Selasa, 03 Mei 2011

64. KUINGIN BERTEMU DENGANMU

Oleh : Hasbullah Said.-


KUKENAL dia berawal dari SMS yang kuterima. Maaf Mety, baru kali ini aku balas SMS-mu. Terima kasih atas segala perhatianmu membaca cerpen yang aku tulis. Hal itu bukan kusengaja mengulur waktu untuk membalasnya. Hanya karena kesibukanku semata sebagai seorang penulis. Sekali lagi maaf, ya Mety. Salam manis dariku. Diash Asmara Dhara. Demikian bunyi pesan singkatnya seba- gai balasan dari SMS yang kukirim kepadanya beberapa hari lalu. Nomor HP-nya kudapat dari temanku juga seorang penggemarnya. Entah, aku tak tahu dimana dia peroleh nomor itu, padahal Diash seorang penulis cerpen bertempat tinggal jauh dari kota ini.
Dia cerpenis yang banyak tulisannya dimuat diberbagai media cetak lokal maupun nasional, sehingga begitu banyak pengemarnya hampir disemua kota, karena tulisannya sangat menyentuh hati bagi para pembacanya terutama anak remaja. Tulisannya disenangi banyak orang karena tidak abstrak, namun sederhana tidak berbelit-belit, komunikatif mudah dicerna dan dipahami oleh para pembacanya disemua tingkatan usia.
Mulanya aku hanya iseng mengirim SMS padanya, menyampaikan bahwa sangat tertarik dan senang membaca cerpennya dimedia cetak yang terbit dikotaku Ternate, namun tak terduga olehku bahwa ia akan segera membalasnya. Awalnya aku tak percaya, mana mungkin dia akan membalasnya sedang aku dan dia saling berjauhan apalagi tak pernah bertemu muka dengannya, karena dia bertempat ting- gal jauh dari sini yaitu Makassar, kota Metropolitan nun jauh di seberang sana.
Aku merasa sangat senang menerima SMS-nya dan segera kubalas dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Akhirnya kami sering berkirim-kiriman SMS bercerita singkat tentang pengalaman masing-masing, utamanya dunia remaja dan kepenulisan. Aku duduk dibangku SMU dengan memilih jurusan Bahasa dan Sastra. Lewat SMS, aku minta diajari menulis cerpen karena setiap kumenulis selalu gagal, baru separuhnya kubuat tak tahu lagi apa kelanjutannya. Kadang endingnya tak sesuai dengan tema serta alur cerita yang kutulis sehingga akhirnya menjadi tumpukan sampah berserakan dimana-mana.
Kami layaknya seorang teman akrab yang telah lama saling kenal berbagi suka dan duka walau dipisahkan oleh lautan yang sangat luas.
Beberapa hari sesudahnya, kala senja disaat aku pulang dari sekolah seusai mengikuti les Bahasa Inggeris, sebagai persiapan menghadapi ujian semester akhir yang akan berlangsung pada bulan depan mendatang, tiba-tiba HP-ku dari dalam tas ransel yang bergelayut dipunggungku terdengar berdering nyaring.
“Selamat sore Mety.“ begitu suara lembut terdengar akrab dari seberang sana setelah aku balas dengan ucapan, halo.
“Selamat sore.“ balasku.
“Ini dengan siapa aku temani bicara?“ tanyaku sedikit ragu setelah kutahu itu suara seorang lelaki.
“Mety, kau ingat tidak orang yang meng-SMS-mu selalu.” balasnya dengan sangat ramah.
“Oh, kak Diash.“ kataku kaget setengah berteriak.
“Apa kabar kak?“ tanyaku dengan nada riang.
“Baik-baik saja.“
“Yang kakak pakai ini HP baru lagi ya?” tanyaku lagi.
“ Dimana kamu tahu.”
“Ya, karena nomornya lain lagi.”
“Seorang penulis memiliki banyak HP, lebih dari satu, dua hingga tiga.“
“Lho, gitu banyak.“ ujarku kaget.
“Ya, satu nomor untuk keluargaku, satu untuk Redaktur surat kabar, dan satunya lagi khusus buat Mety.” katanya bercanda sambil mendehem tipis kudengar dari balik HP milikku.
“Berbahagialah seorang Mety, mendapat perhatian khusus dari seorang pe-
nulis tenar.” begitu balasku memuji.
“Sekarang Mety kini sekolah dimana dan duduk dikelas berapa?” tanyanya.
“SMU Negeri 2 Ternate, kelas dua, bulan depan aku sudah ujian Semester akhir.”
“Aku doakan, semoga sukses dalam ujiannya nanti.“
“Terima kasih kak.“
“Mety, maaf ya, kali lain kita sambung dan kita akan bicara lebih lama, karena kini HP-ku yang satu ini sedang berteriak bising minta diterima.”
“Selamat Sore.“ ujarnya mengakhiri bicaraannya sembari mematikan HP.-nya.
Sesudahnya aku penasaran berat dibuatnya, selalu ingin mendengar suaranya yang begitu merdu kayak bulu perindu. Aku sangat tertarik padanya, karena cara bicaranya serta tutur bahasanya begitu sopan, ramah dan cepat akrab, walau baru pertama kalinya aku bicara dengannya.
Ingin aku kenal sosok pribadinya lebih dekat. Aku telah terperangkap dalam lingkar perkenalan semu, walau kami belum pernah bertemu sebelumnya, namun kelihatannya kami sangat akrab.
Ada perasaan aneh yang bergelayut lalu bersemayam dalam lingkar hatiku. Entah, aku sendiri tak tahu perasaan apa namanya. Setiap kali kukirimkan SMS padanya ada getar-getar gesekan tali senar dalam hatiku yang bernyanyi. Melan- tunkan nada lembut lagi syahdu tak dapat kumaknai. Diam-diam kubangun sebuah harap dibalik hatiku yang tulus. Semoga saja dia pula memiliki perasaan sama seperti aku, sehingga tepuk tangan sebelah menjauh dariku. Wajarlah saja bila aku selalu mencari jawab darinya. Seperti apa aku dalam dirimu? Pernakah kamu mengim- pikan untuk bertemu denganku? Sama seperti aku selalu berharap untuk berjumpa denganmu. Sebuah tanya yang takkan pernah terjawab.
Semua peristiwa itu kuceritakan kepada teman-teman sekolahku, namun tak satupun yang menanggapi omonganku, malah mencibirku, mereka menganggap bahwa aku mengada-ada, mana mungkin bisa berkomunikasi dengan seorang bernama Diash yang jauh dari sini, dan pula dia itu seorang penulis senior sudah dapat dipastikan tak punya waktu untuk melayani setiap penggemarnya karena kesibukannya luar biasa.
Setelah jam istirahat kedua di sekolahku berlangsung, terdengar kembali dering Hand-Phone milikku dari balik saku baju yang kukenakan.
“Halo, hei Mety sedang apa kamu disitu.” begitu tegurnya padaku mengawali pembicaraannya.
“Sedang istirahat kedua, sehabis belajar diruangan kelasku.“ ujarku setelah usai kubalas, halo.
“Kamu sedang istirahat dibawah teduhnya pohon mangga dibelakang gedung sekolahmu, toh?”
“ Kok, kakak tahu.”
“Ehem,....indera ke-enamku sangat kuat merekam segala apa yang terjadi disitu.”
“Lalu aku pakai baju apa?“ pura-pura aku bertanya serius.
“Coba tebak!“
“Em,.......baju putih, pakai lencana di saku bajumu digandengkan dengan rok warna abu-abu. “
“Apa lagi?” lagi aku bertanya mengetesnya.
“Dibalik kerah bajumu ada dasi melilit juga warna abu-abu.“
“Mengenakan seragam sekolah, kulihat engkau tambah anggun lagi santun kayak petugas Bea Cukai di pelabuhan.“ sambungnya lagi bercanda memuji aku.
“Tunanetrapun tahu kalau aku pakai seragam sekolah, baju putih dipadukan dengan rok warna abu-abu karena itu pakain wajib bagi siswa.” balasku pula bergurau.
“Mety, akan kukirimkan kamu beberapa buah naskah cerpen yang belum pernah dimuat dikoran, semuanya adalah cerpen andalanku, maukah kamu?” lanjut Diash mengalihkan pembicaraanya ramah menawarkan padaku.
“Tentu, tentu saja aku mau, karena membaca cerpen adalah kegemaranku, terima kasih sebelumnya kak.” jawabku dengan nada riang.
Setelah itu pembicaraan kami terputus dan seminggu kemudian betul Diash mengirimkan kepadaku beberapa buah naskah cerpen melalui alamat sekolahku sesuai janjinya padaku. Cerpen itu rupanya benar andalannya yang belum pernah dimuat dikoran baik lokal maupun nasional karena semuanya bagus-bagus temanya antara lain : Kisah Kasih Disekolah, Semalam Di Malaysia, Tunggu Aku di Pantai Losari, Diatas Sebuah Mikrolet, Kutulis Hanya Untuk Mengenangmu dan banyak lagi yang tak sempat aku sebut satu persatu. Satu diantaranya sangat menyentuh perasaanku membuat hatiku perih karena alur ceritanya persis sama seperti apa yang pernah aku alami.”Desember Kenangan.“ begitu judul cerpen yang ia tulis.
Sebuah kisah kasih mengungkap asmara kelabu yang kandas dan terhempas lalu jatuh hancur luluh berkeping-keping didua insan remaja yang gagal bercinta. Begitu hebat ia mentransfer imajinasinya lewat sebuah kisah nyata persis sama dengan cerita atau kisah kelabu yang pernah menimpa diriku.
Aku segera beranjak masuk kedalam kamarku lalu membacanya berulang kali. Sementara kubaca, aku menangis sesunggukan dalam kamarku yang sempit lagi hangat. Tak terasa air bening dari balik kelopak mataku mengalir perlahan mem- basahi wajahku yang hitam manis berlesung pipi, menggelinding merembes diatas naskah cerpen ditanganku, lusuh, nyaris koyak tak berbentuk karena basah tertimpa oleh tetesan air mataku, padahal aku ingin menyimpannya sebagai kenangan abadi buatku.
Dengan sangat hati-hati segera kujemur dibawah teriknya matahari siang agar cepat mengering dan tetap dapat terbaca, kemudian sesudahnya kusimpan dibalik bantal tempat tidurku, dengan harapan, sebentar malam nanti bila aku tertidur lelap akan menjelma dalam mimpiku yang indah dan akan kukatakan padanya : “Betapa kuingin bertemu denganmu........! ”(*)

Makassar, 05 Oktober 2008

Harian Radar Bulukumba, 24 Maret 2009
Mingguan Inti Berita, 13 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar