Selasa, 03 Mei 2011

71. GERIMIS MALAM MENYIBAK LUKA

Oleh : Hasbullah Said.-


MALAM hampir larut. Diluar, hujan gerimis masih saja bernyanyi diatas ranggas dahan basah. Suasana seperti ini, membawaku hanyut dalam angan yang mengembara. Pecah begitu berhamburan jauh. Puingnya mencampak kemasa laluku. Masa dimana seorang Methasari Hapsarini pernah menghiasai rentang hari-hariku dengan suka cita. Metha yang pernah memberiku harapan cinta dan kerinduan yang tak punya akhir. Kini menyisakan luka yang amat dalam melebamkan sekujur permukaan hatiku.
Andai hidup ini kekal abadi selama-lamanya, masih beranikah Methasari menanam cinta diatas ladang hatiku yang masih menanti belas kasihnya yang pernah kurajut bersamanya?
Semuanya itu berlalu bagai gerimis malam yang membelai dedaunan ke- mudian reda. Lalu berganti dengan cahaya buram berselimut kabut hitam. Kami saling kenal, berawal mula dari sebuah tulisan cerita pendek dimuat disebuah koran terbitan dikotanya. Hasil karya tulisku “Payung Warna Pelangi “ begitu judulnya.
Dibacanya dengan penuh minat, sambil membenamkan dirinya dalam ka- marnya. Tidaklah berlebihan bila Metha memuji cerpen yang sudah dibacanya. Berulang kali tanpa merasa bosan. Awal kisah hingga akhir cerita sangat terpikat olehnya dan akhirnya, Metha jatuh hati.
Entah, sejak kapan hobi baca Metha mendarah daging dalam tubuhnya. Mungkin sejak dia masih sekolah di SMP atau sesudahnya setelah ia menginjak usia remaja. Aku tak tahu persis. Yang aku tahu dia punya minat baca begitu tinggi, karena semua cerpen yang dimuat dikoran terbitan dikotanya tak pernah absen membacanya. Itu disampaikan padaku melalui HP-nya.
Suatu malam, gerimis yang menggeligis meriuhi keheningan sunyi. Tiba-tiba lamun sepiku terusik oleh sebuah isyarat pesan singkat dari balik HP-ku, terdengar samar-samar tertelan riuhnya gerimis malam. Dengan malas kubuka. Mendadak heran membaca pengirimnya. Methasari Hapsarini. Dua potong nama cantik dari seorang cewek yang masih asing bagiku.
Saya sangat terkesan dengan cerpen kakak, Payung Warna Pelangi. Dimuat disebuah koran terbit dikotaku. Boleh nggak, berkenalan dengan kakak? Dari Methasari Hapsarini di Pulau Batam.
Begitu singkat SMS-nya. Tak habis pikir. Aku heran, dimana dia peroleh nomor HP-ku. Seingatku hanya Redaktur surat kabar tempat dimana tulisanku dimuat pernah kukirimkan alamat serta nomor HP-ku. Akhirnya, aku tak mau tahu dimana dia peroleh, dan siapa orangnya.
Yang aku tahu, seorang penulis yang berhasil adalah mampu mendapatkan begitu banyak simpati dari pembacanya, yang disebut fans atau penggemar. Ruang dan waktu bukanlah sebuah masalah yang sulit. Kecanggihan tehnologi tinggi kini memberi harapan baru untuk menggaet penggemar sebanyak mungkin. Segera kubalas SMS-nya.
Maaf sayangku. Saya terlambat membalas SMS adik Metha, baru sekarang. Hanya dikarenakan kesibukanku sebagai penulis. Dengan rasa senang hati, kedua belahan tanganku terbuka lebar, menyambut uluran tangan adik.
Dari Diash Asmara Dhara di Makassar.
Tentu saja setelah Metha buka Hp-nya, ia akan tersenyum kegirangan membacanya, karena tepuk sebelah tangan telah menjauh darinya. Sebuah kekecewa- an yang amat dalam sekiranya aku mengabaikan harapannya. Itu sudah kupastikan.
Setelah sambutan hangat dariku dia peroleh, hari-harinya dilalui begitu indah terasa membawanya dia kealam mimpi-mimpi malamnya. Kalau tak malu, mungkin sudah lama mengekpresikan kegembiraannya memberitahukan kepada semua teman-teman sekolahnya.
Akhirnya setelah itu, kami telah menjalin hubungan persahabatan. Metha di Pulau Batam, dan aku dikota Makassar. Jarak yang membentang begitu luas, bagi Metha tidaklah menjadi masalah. Dia merasa sangat senang bersahabat denganku.
Sudah sekian banyak cerpen yang sudah pernah dibacanya puluhan bahkan ratusan, namun tak satupun nama penulisnya yang menarik perhatiannya untuk mengenal sosok pribadinya. Baru kali ini, mungkin karena ketertarikannya pada cerpen Memori Payung Warna Pelangi yang aku tulis atau mungkin juga sebab lain. Entah, aku tak tahu.
Sebentuk keriangan bersemayam dihatinya ketika ia menerima SMS dariku
ataupun sebaliknya dia membalas SMS padaku. Hanya seperti itu. Lewat HP saja.
Terlebih disaat kami bertelepon-teleponan berlama-lamaan tanpa merasa bosan.
Tak peduli berapa banyak biaya harus kami keluarkan untuk pembeli pulsa yang pen-
ting kami dapat saling berhubungan mendengar suara dari balik HP masing masing.
Begitulah waktu berjalan terus tanpa henti. Suatu warna jalinan tali persa- habatan jarak jauh yang begitu akrab. Hari-harinya begitu Metha lalui dengan sangat indah terasa.
Akhirnya, tanpa dia sadari, ada hadir didalam hatinya semacam kerinduan lain. Nyanyian rindu dalam degup jantung yang berpacu keras. Ada rasa aneh dan nikmat terasa bila terngiang suaraku dalam lamunannya. Metha tak tahu yanyian apa itu namanya. Akan tetapi setelah lama ia cermati maka lahirlah sebuah kesimpulan bahwa dia jatuh cinta padaku.
Metha mencoba menepis angan itu. Berupaya keras mengusir jauh debar-debar aneh yang selalu berkecamuk dalam dadanya. Tapi tak kuasa. Sedetik ia melupakan tapi detik berikutnya muncul kembali. Dan itu membuatnya ia gelisah.
Timbul tanya dalam benaknya. Mungkinkah seorang Diash cinta padaku, padahal aku belum pernah bertemu dengannya? Apakah dia juga merasakan apa yang aku rasakan? Cinta apakah ini namanya? Cinta edan...........! Adakah cinta bernama jarak jauh?
Akhirnya dia luluh sendiri. Naluri seorang perempuan sama seperti dia tak dapat dibohongi. Kerinduan Metha padaku bukanlah kerinduan seorang sahabat akan tetapi kerinduan sebagai seorang kekasih. Sebentuk rasa iba perlahan lahir dalam bingkai hatiku yang paling dalam, akhirnya kunyatakan : Akupun cinta padamu........Gayung bersambut. Kegirangannya meluap setelah ungkapan itu kuutarakan padanya.
Waktu bergulir terus, mewarnai hari-harinya yang begitu ceriah, menjelma dalam mimpi-mimpi malamnya yang begitu indah. Sayang, dalam jalinan tali cinta yang belum lama kami rajut tak seindah apa yang kami harapkan. Tak berlangsung lama. Sangat singkat. Cinta hanya semusim. Musim hujan dibulan Desember adalah tonggak akhir sebuah cerita buram. Prahara cinta kandas hancur dihantam badai. Angin peting beliung, begitu sangat kejam. Sebuah kenyataan pahit yang me- lemparkan aku kedalam lembah duka yang amat dalam. Secarik kertas bersampul biru dikirimkan Metha kepadaku.
Kak Diash, mohon maaf sebelum jauh kita melangkah, mungkin sebaiknya hubungan kita akhiri sampai disini. Sebuah keputusan yang sangat pahit kurasa. Aku tak dapat berbuat banyak. Novel Siti Nurbaya punya Marah Rusli jilid kedua, telah terbit dikotaku, Batam. Tak kuasa aku menolaknya, kecuali mengangguk terpaksa mengiyakan kemauan kedua orang tuaku. Ini adalah sebuah realita yang sangat sulit kumengerti. Aku dipaksa dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang saudagar kaya, Datuk H. Rangkuti Nan Kayo. Hanya karena orang tuaku dililit utang padanya. Sekiranya bukan Situa bangka itu, usaha meubel ukir kayu Jepara ayahku sudah lama bangkrut gulung tikar, akibat imbas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Kuharap lupakanlah aku,....Anggaplah cerita kita angin lalu. Tidak pernah terjadi. Paling tidak, jadikanlah sebuah kenangan buram buat kita berdua............! Suatu waktu, pasti kita akan bertemu entah kapan, walau aku dalam kapasitas seorang ibu ramah tangga yang didera derita siksa bathin.
Aku tercenung bisu setelah membacanya. Kertas itu luruh persis diatas ujung-ujung kakiku. Duniaku bagaikan kiamat terasa. Keringat dinginku mengucur ke- seluruh permukaan tubuhku menyatu dengan baju yang kukenakan. Hatiku hancur luluh. Terpaksa aku rela, cinta yang baru kurajut bersamanya harus lepas terbawa angin lalu. Walau hati ini menangis perih tersayat pilu. Inilah akhir sebuah kisah. Kisah buram dari seorang penulis yang gagal dalam bercinta. Aku kalah. Uang adalah segala-galanya. Tidak ada yang tersisa. Kecuali luka..............
Luka lebam disekujur jantung hatiku serupa bekas benturan benda keras kubawa berlalu. Aku berjalan tertatih-tatih memasuki kamarku yang pengap. Lalu aku membenamkan diri didalamnya.
Aku berupaya keras untuk melupakan semua itu. Namun pada akhirnya aku sadar, bahwa semua itu takdirlah yang kuasa. Tidaklah selamanya cinta itu harus diraih. Serupa bunga, layu sebelum berkembang, pisah sebelum jumpa. Sebuah realita yang amat pahit harus aku telan.
Gerimis malam dibulan Desember seperti saat ini, mengungkap masa laluku yang kelabu. Kalau aku terkenang kembali masa itu, maka itu hanyalah sebuah kenangan kelam bagiku.(*)

Makassar, 21 Desember 2008

Harian Radar Bulukumba, 06 April 2009
Harian Cermin Reformasi Ternate, 13 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar