tumbuh satu persatu dibalik celah vaping block yang ditumbuhi lumut hijau, membentuk semak-semak kecil tempat bersembunyi gerombolan tikus rakus.
Ada benarnya kalau orang mengatakan rumah hantu. Semua itu terjadi sesudah orang-orang yang tinggal bersamanya telah meninggalkannya pergi mencari kerja didaerah lain setelah mereka selesai studinya. Penghuninya sepasang suami istri yang lanjut usia tidak dikaruniai anak, yang tinggal bersamanya dulu, adalah anak angkat.
Hanya tinggal kenangan baginya, foto-foto wisuda terpajang berderet santun diruang tengah rumahnya tak ubahnya seperti foto pahlawan revolusi, sesekali ia tatap dengan mata rabunnya. Tinggallah berdua lelaki lansia itu bersama istrinya dalam kesunyian yang amat mencekam.
Lelaki yang bernama Uwak Nongka dengan sepasang mata rabunnya ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan lesu, mengayunkan langkahnya perlahan menuju teras rumahnya menghardik anak-anak yang mencuri mangga harumanis yang tengah berbuah ranum tumbuh dihalaman depan rumahnya.
Pada sisi bagian utara rumah itu terdapat sebuah rawa kangkung liar yang sangat luas. Terkesan lahan tidur tak bertuan. Tanah seluas kurang lebih satu setengah hektare, lokasinya berada dalam posisi yang sangat strategis cocok untuk dijadikan sebuah tempat permukiman elit karena letaknya tidak terlalu jauh dari poros jalan raya.
Sudah pasti pemiliknya akan mengantongi uang bermilyaran rupiah bila ia mau menjualnya sekarang. Entah, sudah berapa banyak developer pengembang melirik rawa kangkung itu untuk dijadikan perumahan mewah karena lokasinya sangat strategis berada ditengah-tengah kota. Namun pemiliknya masih pikir-pikir dulu untuk menjualnya, karena belum ada kecocokan harga yang pantas dari calon pembelinya.
Pemiliknya tuan tanah bernama Pak Haji Nasrun sering disapa Pak Nas, dikenal memang sangat cerdas memiliki pengetahuan luas tentang letak tata kota yang membujur panjang dari arah utara ke selatan, sehingga pengembangan kota satu-satunya pasti larinya kearah timur karena sebelah barat kota berbatasan dengan laut bebas tidak mungkin untuk dijadikan pemukiman penduduk.
Sedikit demi sedikit Pak Nas berupaya membeli tanah diwilayah timur kota dengan harga yang sangat murah, akhirnya lama kelamaan dia memiliki berapa puluh hektare tanah disebelah timur kota.
Sebelum Pak Nas meninggal, tanah miliknya telah dibagi rata kepada masing-masing anaknya. Selang beberapa lama setelah Pak Nas meninggal rawa kangkung itu telah dijual kepada pengembang oleh anak sulungnya dari sembilan bersaudara sebagai pewarisnya. Dalam waktu sekejap rawa kangkung itu telah berubah bentuk menjadi sebuah lapangan yang sangat luas sehabis ditimbun.
Disuatu malam, diatas pohon besar itu terdengar suara burung hantu diiringi lologan anjing bersahut-sahutan sangat menakutkan. Mendengar suara itu istri Uwak Nongka terjaga dari lelap tidurnya membangunkan suaminya karena rasa takut tiba-tiba datang menyelimuti hatinya.
“Pak, ada suara lain-lain saya dengar dari atas dahan pohan, suara apa itu?” tanya istrinya sambil mendekap suaminya karena ketakutan.
“Ah, kamu itu penakut sekali.”
“Tapi kedengarannya sangat aneh “
“Aneh bagaimana, itu suara burung hantu.“ gerutu Uwak Nongka sembari menguap menahan rasa kantuknya.
“Biasanya kata orang, bila terdengar suara burung hantu ditengah malam buta
seperti ini, itu suatu alamat buruk yang akan terjadi diperkampungan kita.” lanjut istrinya menyakinkan suaminya.
“Tak baik percaya tahyul, itu namanya syirik.”
“Tapi baru kali ini kedengaran seperti itu, sebelumnya tidak pernah demikian.”
”Ah, tidurlah tak usah perhatikan itu.”
Pada keesokan paginya, ditemuianya sebuah papan nama terpancang tepat dihalaman samping rumahnya tempat tanah kosong yang telah habis ditimbun, tertulis ”TANAH INI MILIK HJ. HUSNAH“ Lelaki itu terheran-heran melihatnya karena sepengetahuannya selama ini tanah yang berada disamping rumahnya itu adalah milik Pak Nas, dan juga dibenarkan oleh seluruh warga yang bermukim disekitar perkampungan itu.
Setelah kelurga Pak Nasrun mengetahuinya, maka iapun melakukan hal yang serupa dengan memasang papan nama yang tertulis “TANAH INI MILIK H. NASRUN SHM.NO.XYZ/72.”
Akhirnya pengembang yang membeli lahan itu untuk sementara menangguhkan segala aktifitasnya menunggu kejelasan siapa pemilik yang sebenarnya. Pada malam harinya Uwak Nongka didatangi oleh tiga orang pria tak dikenal berbadan kekar berwajah sangar sangat menakutkan.
Mereka memaksa Uwak Nongka untuk memberikan kesaksian bahwa tanah yang habis ditimbun itu adalah milik H. Husnah. Kendati mereka tidak dapat memperlihatkan surat-surat sebagai alat bukti kepemilikan yang sah. Kecuali selembar foto copy surat rincik yang telah kusam warnanya yang didjadikan dasar tuntutan gugatannya. Sementara Pak Nas seingatnya memiliki sertifikat hak milik, sehingga Uwak Nongka bersikeras bertahan mengatakan tanah itu milik H.Nasrun.
“Hai, kakek tua, dimana kamu tahu bahwa tanah ini milik H. Nasrun.” tanya dari salah satu lelaki kekar itu dengan sangat garangnya.
“Ya, saya tahu.” sahut Uwak Nongka apa adanya.
“Sejak kapan?”
“Sejak kami tinggal disini.”
”Ah, kau bohong “ hardik lelaki itu dengan nada kasar.
“Aku tak dapat berkata bohong, akan kukatakan yang benar itu benar.”
“Baik, kami akan datang lagi.” ancam mereka sambil berlalu meninggalkan Uwak Nongka bersama istrinya dikeheningan malam yang semakin kelam.
Waktu bergulir terus, menyisakan sengketa yang berkepanjangan tak kunjung usai, bermuara nantinya pada keputusan pengadilan yang berliku panjang.Tanah yang habis ditimbun itu telah berubah fungsi menjadi tanah lapang yang sangat luas sering digunakan anak-anak bermain sepak bola dan layangan bila senja hari jelang malam.
Hari-hari berikutnya. Suasana ditempat rawa yang habis ditimbun itu terlihat semakin ramai setiap sorenya, karena ditempat itu sering diadakan pertandingan sepak bola anak-anak antar ORW.
Pada malam harinya kembali Uwak Nongka didatangi oleh tiga orang lelaki yang telah pernah datang pada beberapa malam sebelumnya. Uwak Nongka tahu bahwa mereka itu adalah preman suruhan Hj. Husnah sebagai penggugat. Kedatangan mereka agak lunak dari kedatangan pada beberapa hari sebelumnya.
“Selamat malam Uwak Nongka.” sapanya memberi salam sambil mengetuk pintu rumahnya.
“Selamat malam.” balas lelaki itu sambil mepersilahkannya masuk duduk diatas kursi tamu.
“Begini, kami datang ini hanya untuk membantu Uwak Nongka.” ujar salah satu diantara mereka dengan ramah.
“Bantuan apa barangkali.” tanya Uwak nongka dengan menatapnya ragu.
“Karena kami tahu bahwa Uwak Nongka disaat sekarang ini tentu butuh uang maka kami bawakan sebagai rasa belas kasih kami.”
Sejenak Uwak Nongka diam. Dia tak secepatnya menyahuti ujarnya. Malam jelang larut dihiasi suara burung hantu diatas dahan pohon semakin riuh kedengarannya.
“Uang apa?” tanya Uwak Nongka terheran-heran setelah sekian lama terdiam.
“Ya, mengertilah.“
“Tidak, saya tidak akan menerima uang itu.”
“Saya akan tetap berpihak kepada yang benar, kendati apapun resikonya.” lanjutnya dengan nada tegas menolak pemberian lelaki itu.
“Tapi, ingat kakek tua, suatu saat nanti kamu akan menyesal dan rasakan akibatnya.“ ancam mereka sambil beranjak meninggalkan Uwak Nongka di-keremangan malam nan beku.
“Kami tak ada hubungan apa-apa dengan keluarga Pak Nas, namun pada prinsifnya kami tetap berpihak kepada yang benar.” ujar Uwak Nongka dengan nada kesal sambil beranjak masuk kekamar tidurnya karena malam perlahan-lahan dipagut sepi menuju larutnya yang kian mencekam.
Beberapa tahun kemudian, Pengadilan Negeri telah memutuskan bahwa sengketa tanah tersebut dimenangkan oleh pihak keluarga H.Nasrun yang telah ber- kekuatan hukum tetap yang tak dapat diganggu gugat lagi, karena pihak penggugat tidak dapat meperlihatkan surat-surat sebagai alat bukti kepemilikan yang sah kecuali, selembar foto copy surat rincik palsu, sehingga gugatannya ditolak dan tak dapat dilanjutkan lagi untuk melakukan banding karena dianggap cacat hukum.
Setelah dinyatakan menang di pengadilan Negeri, maka sebahagian dari hasil penjualan tanah milik keluarga H.Nasrun disedekahkan kepada orang-orang kurang mampu yang bermukim disekitar kampung itu termasuk Uwak Nongka, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang memberinya rezki. Betapa rasa senang hati Uwak Nongka menerima pemberian itu dengan tak lupa berucap.
“Syukur Alhamdulilah Ya Tuhan,….Terima kasih banyak wahai anakku…. semoga Tuhan membalas-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.!” ujar Uwak Nongka dengan mata berkaca-kaca menahan rasa haru setelah menerima uang itu, kemudian segera ia beranjak lalu berlari masuk kekamarnya menaruh uang itu dibalik kasur tempat tidurnya.
Diatas ranggas dahan kayu, terdengar kembali nyanyian burung hantu sambil mengepakkan sayapnya terbawa oleh hembusan angin malam nan dingin menyambut pagi yang cerah pertanda bahwa suara burung hantu dimalam hari bukanlah sebuah alamat buruk yang bakal terjadi bahkan sebaliknya.(*)


Makassar, 20 Juni 2008

Harian Radar Bulukumba, 06 Maret 2009
Mingguan Inti Berita, 09 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar