Selasa, 03 Mei 2011

72. CINTAKU TERHALANG TIRAI BIRU

Oleh : Hasbullah Said.-


HUJAN lebat disenja hari baru saja reda. Langit kota kembali biru bening. Jalanan yang tadinya berdebu, kini begitu terendap rapat habis tersiram air hujan. Desah semilir senja berhembus perlahan dari arah perbukitan terasa begitu sejuk.
Kami berjalan dalam pelukan senja berlari menuju malam yang tak lama lagi merangkul gelap. Suasananya begitu dingin di sepanjang jalan yang kami lalui.
Mulli, disisiku gadis begitu lama kusimpan dalam lubuk hatiku, menjajari hari-hariku berjalan sambil membenamkan kepalanya bersandar tepat didepan bahuku. Dengan pandangan luruh seolah menghitung genangan air yang begitu banyak disepanjang jalan yang kami lalui sangat mengganggu perjalanan kami.
Tak sepotong katapun yang keluar dari mulutnya meriuhi kebekuan malam yang baru tiba. Yang ada hanyalah hamparan sepi yang sangat begitu kental. Mulli lebih memilih untuk diam. Dan aku memilih untuk mengumpulkan serpihan hari-hari yang pernah aku lalui bersamanya.
Aku sudah lupa sejak kapan akrab dengannya. Aku tak tahu pasti. Awalnya dia hanya sebatas teman biasa saja. Hanya karena sudah terbiasa aku pulang bersamanya setiap usai kuliah. Akhirnya kebiasaan itu tiba-tiba menjelma menjadi teman mesra menempatkan dirinya disudut relung hatiku.
Ada getar-getar aneh dalam hayalku, manakala kudengungkan namanya dalam lamun sepiku. Dan akhirnya aku menyadari sendiri apa yang tengah melanda diriku. Mungkin ini adalah awal datangnya musim bunga yang sedang mekar.
Dan apa yang kurasakan ternyata juga dirasakan oleh Mulli. Seperti ada kesepahaman yang terpendam diam-diam antara kami berdua. Sesuatu yang abstrak yang tak terkatakan namun masing-masing terasakan. Lewat sikapnya mengertilah sudah, bahwa dia menyimpan sesuatu yang sangat berharga untukku. Yaitu cinta.............!
Ada rasa iri bernama cemburu bagi teman-teman kuliahku bila melihatku bareng jalan bersamanya. Sebab Mulli adalah bunga-bunga kampus dimana tempat kami menimbah ilmu. Primadona kampus Merah jadi rebutan bagi mahasiswa teman-teman kami lainnya. Dan itu semakin menambah semangatku untuk meraihnya mengajaknya merenangi telaga cinta bersamanya. Tapi ternyata tidaklah demikian. Langkahku justru terhenyak sesaat. Karena ada sesuatu lembah yang amat dalam tak terjembatani oleh kami berdua. Ada suatu prinsip yang berbeda tak searah dan takkan pernah bertemu disuatu titik.
Sebuah pembicaraan serius telah pernah kami rembukkan bersama disuatu malam, saat cuaca dingin seperti ini. Yaitu sebuah dinding tembok yang bernama kasta yang menghambat perjalanan cintaku.
Darah biru masih lekat kental dikalangan keluarga Mulli takkan pernah lapuk ditelan masa. Turun temurun darah bangsawan yang disebut Karaeng*) dikalangan orang-orang suku Makassar, masih tetap dijaga tak ingin terkontaminasi dengan darah campuran masih tetap dipelihara hingga kini. Itulah yang menghalang langkahku. Tapi Mulli mengadakan pembelaan keras terhadapku.
“Semua yang namanya manusia tidak ada perbedaan disisi Tuhan, semua sama kecuali keimanan seseorang yang membedakannya. Iya kan?“ suara Mulli terdengar lirih disela-sela kesunyian malam.
“Itu menurutmu.” cegatku.
“Tapi agama yang sama kita anut mengatakan begitu.” balasnya.
“Sebagai manusia, memang punya agama, juga orang tua,......nah orang tua inilah yang dominan memegang teguh prinsip budaya yang disebut adat atau tradisi.”
“Maksudmu?”
“Ya, kasta itu yaitu darah biru.”
“Benar, tapi aku takkan ingin seperti itu. Tembok yang memisahkan kita, aku akan coba untuk menerobosnya.” kata Mulli dengan sangat meyakinkan.
“Bagiku, agama adalah suatu keyakinan yang kupercaya kebenarannya dan agama adalah diatas segala-galanya. Namun perbedaan dalam hal ini bagiku tetap berbeda tak dapat disamakan tembaga dengan emas walau sesungguhnya sama-sama logam.” bantah aku.
“Dasar penakut.”
“Bukan soal takut atau tidak, tapi ini prinsip.”
“Prinsip inilah mereka pertahankan, dan kalau menggoreskan luka maka terlukalah semuanya suatu kensekwensi berat yang harus kita tanggung.”
“Beranikah kamu?”
Mulli disampingku diam. Diam bersama diamnya malam yang berjalan perlahan menuju kebekuannya. Aku terjaga dari lamunanku. Wajah Mulli begitu pudar kulihat tertimpa oleh cahaya lampu kendaraan yang melintas.
“Kau melamun Mulli, apa yang kau lamunkan?” tegurku setelah sekian lama tak ada suara diantara kami berdua. Aku tak menduga kalau Mulli sebegitu nekat. Kontan saja aku kelabakan dibuatnya.
“Melamunkan tentang perbedaan antara kita.” sahut Mulli dengan nada lirih.
“Sudahlah, apa yang harus kita harapkan lagi. Aku sangat menghormati prinsip itu. Kendati prinsip itu terlalu kokoh membentuk sebuah tirai sangat susah untuk kita sibak.” kataku memberi pengertian padanya.
“Kita hidup dalam alam nyata, bukan alam mimpi.” sahut Mulli dengan nada bergelombang. Seperti gelombang laut disana.
“Maksudmu?”
“Ya, akan kubuktikan.......!”
Mata Mulli berkaca-kaca menatapku dengan wajah sendu. Ada rasa gunda berselimut dibalik hatiku. Yaitu rasa kekhawatiran.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Memang benar kita hidup dialam nyata. Tapi masih ada dunia lain lebih indah. Dunia mimpi. Dunia yang membuat manusia bisa lari dari kenyataan.
Tapi ternyata Mulli disampingku tidaklah demikian, pria yang mampu bertahta disinggasana hatinya hanyalah aku seorang, Pasinringi. Pria yang tak punya embel-embel di belakang atau didepan namanya.Tosamara*) Hal yang sangat mustahil akan bisa bersatu. Bagai bumi dan langit. Kecuali hanya satu. Minggat...................! Silariang*)............!
Itulah satu-satunya harapan Mulli. Langit serasa runtuh tertimpa diatas kepalaku. Bukan aku takut, akan tetapi dia tidak sadar bahwa setelah itu. Sesudahnya............... Dunia ini akan terasa sempit. Ruang gerak kami akan terbatas,
selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh orang-orang yang disebut Tomasiri*)
Akan berhadapan dengan dua kubu yang sangat mengerikan disebut : Tomasiri dan Tomanyala*) Kedua-duanya saling bermusuhan. Nyawa akan jadi taruhannya bagi tomayala atau yang mempermalukan. Orang bangsawan suku Makassar memiliki banyak joa.’*) Mereka rela berkorban demi keselamatan dan martabat junjungannya. Itulah yang menjadi beban pemikiranku hingga saat ini.
Sekian bulan telah berlalu, semenjak perbincangan kami disuatu malam tentang dua prinsip yang tak searah. Sejak itu pula kami tak pernah ketemu lagi. Aku jarang ada di kampus. Aku pilih untuk cuti kuliah. Itu satu-satunya jalan yang terbaik untuk menghindar dari suatu kenekatan Mulli. Nekat untuk bersatu walaupun dengan jalan pintas.
Diambang sore. Diujung jalan Cendrawasih, tanpa sengaja aku bertemu dengannya.
“Hai...... Sinring!” suara samar-samar terdengar olehku disela bising kendaraan yang berlalu lalang. Suara kudengar sepertinya tak asing bagiku. Aku menoleh. Kulihat dia menurunkan kaca depan mobilnya lalu menghentikan kendaraan yang di tumpanginya. Dia menyetir sendiri. Mobil Toyota Avanza warna merah darah berhenti tepat di sampingku.
“Kau mau kemana?” tanyanya.
“Aku hendak pulang kerumah.” jawabku.
“Ayo, mari ikut bersamaku.” ajaknya padaku lembut.
Awalnya aku menolak untuk ikut dengannya. Tapi ia berhenti lama. Memaksaku. Membuat kendaraan dibelakangnya berhenti menumpuk banyak. Berderet panjang. Aku tak keberatan. Mobil Toyota Avanza yang dikemudikannya sendiri berjalan perlahan menyusuri jalan sepi. Seperti sepinya hatiku didalam menyibak luka. Dan tak lama kemudian. Aku suruh hentikan, ketika tepat tiba didepan rumahku.
“Sudah sampai.“ kataku sambil berkemas hendak turun dari atas mobilnya.
Sekilas kulihat ada rasa kecewa disana. Sepertinya ada luka. Luka memar menyelimuti sekujur permukaan jantung hatinya.
“Mari, mampir dulu.” tawarku padanya sambil menatapnya.
“Terima kasih, sudah jauh malam “ tolaknya dengan nada lembut.
“Apakah kamu tidak kekampus lagi?” tanya Mulli dengan suara terdengar ngambang.
Aku menggeleng. Lalu aku terdiam. Perlahan kuhela nafas panjang. Dalam hati aku berujar. Aku selalu ingin bertemu denganmu. Dimana saja. Kapan saja. Aku ingin selalu menatap wajahmu yang begitu manis. Lesung pipi bergelayut diwajahmu membuat aku tertawan. Sepasang mata bola dengan pancaran berbinar bening. Sungguh, aku sangat kagum melihatmu.
Tapi itu semua hanyalah sebuah impian. “Mungkin tidak.” begitu jawabku. Karena kita semakin terluka nantinya. Karena tirai itu. Mulli mengangguk samar. Sedetik ia menggenggam tanganku. Sebentar sekali. Mungkin tak lebih dari sedetik. Kemudian ia lepaskan. Aku melambaikan tangan padanya. Dia membalas lambaianku...............
Dan Mulli kembali melarikan mobil Avanzanya dengan cepat. Meninggalkanku berlalu pergi dalam kesunyian malam membawa air bening mengambang dipelupuk matanya.
Aku tertegun. Mungkin tangis Mulli Kr.Masayang adalah tangis untukku. Mungkin juga tangis untuk tembok yang tak tertembus oleh kami karena adat yang membatasinya. Yaitu kasta. Darah biru. Anak Karaeng.(*)


Makassar, 20 Pebruari 2009

Harian Radar Bulukumba, 08 April 2009
Mingguan Inti Berita, 22 Juni 2009
Harian Palopo Pos, 18 Desember 2010

*) Karaeng = Gelar atau titel bangsawan Suku Makassar
*) Tomasiri’ = Orang yang dipermalukan
*) Tomanyala = Orang yang mempermalukan
*) Joa’ = Abdi/hamba bagi seorang raja atau bangsawan suku Makassar
*) Siri’ = Rasa malu disertai dendam
*) Tosamara = Orang kebanyakan /biasa
*) Silariang = Kawin lari
*) Kr. = Singkatan panggilan Karaeng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar