Selasa, 03 Mei 2011

70. TERBANGLAH TINGGI MERPATI PUTIH

Oleh : Hasbullah Said.-


ANGANNYA pecah. Begitu berhamburan jauh. Puingnya mencampak ke masa lalu. Masa dimana seorang Diash pernah meriuhi rentang hari-hari Metha.
Diash yang pernah memberinya cinta dan kerinduan yang tak berkesudahan. Juga luka yang melebamkan sekujur permukaan hatinya. Kini masih membekas.
Andai hidup ini punya cetakan kedua, masih beranikah Metha menabur harap diatas ladang hati seorang Diash?
Semuanya berawal begitu saja. Metha melihat seorang lelaki yang juga tetangganya, sedang membaca sebuah naskah cerpen. Naluri kecintaannya pada tulisan berbau fiksi seketika menggelitik syarafnya.
“Sedang baca apa, kak?” sapanya begitu mendekat.
“Oh, ini, karya tulis seorang teman di Makassar. Sebuah cerpen.” jawab silelaki itu.
“Boleh, nggak saya pinjam baca, kak?”
“Boleh aja, asal jangan lupa dipulangin.”
Metha mengangguk kesenangan menerima naskah cerpen itu.
Dia berlari pulang. Membenamkan dirinya dalam kamarnya. Kemudian membaca naskah cerpen berjudul “Desember Kenangan” di tangannya penuh minat.
Kalau kemudian Metha memuji cerpen yang sudah dibacanya, itu tidaklah berlebihan. Jalan ceritanya begitu menarik. Gaya bahasanya menawan. Awal kisah yang memikat, ditutup dengan ending yang suprais. Dari awal hingga akhir membuat Metha jatuh hati.
Wajar saja jika Metha berkeinginan mengenal penulisnya, Diash Asmara Dhara. Dua potong nama itu. Melekat begitu saja dibenaknya. Memaksanya kembali menemui lelaki teman sipenulis. Meminta nomor HP-nya dan pulang lagi ke-rumahnya dengan hati melonjak kegirangan.
Saya tertarik dengan cerpen kakak ”Desember Kenangan” boleh nggak berkenalan?
Singkat saja. Begitu SMS Metha yang dikirim via HP mungilnya. Dia berharap Diash segera membacanya. Kemudian membalasnya. Tentu saja dengan isi yang diharapkan Metha. Sebuah sambutan hangat.
Tapi ternyata tidak. Diash menepikan SMS-nya. Padahal Metha tahu Diash membukanya.
Seketika Metha disergap kecewa. Diash sombong, vonisnya. Sikap ini jelas kurang sedap dimiliki oleh seorang penulis. Penulis tanpa pembaca sama juga bohong. Ini harusnya disadari oleh Diash.
Ditelannya saja rasa kecewa itu. Metha berusaha melupakan SMS-nya yang tak terbalas. Barangkali Diash orang yang super sibuk. Punya banyak aktivitas. Sepotong niat Metha yang tertitip lewat SMS baginya mungkin serupa angin lalu. Tak berarti.
Akan tetapi rupanya Metha keliru. Karena esoknya saat dia sudah melupakan itu, lamun sepinya dikejutkan oleh isyarat SMS di HP-nya. Dengan malas dibu- kanya, dan membelalak demi membaca nama sipengirim. Diash.
Maaf adik manis. Bukannya sombong, saya sibuk sekali hingga baru sekarang mambalas SMS-nya. Sepuluh jari tanganku terbuka saya sambut perkenalan adik.
Metha tersenyum geli. Rupanya dia tahu kalau Metha mengatainya sombong. Mungkin dia punya semacam ilmu telepati. Atau mungkin dia seorang anak dukun, hi,.....hi,...hi,....?
SMS perdana Diash itu dibacanya berulang hingga merasa bosan.
***
Metha tak tahu pasti sejak kapan hobi baca bermutasi dalam darahnya. Boleh jadi setempo masih sekolah di-SD. Puluhan bahkan ratusan judul cerpen pernah dibacanya. Yang lucu bikin dia terbahak. Yang sedih bikin dia menangis. Yang serem bikin dia susah tidur. Banyak nama cerpenis yang dihafalnya diluar kepala. Seperti Hilman, E. Sati, Wita Alamanda Simbolong, Ela Fatimah, K.Usman, Rahmat Taufik, Pangerang, MS., S. Gege Mappangewa, Dul Abdul Rahman, Eki Nastitie, Hasbullah Said dan banyak lagi.
Tapi tak satu namapun yang menarik minatnya untuk mengenal sosok pribadinya. Baru sekarang. Mungkin karena dia tertarik pada cerpen “Desember Kenangan“ punya Diash. Mungkin juga karena sebab lain. Entah, Metha tak ingin mencari tahu.
Yang dia tahu adalah sejak saat itu sebentuk keriangan tersendiri telah menyinggahi kehidupan masa remajanya. Metha begitu senang setiap kali Diash membalas SMS-nya atau sebaliknya, dia yang membalas SMS Diash. Terlebih saat mereka mulai pakai cara telepon-teleponan.
Nuansa kebersamaan mereka memang hanya terjalin serupa itu. Hanya lewat HP saja. Jarak yang terbentang diantara mereka tak menyediakan pilihan lain. Metha di kota kecil Ternate dan Diash di Makassar. Tapi bagi Metha itu tak menjadikan masalah. Dia amat senang bisa bersahabat dengan Diash.
Cowok itu masih 20 tahun, 3 tahun diatas usia Metha. Dia masih kuliah di UNHAS semester tiga. Diash baru menulis cerpen. Jam terbangnya masih minim. Tapi sebagai seorang pemula dia pantas diacungkan jempol. Kalau terus eksis dia pasti akan menjadi penulis terkenal. Begitu Metha menilainya.
Begitulah waktu berjalan. Metha dan Diash makin akrab menjalin persahabatan jarak jauh. Metha tak pernah lagi merasa kesepian. Harinya jadi semarak sejak ada Diash. Cowok itu begitu pandai bicara. Begitu pintar membuat paras Metha memerah jika dia melontarkan godaan tentang kecantikannya. Saat sedih datang, Diash dengan Sense of humornya yang tinggi akan membuatnya tertawa. Diash telah menjadi bagian dari hidupnya. Hingga tanpa disadari olehnya hadir semacam kerinduan lain dan jika dalam sehari saja suara Diash tak terdengar olehnya. Ada rasa yang aneh dan nikmat jika nama cowok itu terngiang dalam lamunannya. Awalnya, Metha tak tahu musim apa yang tengah berhembus dihatinya. Tapi setelah dia mencermati revolusi yang terjadi dalam dirinya itu, akhirnya dia tiba pada satu kesimpulan : Dia telah jatuh cinta pada Diash,..........!
Metha mencoba mengingkari kenyataan itu. Memasabodohkan debar-debar aneh didadanya. Mana mungkin dia bisa jatuh cinta pada orang yang belum pernah bertemu dengannya? Ini gila namanya. Ini pasti bukan cinta. Bukan. Aku pasti salah. Begitu dia berusaha meyakinkan diri. Tapi akhirnya dia kalah sendiri. Perasaan tak bisa dibohongi. Kerinduannya pada Diash bukanlah kerinduan pada seorang sahabat tapi kerinduan pada seorang kekasih. Kenyataan ini mau tak mau harus dia akui ke- benarannya!
Dan itu membuatnya tidak tenang. Berbagai tanya hadir dibenaknya. Apa reaksi Diash jika tahu Metha mencintainya? Mungkinkah dia juga punya rasa yang sama dengannya? Ataukah Metha hanya semacam Si Pungguk yang merindukan bulan? Oh, betapa sakitnya jika itu terjadi. Metha ingin bertanya itu. Tapi naluri ke- wanitaannya mencegahnya. Dia adalah gadis Timur yang ditakdirkan menunggu dalam urusan semacam ini.
Yang menggembirakan adalah ternyata Metha tak perlu menunggu lama. Suatu pagi tepat dihari ulang tahunnya Diash menyatakan cintanya dan memintanya untuk menjadi pacarnya. Gayung ternyata bersambut. Kalau tidak malu, maka Metha pasti sudah berlari keliling kampung mengekpresikan suka citanya.
Metha tiba dipuncak bahagianya. Tabur bunga mewarnai mimpi-mimpi malamnya. Bersama cinta hidup ternyata begitu mudah untuk dijalani.
Sayangnya, dan juga tak terduga olehnya, bahagia itu ternyata hanya seumur jagung. Sebentuk realita berhasil melemparkannya kelembah duka paling dalam. Realita itu tertuang dalam selembar surat Diash untuknya.
Metha, sebelumnya maaf atas keputusan yang kuambil ini. Ini adalah keputusan terberat sepanjang garis hidupku. Aku tak bisa menghindarinya. Hubungan kita harus berakhir sampai disini, Metha. Aku tak bisa memperta hankanmu. Aku telah dijodohkan oleh orang tuaku. Amat klise memang. Tapi inilah realitanya. Aku sendiri baru tahu. Saat hubungan kita terbaca oleh orang tuaku, mereka lalu menyatakan tentang perjodohan itu. Dan aku tak bisa menolak. Orang tuaku terikat budi baik pada Om Rusman, ayah gadis yang dijodohkan denganku itu. Kalau bukan karena Om Rusman, Perusahaan orang tuaku pasti sudah jatuh bangkrut. Dan aku tak bisa kuliah seperti saat sekarang ini.
Lupakan aku. Anggap cerita kita serupa angin lalu. Atau jadikan kenangan dihari tua nanti,..........!
Metha mematung hampa. Membatin lama. Langit diatas seperti runtuh menimpa kepalanya. Kertas ditangannya jatuh begitu saja. Hatinya hancur. Air matanya luruh. Inilah akhir cintanya. Tidak ada yang tersisa. Hanya luka.............
Tertatih-tatih Metha kemudian mencoba menjalani hari-hari sulit setelah prahara itu. Tidak mudah baginya. Dia jadi kehilangan senyum. Cerianya raib entah kemana. Nasib seperti tak ramah padanya. Apa salah dan dosanya hingga Tuhan menghukumnya seperti ini?
Ya, pada awalnya Metha memang menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi pada kehidupan cintanya. Tapi kemudian akhirnya Metha sadar bahwa semua itu adalah suratan takdir. Cinta memang tak selamanya memiliki. Dia harus bangkit. Tak boleh terus terpuruk dalam lembah duka. Dia harus menjadi gadis yang tegar dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Karena hidup terus berjalan. Tak peduli berapa tetes air matanya yang tertumpah.
Dan sekarang, saat ini, Metha sudah berhasil berdiri tegak, dia sudah dapat memetik hikmah dari sebuah kenangan buram. Mengajarinya bahwa hidup ini bukan melulu cinta. Banyak yang bisa dikerjakan selain meratapi diri. Dan itu membantu- nya menyongsong masa depan yang cerah. Kalau sekarang dia terkenang lagi masa silam itu, dia hanya ingin bernostalgia saja. Tidak lebih.(*)


Makassar, 25 November 2008

Harian Radar Bulukumba, 03 April 2009
Harian Palopo Pos, 15 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar