Selasa, 03 Mei 2011

68. MEMORI PAYUNG WARNA PELANGI

Oleh : Hasbullah Said.-


KALA itu, aku masih duduk dibangku SMK Neg.3. Sebuah sekolah favorit dikotaku Makassar, tempat aku dilahirkan. Usiaku disaat itu mendekati delapan belas tahun. Kata orang, sebuah jumlah usia yang indetik dengan remaja tanggung. Namun aku bukan type seorang remaja tanggung yang sering bikin onar suasana kota atau suka tawuran antar sesama pelajar lainnya.
Siang itu, disaat aku tinggalkan areal sekolahanku langit lagi mendung. Bersama Atira dan Risma, aku bertiga menyusuri Jalan Baji Gau. Belum begitu jauh kami melangkah, rintik hujanpun mulai berjatuhan dari atas langit sana. Curahnya tidak begitu deras, hanyalah gerimis tipis tergerai dari atas langit kebawah. Tapi sudah kupastikan basah kuyub setelah tiba dirumah apabila kami tidak singgah berteduh kendati hanya gerimis tipis, karena perjalanan memakan waktu cukup lama, sekitar satu jam lebih berjalan kaki baru bisa tiba dirumah.
Untuk melanjutkan perjalanan aku berpikir sekian kali, karena khawatir basah kuyup sebelum tiba dirumah kami masing-masing. Akhirnya kami putuskan untuk berteduh menunggu redanya gerimis disebuah pohon cempaka tumbuh ditepi jalan.
Sudah lebih dari tiga puluh menit berlalu, namun gerimis belum juga ada tanda-tanda berhenti. Diatas, jelaga hitam masih membentang luas membentuk gumpalan-gumpalan yang kian menebal.
Sementara angin dibulan Desember bertiup resah, dingin. Begitu terasa menggigit. Aku mendekapkan tas sekolahku kedadaku, berupaya mengusir resah dingin yang menggeligis. Namun gagal. Dingin itu tak mau menjauh dariku. Sementara Atira dan Risma disampingku sudah mulai jenuh berdiri, terasa kakinya kesemutan menusuk-nusuk.
“Yuk, kita pulang Din.” ajak mereka.
“Sebentar, lagi gerimis, nanti kita basah.” tolakku.
“Kalau gerimisnya ditunggu berhenti, bisa-bisa kita bermalam disini.” kata Risma resah.
“Ya, akupun tak tahan berlama-lamaan disini, perutku sudah mulai keronco -
ngan.” kata Atira menimpali sambil memegangi perutnya.
“Aku bilang sebentar lagi.” cegahku.
“Ah, terserah kamu.”
“Aku mau pulang bersama Risma, biarin basah, palimg juga kena pilek.” kata Atira sambil beranjak bersama Risma pergi meninggalkanku sendirian.
“Daaagh,.....” keduanya melambaikan tangan padaku. Aku balas lam-baiannya, walau dengan hati sedikit kecewa.
Mereka benar-benar nekat. Dengan cuweknya tega hati mereka tinggalkan aku sendirian disini. Berjalan dibawah dinginnya gerimis. Aku hanya geleng kepala melihat kenekatan mereka. Sudah kupastikan mereka akan kena pilek setelah tiba dirumah.
Aku masih berdiri disitu sendirian. Menunggu betul-betul hujan berhenti total baru aku beranjak pergi, agar aku tidak basah serta kedinginan dijalan. Lahir rasa iri dihatiku. Mengapa aku tak sekuat dengan mereka, padahal aku seorang lelaki. Aku menghela nafas panjang, lalu menengadah keatas bermohon kiranya Tuhan segera menghentikan langit-Nya menangis, agar aku tidak berlamaan disini dan bisa tiba dirumah tidak kedinginan karena basah.
“Hai,.........!” tiba-tiba terdengar suara perempuan menyapaku disela gerimis tipis yang bernyanyi, membuat aku tersentak dari lamunku.
Aku kaget. Dihadapanku kini telah berdiri seorang cewek manis. Entah dari mana datangnya. Kutahu dia bukan satu sekolah denganku, karena lencana lokasi sekolah yang terpasang diatas lengan kanan bajunya berbeda denganku. Juga ia mengenakan seragam putih abu-abu dengan tas ransel bergelayut dipunggungnya. Dia senyum kepadaku, dibawah payung warna pelangi yang ia pakai. Senyumnya sangat manis terasa. Sepasang lesung pipi bergelayut diwajahnya menawan hati. Terus terang ia sangat cantik kulihat. Aku begitu tertarik padanya.
“Ehem, kau pasti terjebak gerimis disini.” tebaknya dengan ramah padaku.
“Iya, betul karena gerimis jahat yang membuat aku sengsara disini.” kataku.
“Gerimis tidak salah, karena sekarang lagi musimnya.”
“Yuk, mari kita pulang sama-sama!” ajaknya ramah padaku.
“Eh, rumahmu dimana, apakah masih jauh?” tanyanya sambil kami berjalan bersamanya dibawah payung yang meneduhi kami yang ia pegang sedari tadi.
“Tak jauh lagi, lebih kurang satu kilometer dari sini.”
Sambil berjalan, cewek di sampingku memperhatikan atribut sekolahku. Aku jadi kikuk diperhatikan begitu.
“Namamu begitu bagus.” candanya sambil mengulurkan tangannya me- yalami aku.
“Namaku Indah Puspitasari.” lanjutnya memperkenalkan diri.
“Dinar Zulkifli.“ begitu kusebut namaku. Cewek itu kembali menarik tangannya, kemudian dari dalam tas punggungnya dikeluarkannya selembar kartu pelajar kemudian di serahkan kepadaku. Aku tercengang heran melihatnya. Kenapa ada kartu pelajar yang ia berikan kepadaku. Begitu pikirku dihati.
“Ini kamu baca, alamat rumahku ada tertulis disitu. Aku berikan ini karena aku tak memiliki kartu nama, kalau ada waktumu dihari minggu mendatang, kamu serahkan kembali bersama payung ini padaku dirumah.”
“Sekolahmu dimana?” tanyaku. Padahal telah kutahu setelah kubaca lencana lokasi sekolah yang tertera diatas lengan kanan bajunya. Hanya basa-basi sebagai pembuka bicara dengannya.
“SMU Negeri 2.” jawabnya.
“Pakailah dulu payung ini pulang kerumahmu agar tidak basah, karena rumah ku sudah dekat, depan pertigaan sana belok kiri sedikit.” ucapnya sambil me-nyodorkannya kepadaku.
“Terima kasih, kamu baik sekali padaku, sampai jumpa lagi.” ucapku sambil kumelangkah meninggalkannya menuju rumahku yang tak seberapa jauh lagi dari sini. Ia melambaikan tangannya kepadaku. Aku membalas lambaiannya.
Dalam perjalananku pulang, aku selalu di bayang-bayangi perasaan kagum tak dapat aku cegah, memuji kebaikan hati seorang cewek yang belum pernah aku kenal jauh sebelumnya. Dia seorang perempuan yang berhati malaikat. Gumamku memuji dalam hati.
Setiba dirumah, payung itu kutaruh diatas sebuah balai-balai agar cepat mengering dan dalam hati aku janji, secepatnya akan kukembalikan agar secepatnya
pula aku bertemu dengannya.
Minggu pagi, aku berjalan disela gerimis yang bernyanyi dipucuk pepohonan rindang. Sesuai janji Indah padaku, bahwa minggu mendatang payung itu disuruh kembalikan bersama kartu pelajar miliknya. Sambil aku melangkah kuamati kartu pelajar yang ada digenggamanku. Baru kutahu alamatnya, adalah sebuah kompleks perumahan yang cukup elit dikota ini. Dikenal sebuah perumahan yang ideal lagi mewah.
Setiba dirumah Indah, aku melangkah perlahan memasuki pekarangan rumahnya yang begitu luas. Kelihatannya sangat asri lagi sejuk, karena disana-sini ditumbuhi banyak pepohonan dan bunga-bunga warna-warni. Sangat indah sekali siapa saja yang memandangnya.
Aku tertegun lama didepan pintu masuk rumahnya. Tidak ada siapa-siapa yang kulihat disana. Sepertinya rumah itu tidak berpenghuni. Kosong. Lengang. Kucoba mengetuk pintu rumahnya dari luar disertai ucapan salam. Sesaat kemudian, dari balik kaca jendela rumahnya kulihat sesosok bayangan berjalan menuju arahku. Seorang lelaki paruh baya membukakanku pintu.
“Cari siapa, ya?” begitu tanyanya sambil menatapku curiga.
“Maaf Pak, apa betul ini rumahnya Indah Puspitasari?” balik aku bertanya padanya.
“Indah Puspitasari?” sahut lelaki itu sambil mengernyitkan keningnya.
“Tahu nggak bahwa Indah sudah tidak tinggal disini lagi sejak tiga hari lalu.................”
“Kemana perginya Pak?” tanyaku lagi.
“Sudah pindah, aku hanya disuruh nunggui rumahnya sebelum laku dijual.“ “Pindah kemana Pak?” lagi aku bertanya tak sabar.
“Pindah ke Surabaya bersama kedua orang tuanya beserta tiga adiknya, katanya ayah Indah tiba-tiba dimutasikan kesana sebagai pegawai Negeri Sipil dilingkungan kantor Kementerian Keuangan.” sahutnya menjelaskan padaku.
“Jadi satu keluarga semuanya pindah kesana.”
“Iya.” hatiku luruh mendengar jawab lelaki itu.
“Ada perlu apa dengan Indah?” tanya lelaki itu lagi.
“Ini payung beserta kartu pelajar miliknya aku kembalikan yang kupinjam beberapa hari lalu.” jawabku sambil kuserahkan padanya.
“Kalau begitu terima kasih banyak Pak, permisi.” kataku pamit sambil segera melangkah pergi. Sebelum kumelangkah jauh meninggalkan rumah itu, kembali lelaki itu memanggilku.
“Eh, tunggu.” cegatnya.
“Ada apa lagi?”
“Baru aku ingat, sebelum Indah berangkat ke Surabaya dia titip pesan padaku mengatakan bahwa kalau ada seseorang yang mengembalikan payung yang ia pinjam, tolak saja, berikan padanya kembali untuk dipakai karena kini lagi musim hujan, tentu dia masih membutuhkannya. Ikhlas hati Indah katanya memberikan kepadamu. Juga tak lupa Indah titip salam padamu.
“Terima kasih, Pak.” ujarku sambil menerima kembali payung yang di- serahkan kepadaku.
Aku segera pamit melangkah meninggalkan rumah itu. Menelan rasa kecewa sambil berlalu dicelah gerimis yang menari-nari tak pernah henti sepanjang hari. Dan sekarang kini payung itu tetap kupakai meneduhi kepalaku dari terpaan rintik gerimis, bila aku kesekolah atau bepergian lainnya. Payung milik Indah tetap kujaga dan kupelihara baik-baik.
Setiap aku melintasi teduhnya pohon cempaka disisi Jalan Baji Gau kenangan itu selalu saja mengusik anganku, ditempat inilah dulu pertama kali aku bertemu dengan Indah Puspitasari. Pertama dan untuk terakhir kalinya.
Ada yang luruh dibalik dadaku, yaitu harapan hampa. Mimpi indah yang baru saja kurajut harus lepas terbawa angin lalu. Aku terlambat sudah. Kamu telah berangkat menuju Surabaya diam-diam tanpa setahuku. Kamu pergi meninggal-kanku. Aku ketinggalan kereta,...........Aku telah kehilanganmu..............
Namun masih tersisa sebuah impian dalam lingkar harapku, bila Tuhan mau, suatu kelak kita pasti akan bertemu kembali. Entah kapan, besok atau lusa,............... Entahlah. Hanya sebuah harapan.Tiga tahun berlalu, bukan waktu yang semudah untuk melupakan semua itu. Tapi aku yakin, Indah akan tetap mengingatku, sama seperti aku mengingatnya, bila aku memakai payung pemberiannya ini. Payung warna-warni pelangi yang menjadi kenangan indah bagiku sebagai memori yang tak terlupakan selama dalam perjalanan hidupku. Hanya tinggal kenangan.............(*)


Makassar, 02 Desember 2008

Harian Radar Bulukumba, 28 Maret 2009
Harian Radar Sulbar, 30 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar