Selasa, 03 Mei 2011

69. BERSAMAMU MENUJU KEABADIAN

Oleh : Hasbullah Said.-


MALAM merambat perlahan menuju titik larut. Malam yang seakan tiada tepi. Semilir angin malam yang dibalut hening serupa keroncong sendu yang mengalir dari tempat yang amat jauh. Malam ini memang Jumat kliwon berdasarkan penanggalan Jawa, bukan malam minggu yang panjang penuh canda dan hura-hura.
Sementara hujan diluar masih saja bernyanyi diatas ranggas dahan harumanis dihalaman depan rumah sejak sore tadi. Gelisah resah diatas perbaringanku yang empuk, namun mata tak kuasa terpejam. Entah, malam ini mengapa aku begitu sulit tertidur.
Seharusnya malam ini aku telah lama tertidur pulas karena kecapeian sepulang sore tadi dari Konawe Selatan. Tugas rutin sekali seminggu keluar kota, sebagai pengawas proyek pemeliharaan jalan dan jembatan yang menjadi tugas tetapku sebagai karyawan Dinas P.U Bidang Bina Marga, tempat dimana aku bekerja.
Cukup melelahkan karena dari kota Kendari ke Kabupaten Konawe Selatan Prov. Sultra, ditempuh dua hingga tiga jam perjalanan.
Dari atas ranggas dahan basah dihalaman depan rumah tiba-tiba terdengar suara burung hantu bernyanyi serak pilu, juga suara itu menggangguku membuat aku sulit tertidur. Kedengarannya begitu sangat aneh, dan sepertinya tak mau berhenti, terus-menerus melantunkan nyanyiannya yang serak pilu menggidik bulu roma.
”Pak, suara apa itu?” tanya Risma istriku terjaga bangun dari lelap tidurnya.
“Suara burung.” jawabku pendek.
“Burung apa, kenapa baru kali ini aku mendengar suara seperti itu?”
“Burung hantu.”
“Burung hantu?” lagi Risma bertanya lalu mendekapku karena ketakutan sambil mengernyitkan keningnya.
“Bukankah suara seperti itu suatu alamat buruk yang bakal terjadi.”
“Siapa bilang?” tanyaku.
“Ya, orang tua-tua dulu.”
“Dulu kapan?”
“Jangan tanya aku lagi, lihat ini bulu kudukku sudah merinding.”
“Ah, sudahlah, ayo tidurlah sayang, jangan kamu berkata begitu, itu tidak baik nanti kau syirik, itu dosa besar dan nanti pula anak kita Surya dan Adel ikut terjaga dari tidurnya.” kataku memperingatinya. Walau sesungguhnya aku juga merasakan sesuatu yang tidak enak sejak dari tadi. Namun aku tidak mengatakannya pada Risma. Khawatir dia akan bertambah cemas.
Malam hampir mendekati ambang larut. Dari dalam ruang tengah tiba-tiba terdengar dering telepon meriuhi keheningan malam. Segera kuberlari menuju ruang tengah lalu mengangkatnya.
“Halo, ini dengan siapa?” tanyaku tak sabar, karena dering telepon ditengah malam buta seperti ini biasanya ada berita penting dari seseorang atau dari keluarga terdekat.
“Ya, aku Waty kak Arfan.”
“Ada apa malam-malam buta seperti ini kau meneleponku.” tanyaku lagi tak sabaran.
“Tolong kakak jangan kaget mendengar berita ini, ayahanda Abd.Malik kini sedang dirawat dirumah Sakit Lanto Dg.Pasewang Kab.Jeneponto. Tadi sore tiba-tiba diserang stroke berat untuk kedua kalinya tanpa ampun, membuat ia tak sadarkan diri hingga kini. Dan dengan terpaksa kami larikan ke rumah sakit untuk meminta pertolongan dari dokter jaga.” sahut Waty adikku dari seberang sana dengan nada lirih.
“Kenapa tidak dilarikan saja langsung kerumah sakit DR.Wahidin atau ke- Rumah Sakit Stroke Centre Makassar.” pintaku dengan nada iba.
“Nanti kami lihat dulu perkembangannya, kalau memang dokter disini memberikan rujukan terpaksa malam ini juga kami larikan kerumah sakit yang ada di Makassar.” jawabnya.
“Ya, kami disini hanya mampu mendoakannya semoga ayahanda secepatnya sembuh.” balasku dengan penuh harap. Aku kembali kekamar membangunkan Risma dari lelap tidurnya dan menyampaikan padanya tentang berita buruk yang baru aku terima.
“Ayahanda Abd. Malik kini telah dirawat dirumah sakit Lanto Dg.Pasewang.” kataku.
“Sakit apa?”
“Terserang penyakit stroke.”
“Astagafirullah, pantas suara burung jahat itu tak mau berhenti bersiul, benar apa kataku.” sahut Risma dengan nada kesal.
“Jangan kau berkata begitu lagi, mari kita berdoa semoga ayah cepat sembuh dari sakitnya.”
Jam dinding diruang tengah berdenting dua kali, menandakan bahwa waktu telah menunjukkan pukul dua larut malam. Dari ruang tengah telepon kembali berdering bising. Segera kubangkit dari dudukku kemudian berlari keruang tengah lalu mengangkatnya.
“Kak, Arfan, kini ayah telah tiada, dia telah pergi mendahului kita menghadap pada yang Maha Kuasa, Inna Lillah...............” begitu kata Waty diiringi tangis pilu terdengar dari seberang sana.
“Inna Lillah.” balasku pula dengan nada sedih.
“Ayah telah berpulang Risma.” kataku sambil memeluknya erat penuh haru yang tak terhankan.
“Inna Lillah.” balas Risma dengan tangis yang mengharukan.
Malam berjalan tanpa henti. Dan kami berdua malam itu tak sempat lagi tertidur. Berembuk, berpikir dan berupaya keras bagaimana caranya untuk secepatnya kami sekeluarga berangkat menuju Makassar dan tiba dengan selamat dikampung halaman, tempat dimana ayah kami akan dikebumikan.
“Ris, besok pagi-pagi betul kita ke Bandara, nanti disana kita beli tiket, mudah-mudahan saja kita dapatkan.”
“Mudah-mudahan saja Pak, agar jenazah ayah kita masih sempat melihatnya sebelum dikebumikan.”
“Bagaimana dengan kakak kita Irfan di Palembang, dan adik Ikhsan di Sama-inda?” tanya Risma.
“Mungkin sudah disampaikan sama Waty dan tentu juga dia berupaya untuk segera datang sebelum ayah dikebumikan.”
“Ya, semogalah.” kata Risma sambil berlari masuk ke kamar tidurnya karena rasa ngantuk tiba-tiba datang menyerangnya tanpa kompromi. Aku hanya tinggal sendirian diam membisu diatas kursi tamu. Aku tak dapat berbuat banyak. Kecuali yang terpikirkan olehku, bagaimana caranya besok pagi kami mendapatkan tiket dan segera berangkat menuju Makassar.
Malam bergulir terus tanpa henti, tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 03.00 dinihari. Dari ruang tengah terdengar kembali dering telepon meriuhi malam yang kian bening.
“Halo, kak Arfan, ibu kini juga tengah dilarikan ke rumah sakit Lanto Dg.Pasewang. Tekanan darahnya tiba-tiba memuncak. Naik seperti deret hitung, 140,160,180 dan terakhir 240. Dokter yang menanganinya hanya sempat meng-gelengkan kepala. Jarum impus tak lagi mampu menembus ari kulit lengannya. Dokter jaga merujuk untuk segera dilarikan ke Rumah Sakit DR.Wahidin di Makassar.” Percakapan kami tiba-tiba terputus. Tak lagi terdengar suara Waty dari seberang sana.
Halo,....halo begitu teriakku, namun tak ada jawaban yang terdengar dari balik gagang telepon digenggamanku. Gagangnya kuletakkan kembali ditempatnya seperti semula. Aku kembali duduk terkulai layu diatas kursi tamu. Menunggu dering telepon dengan berita yang mendebarkan. Risma terjaga dari tidurnya, kusampaikan padanya bahwa ibu kini tengah dirawat pula di rumah sakit, akibat tekanan darahnya tiba-tiba melonjak naik dengan sangat drastis. Ini adalah sebuah ujian berat bagi keluarga kita. Membutuhkan kesabaran. Agar kita tidak terserang stress atau depresi. Dering telepon lagi-lagi berteriak bising.
“Halo, ada apa lagi?” tanyaku.
“Halo,....halo,......” desakku berulang kali karena suara dari seberang sana samar-samar tak terdengar.
“Kak, ibu juga telah berangkat menyusul ayah.” sahut Waty dengan suara terputus-putus bergelombang, bagai gelombang laut disana.
“Baru beberapa meter kami tinggalkan rumah sakit untuk segera menuju Makassar, namun nyawa ibu tak tertolong lagi. Terpaksa kami balik haluan pulang menuju rumah di kampung Bulo-Bulo. Kami mohon agar kak Arfan segera datang.” pintanya dengan tangis yang memilukan.
Mendengar ucapnya, dunia serasa kiamat, langit bagai runtuh menimpa diatas kepalaku, membuat tubuhku hancur luluh. Gagang telepon luruh dari genggamanku mengenai tepat ujung-ujung kakiku. Hampir aku tak percaya mendengar berita itu. Bagai disambar petir disiang hari bolong. Ya, Tuhan,....... dosa apa yang hamba pernah lakukan sehingga Engkau berikan sebuah cobaan yang amat berat buat kami. Begitu desisku lirih perlahan keluar terlontar dari celah bibirku yang bergetar.
Kokok ayam bersahut-sahutan menyongsong pagi kelabu. Kedua anak kami yaitu Adel Mulia dan Suryananda telah terbangun dari lelap tidurnya. Adel menggosok-gosok matanya kemudian berjalan mendekatiku lalu duduk bersama kami diatas kursi tamu. Dia merengek seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan pada kami. Tanpa dinyana ia bercerita.
“Papa,..... Mama,..... Adel lihat tadi malam Anto Ibu*) terbang melayang-layang diatas langit-langit rumah. Adel lihat Anto Ibu pakai baju putih-putih sangat cantik sekali. Disusul oleh Anto Bapak*) juga pakai baju putih-putih. Anto Ibu melambaikan tangan pada Adel memanggil-manggilku untuk ikut pergi bersamanya. Namun Adel tolak, tak mau ikut, karena Adel tak pandai terbang dan takut jatuh.
Sesudahnya, Anto’ pergi keluar melalui jendela kamar Papa, lalu terbang jauh menuju langit biru. Anto’ keduanya pandai terbang ya, Pak?” mendengar ceritanya aku bersama Risma hanya senyum ngangguk menahan haru.
“O, itu mungkin yang Adel lihat film kartoonnya Super Man di TV pandai ter-bang tinggi sampai kelangit biru. Iya, toh Papa, Mama?” sela Surya adiknya dengan nada protes.
“Ah,.....tidak dehhhh.........bukan film kartoon! Betul, Adel lihat tadi malam.” bantah Adel kesal.
“Udah,.....udah.....! Itu namanya mimpi anakku “ kataku memberi pengertian pada mereka sambil kupeluk sayang bergantian, lalu masing-masing kuciumi kedua belahan pipinya.
“O, itu mimpi namanya Papa?” tanya mereka heran.
“Ya, sudahlah anakku, cepat-cepatlah kalian pergi mandi! Sebentar nanti kita akan berangkat ke Makassar untuk menemui Anto’ Ibu dan Anto Bapak, karena Adel mimpikan terbang tadi malam.”
“Horeeee,......! Kita akan naik pesawat terbang, bukan terbang melayang-layang diatas langit-langit rumah sama seperti Anto’.” teriak mereka sambil berlari masuk kekamar mandi.
Sesudah sarapan pagi, kami bergegas menuju bandara Halu Oleo Kendari untuk segera berangkat menuju Makassar dengan penerbangan pertama. Dalam perjalanan tak putus-putusnya kami berdoa, semoga arwah kedua orang tua kami diterima disisi-Nya.
Setelah tiba dirumah duka di kampung, kami disambut oleh sanak keluarga dengan lengkingan suara tangis yang mengharukan. Suasana duka yang amat mendalam menyelimuti mereka. Tak kuasa menahan perih dihati. Mulutku terkunci rapat. Tapi hatiku di dalam merintih duka. Kupandangi dua sosok beku dihadapanku yang terbaring kaku.
Mereka telah pergi jauh....... Melangkah beriring bersama menuju keabadian. Seperti sudah berkomitmen bahwa tak ada yang bisa memisahkan mereka, pun sesuatu yang bernama kematian. Selamat jalan ayah bunda. Damailah dalam tidur panjang kalian. Sesungguhnya hidup ini, adalah sebuah penantian menunggu kematian.(*)

Makassar, 20 Juni 2010
Mingguan Inti Berita, 25 Juli 2010
Harian Radar Bulukumba, 26 Januari 2011

Anto’Bapak,*) Anto’Ibu*) = Anto’ atau Dato’ adalah panggilan cucu kepada kakek, atau nenek bagi suku Makassar daerah Turatea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar