Selasa, 03 Mei 2011

67. KABAR MAUT DARI NEGERI SEBERANG

Oleh : Hasbullah Said.-

MALAM beranjak larut. Namun lampu pijar berkekuatan 40 wat masih menyala redup disudut ruang tamu rumahku yang berdinding kayu lapis. Irma istriku kutinggalkan begitu saja, dalam keadan masih terkulai layu, tak sadarkan diri didepan pintu masuk keruang tamu rumahku. Akibat sehabis ia menjerit-jerit histeris sambil meronta-ronta dengan emosi yang tak terkontrol, menghalang-halangi melakukan perlawanan terhadap petugas kepolisian ketika aku hendak ditangkap dirumahku yang datang secara tiba-tiba.
“Jangan tangkap suamiku…..! Apa kesalahannya ........….! Jangan bawa pergi suamiku.........!“ begitu teriaknya histris melengking dikeheningan malam buta ketika polisi hendak menangkapku membawaku pergi............... dan akhirnya, dia jatuh tak sadarkan diri terbaring lemas sangat memilukan hati melihatnya.
“Tak mungkin kami berani menangkap seseorang tanpa ada surat perintah tugas penangkapan dari atasan.”
“Hanya menjalankan tugas apa yang diperintahkan oleh atasan kami.” ujar salah seorang petugas kepolisian yang datang kerumahku malam itu. Akupun diam terpaku bingung tak dapat berbuat apa-apa ketika. surat penangkapan itu diperlihat- kan kepadaku.
Awalnya akupun bersitegang meronta-ronta melakukan perlawanan bertahan menolak untuk tidak dibawa pergi oleh petugas kepolisian itu karena aku merasa tak punya suatu kesalahan, akan tetapi setelah kubaca dengan saksama surat perintah penangkapan itu akhirnya akupun mengalah dari pada nantinya aku disakiti atau disiksa lebih baik aku menuruti saja perintahnya.
”Apa kesalahan saya Pak sehingga malam-malam seperti ini saya tiba-tiba ditangkap.” begitu tanyaku dengan nada lirih setelah aku hendak dibawa pergi ke kantor polisi.
“Saudara dibawa kekantor polisi hanya untuk dimintai keterangan sebagai -
saksi, bukan tersangka.” sahut polisi itu sambil menggiring aku naik disebuah mobil patroli yang telah terparkir tepat didepan rumahku dengan tangan terborgol.
“Saksi dalam perkara apa Pak?” tanyaku lagi heran tak sabar sambil menatap-
nya tajam.
“Ah, nanti dikantor saja baru kamu tahu.” sahut salah seorang dari petugas kepolisian itu dengan nada yang kurang bersahabat. Akupun diam sambil tertunduk mengamati borgol besi yang melilit dikedua belahan tanganku. Hatiku didalam merintih perih karena belum tahu apa gerangan kesalahan yang pernah aku lakukan sehingga aku ditangkap lalu dibawa pergi menghadap di kantor polisi.
Mobil patroli yang mengantarku meraung-raung disepanjang ruas jalan menuju kantor Polsekta Wilayah Timur dengan seribu tanda tanya timbul dalam benakku, mengapa aku ditangkap polisi padahal seingatku tak pernah aku melakukan suatu kesalahan melanggar hukum atau perbuatan yang dapat merugikan orang lain.
Setelah tiba, aku digiring masuk kedalam sebuah ruangan yang didalamnya telah ditunggui oleh dua orang perwira Polisi sebagai penyidik duduk dibalik sebuah meja kerjanya. Sesudah aku dipersilahkan duduk, borgol ditanganku terlebih dahulu dilepas agar aku bebas menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan kepadaku.
”Tahukah saudara sehingga dibawa kemari?” begitu pertanyaan awal yang diajukan kepadaku oleh salah seorang perwira Polisi sebagai penyidik yang duduk dihadapanku setelah aku duduk diatas sebuah kursi didepan meja kerjanya.
“Tidak tahu Pak.“ sahutku apa adanya tanpa grogi karena merasa aku tak punya kesalahan.
“Kami minta saudara harus menjawab dengan sejujurnya semua pertanyaan yang akan kami ajukan.”
“Bersediakah saudara?”
“Apakah saudara dalam keadaan sehat-sehat saja?” tanya perwira Polisi yang duduk dihadapanku sembari jemarinya mempermainkan hurup-hurup diatas keyboard komputer untuk merekam semua jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepadaku.
“Iya, Pak, saya bersedia. Dan saya sehat-sehat saja“ sahutku dengan nada perlahan.
“Bolekah kami tahu siapa nama saudara?” tanyanya lagi sambil mengetik jawaban yang ditanyakan kepadaku diatas sebuah komputer.
“Diash Asmara Dhara Pak.“
“Ah, begitu bagus namamu ya.” ujar perwira penyidik itu senyum bercanda. Akupun senyum sinis membalasnya lalu diam merunduk tak menghiraukan candanya.
“Umur saudara berapa tahun?” tanyanya lagi.
“Tiga puluh lima tahun Pak.”
“ Kerjanya apa?”
“Tidak ada Pak.”
“Tapi mungkin ada kegiatan lain yang saudara lakukan selama ini.” lagi ia bertanya sambil menatapku.
Aku diam sejenak, seolah berpikir mendengar tanyanya, lalu aku jawab seadanya.
“Menulis Pak.” sahutku lagi.
“Menulis apa?” Aku tak segera menyahuti tanyanya, aku diam lagi sejenak sambil merunduk kearah ubin keramik yang berada dibawah pijakan kakiku.
“Fiksi Pak.” jawabku seraya mengangkat wajahku menatapnya.
“Jadi saudara seorang penulis.”
“Benar sekali Pak.”
“Contohnya apa?” tanya perwira penyidik itu ingin tahu.
“Novel, roman, cerita bersambung, cerita anak dan juga cerpen?” jawabku dengan jujur. Kemudian kembali ia lanjutkan pertanyaannya padaku setelah mengisap rokoknya dalam-dalam.
“Apakah saudara sudah punya istri?”
“Sudah Pak.”
“Anak sudah berapa?” tanyanya lagi beruntun bagai pelari maraton.
“Tiga Pak.” Bapak penyidik itu sejenak berhenti bertanya, lalu ia magut-magut senyum tipis sambil memandang kearah layar monitor komputer yang berada dihadapannya. Akupun diam termangu menunggu pertanyaan selanjutnya. Tak lama kemudian perwira penyidik itu kembali lagi bertanya padaku setelah mengisap rokoknya dalam-dalam yang terselip lurus dibibirnya.
“Apakah saudara kenal perempuan yang bernama Maya Lestari?” sebuah pertanyaan yang tak kusangka-sangka dilayangkan kepadaku membuat aku kaget.
“Maya Lestari, siapa Pak?” balik aku bertanya seolah tidak mengenal nama perempuan yang disebutnya tadi.
“Seorang perempuan yang sangat dekat dengan saudara berasal dari kota Ternate.
“Ya, saya kenal baik, karena dia itu adalah salah seorang penggemarku sebagai penulis cerpen yang sering dimuat dikoran terbit dikotanya.”
“Tapi ada apa dengan Maya Lestari Pak?” ulangku lagi bertanya serius sambil mengernyitkan keningku. Perwira Polisi itu tidak segera menyahuti tanyaku. Ia kembali diam, seolah berpikir lalu ia mengalihkan pandangannya melirik ke perwira Polisi yang duduk disampingnya.
“Begini saudara Diash.” ujarnya lagi perlahan lalu berhenti sejenak setelah ia menghela nafas panjang, kemudian ia lanjutkan kembali bicaranya padaku.
“Berdasarkan laporan dari pihak kepolisian daerah Negeri Seberang, saudari Maya Lestari telah nekad bunuh diri, dengan cara meneguk racun serangga akibat stres berat yang dialaminya, karena kecewa setelah mengetahui pacarnya itu sudah punya istri.”
Mendengar ucapnya aku terperangah, seolah aku disambar petir disiang hari bolong. Bathinku didalam goyah. Tubuhku bagaikan hancur luluh tak bertenaga. Namun aku berupaya keras untuk tegar tidak terpengaruh mendengar penyampaian perwira polisi itu, dan tidak meperlihatkan mentalku luluh atau kerut wajah yang berubah secara tiba-tiba, agar polisi tidak menaruh curiga terhadapku.
“Lalu apa hubungannya denganku Pak?” tanyaku lagi tak sabar.
“Itu terjadi akibat perbuatan saudara.” begitu sahutnya mengagetkanku.
“Maksud bapak, saya kurang mengerti?” ulangku lagi bertanya.
“Dalam suratnya yang ditinggalkan sikorban Maya Lestari ia menyebut-nyebut nama saudara sebagai pacarnya, mengatakan bahwa merasa sangat kecewa sehingga ia berbuat senekad itu melakukan jalan pintas mengakhiri hidupnya karena selama ini katanya ia dibohongi.” ujar perwira penyidik itu menjelaskan kepadaku.
“Sebagai barang bukti, coba saudara baca suratnya ini yang ditinggalkan sikorban ditaruh dibawah bantal tempat tidurnya sebelum ia mengakhiri hidupnya.” lanjut perwira penyidik itu sambil menyerahkan kepadaku surat yang ditulis Maya Lestari.
Kakak Diash yang baik hati,............!
Setelah kutahu Kakak telah dipunyai oleh seorang istri yang setia bernama Irma, maka sebaiknya aku undur diri menjauh darimu, tak ingin aku menjadi orang ketiga diantara Kakak berdua, aku tak tega hati meracuni hati seorang perempuan yang punya perasaan sama sepertiku. Maka biarlah aku pilih jalanku sendiri. Aku akan pergi jauh menuju duniaku yang kekal, agar disana nanti aku akan merasa tenang dan tentram dalam tidurku yang panjang,............Kekal abadi untuk selama-lamanya,..............selamat berpisah. Maafkan aku Kak, dari Maya Lestari.........
“Bagaimana bisa pak, saya ada disini sedangkan dia berada jauh dikota “Ternate.” sana, mana mungkin saya bisa berhubungan dengannya apalagi berpacaran, dan pula saya tidak pernah bertemu muka dengannya, biar sekalipun.” sahutku protes dengan nada tegas setelah selesai membaca surat Maya Lestri berupaya meyakinkannya.
“Ya, benar saudara, akan tetapi menurut laporan polisi setempat saudara sering berhubungan lewat Hand-Phone masing-masing berbicara panjang lebar berjanji muluk-muluk selalu memberi harapan dengan rayuan gombal kepadanya setia akan sehidup semati padahal saudara telah punya istri bahkan telah punya anak tiga, itu berdasarkan pengaduan dari pihak keluarga korban.“
“Begitu pula pihak keluarga korban sangat keberatan kepada saudara karena katanya Maya Lestari sering dimintai uang.” lanjutnya lagi.
“Ah, tidak,..........tidak Pak, itu tidak benar,............... aku tidak pernah minta uang kepadanya, memang Maya Lestari pernah kirim uang kepadaku hanya untuk pembeli sebuah Hand-Phone baru yang lebih baik dan berkuwalitas, agar pembicaraan kami lebih lancar karena Hand-Phone milikku yang dulu kurang baik sering ngadat tidak begitu jelas kedengarannya bila aku pakai berkomunikasi dengannya.” begitu potongku membantah pembicaraanya dengan nada tegas membela diri.
“Sejatinya sebagai seorang penulis yang memiliki nurani kepekaan seni tinggi, seharusnya pemberiannya itu saudara tolak dengan secara halus walaupun ia mengatakan ikhlas, agar di belakang hari tidak menimbulkan suatu problem seperti apa yang terjadi sekarang.” ujar perwira Polisi itu meperingatiku. Aku hanya mengangguk membenarkan ucapnya lalu aku diam termangu tak menyahuti ujarnya.
“Ini suatu pembohongan besar mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang akibat perlakuan saudara.” lanjut perwira penyidik itu dengan nada suara sedikit tinggi. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, karena apa yang di katakan itu ada benarnya. Aku kembali diam bersama diamnya malam yang sebentar lagi merangkak ketitik larutnya.
“Untuk sementara, saudara terpaksa kami harus tahan dulu sambil menunggu penyelidikan selanjutnya dari pihak kepolisian daerah setempat yaitu “Negeri Seberang.” kata perwira Polisi itu sambil mengantarku kebelakang disebuah sel kecil lagi pengap, lalu aku dijebloskan masuk kedalamnya yang telah dihuni oleh beberapa orang tahanan lainnya.
Jika benar-benar aku akan ditahan berhari-hari disini, maka sudah kupastikan Irma istriku tak akan pernah datang-datang menjengukku, karena iapun merasa kecewa menganggap dirinya selama ini dihianati, mengatakan bahwa aku berseling- kuh dengan seorang perempuan lain.
Didalam sel tahanan yang sempit lagi pengap itu, aku duduk diatas ubin keramik bersandar didinding tembok bercat biru tua, sambil merenung-renung na- sibku yang malang. Aku mengingat-ingat masa itu. Baru aku sadar bahwa sesung- guhnya aku sangat berdosa besar terhadap Maya Lestari selama ini dan juga terhadap istriku Irma, karena aku tidak pernah berkata jujur kepada mereka.
Sekiranya dari awal aku sportif mengatakan padanya bahwa aku telah punya istri, kita cukup bersahabat sebagai teman biasa saja bukan teman mesra sama seperti fans lainnya, mungkin nasibku tidak sesial seperti ini, akan tetapi penyesalan itu biasanya datangnya kemudian.
Tiada kuduga bila dia Maya Lestari akan berbuat senekad itu. Aku sangat menyesal, dan terpukul atas kejadian ini, maafkan aku Tari,.....! begitu desisku per- lahan keluar diantara celah bibirku dengan nada lirih sambil kulempar pandanganku luruh keluar melalui celah jeruji besi.
Diluar, kulihat malam perlahan dipagut sepi. Seperti sepinya hatiku didalam bergelut dengan penyesalan berkepanjangan yang tak kunjung usai. Malam telah hampir berakhir larutnya, menuju ambang batas penghujung malam yang mencekam, dan kini perlahan-lahan nampak bayang-bayang kuning kemerah-merahan diufuk timur menjemput pagi yang kian mendekat.
Setiap saat tak luput aku berdoa, semoga arwahnya diterima disisi-Nya serta diampuni segala dosanya. Amin,...........! (*)

Makassar, 24 November 2008

Harian Radar Bandung, 06 Pebruari 2009
Harian Radar Bulukumba, 26 Juli 2010




.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar