Selasa, 03 Mei 2011

74. SURAT DARI KERAJAAN SELANGOR MALAYSIA BAG.1

Oleh : Hasbullah Said.-


MASIH saja aku terpaku bingung. Duduk diatas kursi kerjaku, setelah aku tiba pagi itu dikantor dimana tempat aku bekerja. Pasalnya, sebuah surat kudapati tergeletak diam diatas meja kerjaku. Sebuah surat yang pengirimnya tak aku kenal.
Sangat asing bagiku. Surat itu diantar oleh pegawai Pos, saat kantor telah tutup dan diterima oleh SATPAM kantorku yang bertugas malam, kemudian di-letakkan begitu saja diatas meja kerjaku.
Kutanyakan kepada hampir semua teman-teman terdekat dikantorku, namun tak satupun yang mengenalnya. Dengan setengah mati aku berpikir, memutar balik otakku, mengingat-ingat siapa tahu ada teman dekat atau karib lama yang sudah sekian tahun pisah, lalu kemudian ia menyuratiku karena dia tengah dirundung rindu padaku. Namun semua itu, tak terjangkau otakku untuk mengingatnya lagi. Sangat misterius.............!
Kuamati sekali lagi surat itu dengan saksama. Sepenggal namapun pengirimnya aku tak kenal sama sekali. Tapi alamat yang dituju aku tak ragukan lagi, karena surat itu ditujukan kepadaku dengan nama dan alamat kantor yang sangat jelas, dan tak satupun kata yang salah, bahkan titik komanyapun tak ada yang meleset. Maka yakinlah aku, bahwa surat itu memang untukku.
Buat, Saudara H.Diash, Daeng Manaba Jln. Sultan Hasanuddin No.B.13/XY. Makassar Sulawesi-Selatan Indonesia. Pengirim : Dato’ H. Shaharudin bin H. Abd. Rahman. Beralamat :
No.12 Jln.SU 15/60
45700 Subang Jaya
Selangor Darul Ekhsan, Kuala Lumpur Malaysia
Setelah kuyakin betul bahwa surat itu benar ditujukan kepadaku, maka tanpa ragu lagi surat itu segera kusobek ujung sampulnya dan dengan perlahan lalu aku baca.
Pertama-tama dia mengucapkan permohan maaf sebesar-besarnya atas kehadiran suratnya yang datang secara tiba-tiba, karena mungkin akan sangat mengganggu aktifitas kerjaku sebagai karyawan kantor. Begitu antara lain isi pembuka suratnya.
Singkatnya surat itu berisi, pertama sekali ia ingin kenal baik denganku, karena menurut penuturan orang yang memperkenalkan aku padanya, mengatakan aku adalah seorang penulis yang banyak mengetahui tentang silsilah serta adat istiadat dan budaya suku Makassar khususnya, ketika dia mengadakan kunjungan kerja ke Negeri Pahang Malaysia.
Anehnya, belum sempat berkenalan dan bercerita banyak dengan lelaki itu, iapun telah menghilang dan tak tahu entah kemana perginya. Namun, sebelumnya dia telah perkenalkan dirinya lebih dulu, mengatakan bahwa dia adalah berasal dari keturunan Bugis-Makassar yang sudah lama menetap tinggal di Negeri Pahang Malaysia, kenal baik denganku. Hingga kini lelaki misterius itu tak pernah lagi bertemu dengannya. Begitu awal komentar dalam suratnya.
Kuputar otakku sekali lagi, dengan mengingat-ingat siapa gerangan lelaki itu yang memperkenalkan diriku kepada Pak Dato’. Namun aku tak tahu siapa dia. Dan tak kukenal sama sekali. Juga dia lelaki misterius,........Semua itu aku pikir bisa saja terjadi, karena tak ada yang mustahil bila Tuhan menghendaki.
Dalam isi surat Pak Dato’ selanjutnya begitu akrab kusebut namanya, menuturkan padaku lebih jauh, bahwa buyut nenek moyangnya juga keturunan asal Bugis-Makassar yang bernama Daeng Lakasi.
Kedatangannya di Negeri jiran Malaysia sekitar pada abad ke-16, merantau bersama beberapa orang teman lainnya. Akhirnya tinggal menetap di Johor Bharu Malaysia, kemudian sesudahnya dia pindah ke Selangor, telah kawin-mawin dengan penduduk asli tanah Melayu.
Pak Dato’ ingin kejelasan sebenarnya, dia keturunan asal dari daerah mana? Apakah dia berasal dari suku Bugis? Atau suku Makassar? Atau mungkin dari daerah lain diluar Sulawesi-Selatan? Atau mungkin juga masih ada sanak familinya disini. Itu menjadi sebuah teka-teki baginya hingga kini belum juga terjawab olehnya................
Akhirnya, segera kubalas suratnya, mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil suatu kesimpulan atau keputusan, tentang asal usul keturunan Pak Dato’ karena aku membutuhkan waktu lama untuk suatu kajian yang tepat agar tidak menimbulkan suatu penafsiran yang keliru.
Kini aku masih saja dalam penelusuran tentang asal usul keturunan Pak Dato’ menanyakan kepada ahlinya atau pakar dibidang kebudayaan. Aku berharap agar Pak Dato’ bersabar dulu adanya. Suatu saat kelak akan terkuak juga cepat atau lambat. Begitu antara lain balasan surat yang kukirimkan kepadanya.
Tak lama kemudian, kembali ia membalas suratku dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatiannya, semoga saja cepat menemukan -
tentang silsilah keturunannya, semoga Tuhan membalas atas budi baik Saudara. Begitu antara lain bunyi suratnya.
Dia sangat gembira mendapat balasan surat dariku. Orang suku Melayu sangat berbahagia dan bangga bila mereka mengetahui dirinya berasal dari keturunan Bugis-Makassar, karena telah dikenal luas diseluruh pelosok Semenanjung Malaysia, tentang keuletan dan keberanian pantang menyerah keturunan asal suku Bugis-Makassar. Utamanya dalam berkelautan mengarungi samudera yang luas dengan menggunakan perahu phinisinya. Dibenarkan dengan falsafah orang suku Makassar yang mengatakan “Kualleangngangi tallanga na toaliya.”*) Artinya pantang surut lebih baik karam ditengah laut dari pada balik haluan tanpa hasil.
Kalau tak ada aral melintang, dipenghujung tahun ini kami berencana akan datang ke Makassar untuk menemui Saudara. Begitu antara lain bunyi suratnya, yang ditutup dengan kalimat salam taksim buat seluruh keluarga yang ada di Makassar.
Selang beberapa waktu, kembali kubalas suratnya menceritakan beberapa hal tentang kedatangan suku Bugis-Makassar di Malaysia, berdasarkan data yang kupe-
roleh dari beberapa budayawan yang ada di Sulawesi-Selatan.
Kedatangan suku Bugis-Makassar di daratan Semenanjung Malaysia ada beberapa tahap atau gelombang. Awal mula sebagai gelombang pertama, pada abad ke 13 di-era kejayaan atau zaman keemasan beberapa kerajaan yang berpengaruh di- Sulawesi-Selatan seperti kerajaan Gowa, Bone, Wajo dan Luwu. Menjalin hubungan kerja sama yang baik dibidang perniagaan dan kebudayaan dengan raja-raja yang ada di Malaysia.
Suku Bugis-Makassar berbondong-bondong kesana menjajakan dagangannya berupa hasil hutan dan rempah-rempah, dengan menumpang perahu phinisi mengarungi lautan luas dengan tujuan bandar-bandar niaga seperti Melaka, Johor Bharu, Perlis, Kedah serta bandar-bandar lainnya yang ada di daratan Semenanjung Malaysia.
Tahap berikutnya atau gelombang kedua, pada abad ke 16 ketika kerajaan Gowa jatuh, kalah perang dengan serdadu kolonial Belanda. Maka prajurit kerajaan yang tetap setia terhadap rajanya yaitu Sultan Hasanuddin yang bergelar Ayam jantan dari Timur bersumpah setia tidak ingin bertekuk lutut terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang pada akhirnya mereka mengambil keputusan lebih baik minggat dari kerajaan Gowa menuju ke suatu daerah bergabung dengan prajurit Trunojoyo yang ada di Pulau Jawa dengan tujuan yang sama yaitu memerangi pemerintah kolonial Belanda yang ada disana.
Sebagian prajurit kerajaan Gowa ada yang lari ke Aceh, kemudian sebahagian menyeberang ke Johor Bharu dan Melaka. Yang pada akhirnya mereka menetap tinggal dan membaur menyatu dengan masyarakat disana hingga kini, dan sudah kawin-mawin dengan suku Melayu yang sudah beranak-pinak dan tak ingin pulang-pulang lagi ke daerah asalnya yaitu Gowa.
Kuat dugaan kami bahwa mereka itu adalah nenek moyang Pak Dato’yang bernama Daeng Lakasi seperti dituturkan dalam suratnya mengatakan bahwa kedatangannya di Malaysia pada abad ke-16 persis sama dengan kedatangan prajurit dari kerjaan Gowa.
Tahap ketiga atau gelombang terakhir, sekitar tahun lima puluhan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, di Provinsi Sulawesi-Selatan ketika itu, telah terjadi suatu gojolak politik yaitu pembrontakan gerombolan yang menamakan dirinya DI/TII dibawah pimpinam Kahar Muzakkar yang bermarkas di daerah Palopo dan sekitarnya. Mereka melawan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, dengan tujuan ingin mendirikan sebuah negara yang berlandaskan azas Islam. Namun, tidak semua penduduk masyarakat Sulawesi-Selatan yang setuju atau mendukung idiologi yang dianut oleh Kahar Muzakkar.
Masyaraakat atau penduduk yang tidak setuju dengan faham yang dianut oleh Kahar Muzakkar itu, mereka melarikan diri keluar dari daerah Sulawesi-Selatan -
untuk mencari ketenangan atau ketentraman hidup.
Daerah yang didatangi lebih banyak lari ke daerah Serawak dan Sabah Malaysia melalui Tawawo dengan menggunakan kendaraan perahu phinisi. Hanya sebahagian kecil saja yang menyeberang ke Semenanjung Malaysia. Mereka yakin bahwa disana akan mendapatkan ketenangan serta kehidupan yang lebih layak dibanding dengan daerah kelahirannya sendiri.
Hingga kini mereka telah menetap tinggal disana dan telah kawin-mawin pula dengan penduduk asli daerah tanah Melayu. Itulah sejarah singkat yang dapat kuketahui atas penuturan dari budayawan asal Sulawesi-Selatan.
***
Di akhir bulan Oktober 1994 saat-saat kesibukan kerja datang menyergapku dikantor dimana tempat aku bekerja. Tiba-tiba dering telepon terdengar meriuhi kamar kerjaku. Segera kuangkat, dan dari seberang sana terdengar suara seorang lelaki.
“Halo, selamat pagi Pak.” suaranya begitu terdengar santun.
“Selamat pagi.” begitu balasku.
“Apa boleh saya bicara dengan Saudara H.Diash Daeng Manaba?”
“Oh, kebetulan saya sendiri orangnya.”
“Ini dari mana, Pak?’ tanyaku.
“Kami dari staf Protokoler Kantor Gubermur, menyampaikan kepada Saudara bahwa, kami telah kedatangan tamu dari Kerajaan Selangor Malaysia, bernama Dato’ H. Shaharudin bin Abd. Rahman ingin bertemu dengan Saudara, sekarang juga segera kami akan jemput Saudara, untuk mempertemukan beliau yang kini sedang menunggu di Hotel Raodah kamar 303 lantai 3 atas.”
“Terima kasih, Pak, saya siap sekarang.” jawabku.
Kehadiranku di hotel Raodah, Pak Dato’ bersama seorang temannya telah lama menantiku, dan setelah berjumpa mereka menyambutku dengan penuh kehangatan layaknya keluarga sendiri yang baru ketemu. Awal perbincangan kami tak lupa dia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas balasan suratnya yang kukirimkan kepadanya baru-baru ini. Diruang lobi hotel itu, kami bercerita banyak tentang asal-usul kedatangan suku Bugis-Makassar di Malaysia. Perbincangan kami begitu hangat sehingga waktu tak terasa telah menunjukkan hampir pukul dua siang.
Pada keesokan harinya, aku bersama staf Protokoler kantor Gubernur menjemput Pak Dato’ di hotel Raodah untuk mengajaknya jalan-jalan diseputar pantai Losari hingga ke Tanjung Bunga dan terakhir sempat mengunjungi Benteng Rotterdam kota Makassar, dan jelang sore harinya kami langsung antar ke Bandara Sultan Hasanuddin Makassar untuk segera balik ke Malaysia, karena izin kunjungannya di Makassar hanya dua hari saja. Pak Dato’ berjanji akan datang lagi kemari dalam waktu yang tidak lama. Selamat jalan Pak Dato’ sampai jumpa lagi, ujarku sambil kulambaikan tanganku, ketika dia berjalan menaiki anak tangga pesawat. Dia membalas lambaianku dengan penuh rasa haru.
Setelah aku tiba di rumah, baru aku sadar bahwa Pak Dato’ itu adalah seorang pejabat penting pemerintahan di Kerajaan Selangor Malaysia, berdasarkan per- bincangan dari salah seorang staf protokoler kantor Gubernur Provinsi Sulawesi-Selatan, itulah sebabnya maka Pak Dato’ diantar jemput oleh staf Protokoler karena beliau adalah tamu negara berdasarkan penyampaian dari kantor Kedutaan Besar Kerajaan Malaysia di Jakarta.
***
Beberapa bulan sesudahnya yaitu tanggal 8 Januari 1995, Pak Dato’ langsung menelponku, mengatakan bahwa besok ia akan datang bersama istri, anak perempuannya, beserta menantu dan kedua cucunya. Dengan rasa senang hati, aku jawab bahwa kami sekeluarga siap menerima kedatangan Pak Dato’ dengan tangan terbuka.
Pada sore harinya, kami jemput di Bandara Sultan Hasanuddin bersama Protokoler Kantor Gubernur yang lebih duluan tiba sedang menunggu di Ruang VIP Bandara. Akhirnya Pak Dato’ pun beserta rombongan telah tiba dengan selamat, dan keluarganya memilih untuk nginap dirumah kami, kendati dari pihak Protokoler Kantor Gubernur menawarkan untuk nginap dihotel berbintang.
Satu minggu mereka nginap dirumah kami dengan penuh kehangatan, keakraban, kekeluargaan, layaknya keluarga kami sendiri yang sudah lama merantau dinegeri orang baru bertemu kembali. Kami sekeluarga memberikan pelayanan yang terbaik apa adanya sesuai dengan kemampuan kami. Selama mereka berada disini sempat kami ajak jalan-jalan kebeberapa tempat wisata seperti permandian alam Bantimurung, wisata pantai Bira, Pulau Khayangan, serta tempat mesium Benteng Rotterdam, Benteng Sombo Opu, dan Balla Lompoa di Gowa.
Mereka sangat terkesan dan sangat takjub akan keindahan panorama alam yang telah dikunjunginya. Juga tak lupa kami ajak makan spesipik makanan daerah Makassar seperti coto Makassar, pisang ijo dan pisang epek.
Pada malam harinya sehari sebelum balik ke Kuala Lumpur Malaysia, kami sempat berbincang-bincang dengan Pak Dato’ hingga larut malam, saling bertukar informasi tentang situasi dan kondisi didua negara yang bersahabat yaitu Malaysia dan Indonesia. Disela-sela perbincangan kami tawarkan sesuatu kepada Pak Dato’.
“Besok Pak Dato’ sudah akan berangkat meniggalkan kami disini, namun tak ada apa-apa sebagai oleh-oleh yang akan dibawa pulang ke Malaysia.”kataku dengan
penuh kerendahan hati.
“Oleh-oleh apa lagi, ini sudah cukup pelayanan Saudara sekeluarga.” kata Pak Dato’ dengan logat Melayunya yang sangat kental.
“Ada sesuatu yang akan kami berikan kepada Pak Dato’ sebagai oleh-oleh, untuk dibawa pulang ke Malaysia, walau tak seberapa nilainya.” kataku dengan penuh kesungguhan hati.
“Walau kami sekeluarga tak punya apa-apa, tapi kami harap Pak Dato’ rela menerimanya dengan rasa senang hati.” lanjutku lagi.
“Tak baik bercakap begitu, kita ini semua sama, tapi oleh-oleh apa itu?” tanya Pak Dato’ dengan mengernyitkan keningnya. Aku diam sejenak, tak secepatnya menyahuti tanyanya, dalam ruang tamu dirumah kami yang tak seberapa luasnya, sejenak diam, tak ada suara. Hening seketika.
“Pemberian gelar kepada Pak Dato’ beserta keluarga yang datang kesini.” kataku perlahan sambil menatapnya dengan senyum.
“Gelar,..........?” tanyanya lagi penasaran.
“Ya.......!” jawabku mengangguk.
“Gelar apa?”
“Gelar, tambahan dibelakang nama Pak Dato’ sebagai ungkapan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap tamu yang kami sangat hormati.” kataku menjelaskan kepadanya.
“Jangan main-main, pemberian gelar seperti itu harus disertai dengan suatu upacara atau kenduri.” katanya dengan sangat antusias. Dari dalam saku celananya tiba-tiba dikeluarkannya sebuah dompet berisi beberapa lembar uang ringgit Malaysia, dan selembar yang bernilai R.M.2000, ( Dua ribu Ringgit Malaysia) di- serahkan kepadaku.
“Ini biaya acara kenduri.”
“Tak usah Pak Dato’.” kataku menolak pemberiannya, namun dengan paksa uang ringgit itu diselipkan kedalam saku bajuku. Maka dengan sangat malu terpaksa aku menerima pemberiannya itu, karena aku khawatir dia akan merasa kecewa dan tersinggung bila aku mengembalikan kepadanya.
Keesokan harinya, aku mengundang seluruh kerabat keluargaku yang terdekat untuk menghadiri acara penganugerahan gelar kepada Pak Dato’ beserta keluarganya. Pada malam harinya acarapun dimulai yang didahului pembacaan bersanji oleh penghulu imam Kelurahan beserta kawan-kawannya.
Sesudahnya, acara intipun dimulai dengan pembacaan Surat Keputusan penganugerahan gelar yang dibacakan oleh saudara sepupu kami yaitu H. Makkutanang Dg.Nuntung, yang bunyinya sebagai berikut.
Memutuskan, menetapkan bahwa mereka yang tersebut namanya pada daftar lampiran surat keputusan ini, terhitung mulai tanggal :
15 Januari 1995
diberi gelar tambahan dibelakang namanya masing-masing sebagai penghormatan dari keluarga kami sebagai berikut :
1.Dato’H.Shaharudin bin H.Abd..Rahman bergelar Daeng Raja
2.Ny.Hj.Dating Ramlah Shaharuddin bergelar Daeng Bau.
3.H.Mustapha Kamal bergelar Daeng Nakku
4.Hj.Hadijah binti Shaharudin bergelar Daeng Manisi
5.Muh.Khadafi bin H.Mustapa Kamal bergelar Daeng Bella
6.Nadya Nurhalili binti Mustapha Kamal Daeng Gagga’
dengan ketentuan, bahwa segala sesuatunya akan diubah dan diperbaiki kembali sebagai mana mestinya, apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam surat keputusan ini.
Makassar, 15 Januari 1995.
t.t.d.
An.Keluarga Besar H.Diash Daeng. Manaba

Sesudah pembacaan surat keputusan itu, terdengar riuh gemuruh tepuk tangan dari seluruh tamu yang hadir, menyambut baik pemberian gelar itu, seakan-akan merobohkan dinding tembok rumah kami yang sangat sederhana. Bola mata Pak Dato’ berserta keluarganya nampak berkaca-kaca tanda haru menerima penganugerahan gelar. Pak Dato’ sempat bertanya apa arti sebenarnya masing-masing gelar yang diberikan pada kami, mungkin ada arti atau makna tersendiri yang dikandungnya. Begitu tanyanya serius kepada kami.
Pertanyaan Pak Dato’ kami lempar kepada pembaca surat keputusan tadi untuk menjawabnya yaitu saudara sepupu kami H.M.Dg.Nuntung, yang banyak mengetahui tentang budaya orang suku Makassar.
“Begini Pak Dato’.” kata Daeng Nuntung memulai penjelasannya. Pemberian gelar atau pa’daengan dalam bahasa Makassarnya itu memang punya arti atau mak -
na tersendiri yang dikandungnya. Seperti tadi,...........
1.Daeng Raja itu artinya raja atau bangsawan
2.Daeng Bau artinya wangi atau harum
3.Daeng Nakku artinya rindu atau selalu diingat atau dirindukan
4.Daeng Manisi artinya manis konotasinya cantik karena diberikan
kepada seorang perempuan.
5.Daeng Bella artinya jauh
6.Daeng Gagga’ berati sangat cantik sekali.
Demikianlah arti dari masing-masing nama orang perorang. Akan tetapi jika
dirangkai dalam satu kalimat yang berantai artinya seperti demikian :
Seorang bangsawan atau raja yang datang dari jauh atau dari seberang sana sangat cantik dan rupawan yang begitu sangat dirindukan dan dihormati oleh siapa saja yang memandangnya.
“Demikianlah artinya Pak Dato’.” Begitu kata H.M.Dg.Nuntung mengakhiri pembicaraannya. Sesudahnya, kembali terdengar tepuk tangan yang meriah dari hadirin menggemuruh lebih seruh dan meriah dari tadi.
Seusai diberi penjelasan dari H.M.Dg.Nuntung nampak terbayang kebahagian yang tak terkirakan diwajah Pak Dato’ berserta keluarganya. Suasana yang tadinya dalam rumah diriuhi dengan penuh tawa keriangan tiba-tiba berobah menjadi hening seketika dibalut dengan keharuan menguasai susana. Dan akhirnya Pak Dato’ bangkit dari duduknya mendekati H.M.Dg.Nuntung, kemudian kepadaku dengan pelukan yang sangat erat disertai isakan tangis yang mengharukan, juga tak lupa kepada hadiran yang lainnya, tak luput dari salaman yang begitu sangat haru setelah mendapat jawaban yang membahagiakannya.
Demikian pula Ibu Dating Ramlah beserta anak, menantu dan cucunya, bangkit dari duduknya lalu berjalan sambil menyalami satu-persatu kepada tamu yang hadir. Jelang larut malam baru acara yang sangat sederhana itu usai, namun sangat hikmat dan tamupun pada pulang kerumahnya masing-masing.
Keesokan sorenya, kami sekeluarga mengantar rombongan Pak Dato’ ke Bandara Sultan Hasanuddin. Dan tak lama kemudian pesawat MAS dari Malaysia telah mendarat dengan mulusnya diatas landasan pacu. Tak putus-putusnya Pak Dato’ beserta keluarganya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pelayanan kami selama berada disini. Akhirnya, pesawat Mas perlahan-lahan menjauh kemudian hilang lenyap sama sekali dipandangan kami. Selamat jalan Pak Dato’, sampai jumpa lagi.
Begitu ucapku sambil melambaikan tangan kepadanya, ketika ia melangkah perlahan menaiki anak tangga pesawat. Iapun membalas lambaian tangan kami dengan penuh keharuan.
***
Beberapa bulan kemudian, kembali Pak Dato’ menelponku disaat tengah husyuknya kami beribadah dalam bulan suci ramadhan, tepatnya malam ke-23 bulan suci ramadhan atau 7 hari jelang Hari Raya Idhul Fitri. Di dahului dengan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada kami, dimana Pak Dato meminta agar sudihlah kiranya dapat dipertautkan suku Makassar dengan Suku Melayu, agar tali silaturrahmi lebih rapat lagi dengan keluarga Pak Dato’ dengan kami, maksudnya sudihlah dijodohkan putera bungsunya yang bernama M.Rizal Rahman dengan puteri sulung kami yang bernama Laela Diash. Kalau tidak ada jodoh tidak apa-apalah, namun kami harap tetap kita bersahabat seperti semula.
Mendengar ucapnya sejenak aku tertegun sesaat, lalu menghela nafas panjang. Kujawab dengan nada perlahan, mengatakan bahwa sangat berterima kasih atas niat baik Pak Dato’, namun semua itu kami akan rembukkan bersama dahulu dengan seluruh kerabat kelurga kami yang ada disini. Dan juga pula kami akan sampaikan kepada yang bersangkutan yaitu puteri kami Laela Diash. Begitu jawabku. Pak Dato’pun menyahutinya lagi menanyakan sampai kapan dia akan mendapatkan kepastian? Tolonglah Pak Dato’ bersabar saja dulu, kami akan berikan kata pasti setelah selesai lebaran nanti, Insya Allah..........! Begitu jawabku sambil kuakhiri pembicaraanku dengannya.
Seusai lebaran, semua kerabat keluarga kami yang datang berziarah dirumah, telah saya utarakan kepada mereka tentang maksud baik Pak Dato’. Dan Al- hamdulillah mereka juga sangat setuju dan menerima baik pinangan keluarga Pak Dato’. Dan terakhir juga telah kami sampaikan kepada putri kami yaitu Laela Diash melalui bundanya. Iapun setuju akan tetapi satu permintaannya, nanti setelah selesai studinya pada jurusan ilmu perikanan karena kini masih sementara dalam penyusunan skripsinya. Gayungpun bersambut, dan akhirnya kamipun sampaikan kepada Pak Dato’ melalui telepon sesuai dengan janji diawal pembicaran kami baru-baru ini.
Untuk resminya dilamar, telah kami sepakati bersama sebulan dari sekarang, mereka akan datang dari Kuala Lumpur Malaysia, untuk melakukan pelamaran atau pinangan yang resmi sesuai dengan adat istiadat suku Makassar.
***
Pada hari Selasa, tanggal 23 Mei rombongan Pak Dato’telah datang dari Malaysia sebanyak 20 orang. Pada pertemuan tersebut telah disepakati hari “ H” nya yaitu jatuh pada hari Kamis tanggal 2 Mei 1996 yang akan datang, berhubung karena anakda Laela Diash kini sementara sibuk dalam penyelesaian studinya.
Dan dua hari sesudahnya mereka datang melamar, dan telah disepakati pula untuk melakukan ikatan sebagai pertunangannya atau “Abbayuang “*) dalam bahasa Makassarnya, dengan penyematan cincin kawin serta satu stell perhiasan emas dan berlian. Dari pihak keluarga laki-laki tidak merasa keberatan atas permintaan kami dan mereka menyetujuinya seperangkat perhiasan dari berlian yang memang telah dipersiapkan sebelumnya. Maka resmilah sudah pertunangan anak kami Laela Diash dengan M.Rizal Rahman.
Namun satu pinta kami dari keluarga perempuan kiranya kedua calon pengantin harus dipertemukan lebih dahulu sebelum diadakan akad nikah karena dalam istilahnya kami tak ingin membeli kucing dalam karung. Kataku saat itu dengan penuh canda yang disambut dengan gelak tawa oleh para hadirin.
Pak Dato’ waktu itu merasa tidak keberatan atas permintaan kami, dan saat itu pula ia segera menelpon Rizal, meminta untuk segera datang ke Makassar paling lambat lusa karena penerbangan MAS waktu itu hanya dilakukan 2 kali dalam seminggu, yaitu hari Senin dan Kamis.
Kedatangan M.Rizal disambut dengan suka cita oleh kedua belah pihak yaitu keluarga kami dan keluarga Pak Dato’ sendiri, yang akhirnya keduanya saling dipertemukan dan dalam tempo yang sangat singkat mereka sudah saling akrab.
Bersama saudara sepupu Laela, M.Rizal diajak jalan-jalan ke Pantai Losari serta tempat-tempat wisata lainnya seperti Tanjung Bunga, Permandian Alam Bantimurung di Maros. Sepulangnya, M.Rizal bercerita banyak tentang keindahan panorma pada tempat-tempat wisata yang dikunjunginya. Pantai Losari katanya lebih kurang sama dengan pantai Lumut di Malaysia. Sedang pesona alam Bantimurung tidak ada tandingannya karena memiliki dua ciri khusus yaitu disamping wisata alamnya yang begitu indah dan sejuk juga memiliki spesis kupu-kupu cantik warna-warni yang tak dimiliki oleh daerah lainnya
Rombongan keluarga Pak Dato’ hanya lima hari saja kunjungannya di- Makassar sini, kemudian mereka telah harus balik kembali ke Kuala Lumpur Malaysia. Mereka sangat puas dengan pelayanan kami selama berada disini, serta keramah tamahannya orang Makassar pada umumnya dan juga panorama alam tempat-tempat wisata yang telah dikunjunginya mereka sangat terkesan dan tak akan terlupkan untuk selama-lamanya.
***
Tiga hari sebelum hari “H” pelaksanaan pernikahan Laela Diash dengan M.Rizal yaitu tanggal 30 April 1996 rombongan Pak Dato’ sebanyak kurang lebih 30 orang telah tiba lebih awal dari Malaysia untuk melakukan persiapan seperlunya. Untuk menghindari biaya pemondokan yang begitu mahal jika mereka tinggal dihotel berbintang, maka terpaksa kami sewakan sebuah rumah milik keluarga kami sendiri yaitu M.Syahrir Karim Dg.Ngatta dengan sewa yang relatif murah dan terjangkau, lengkap dengan perabotannya.
Pada malam pacar atau pesta “Akkorongtigi”*) satu malam sebelum plaksanaan akad nikah, telah kami undang seluruh kerabat keluarga beserta seluruh rombongan keluarga Pak Dato’ yang datang dari Malaysia untuk memberi doa restu kepada calon pengantin perempuan, yang tengah duduk bersimpuh diatas lamming *) dengan pakaian adat baju bodo.
Dalam acara tersebut para tamu atau undangan termasuk tamu dari Malaysia mereka telah saksikan prosesi akkkorongtigi dari awal hingga akhir acara yang dilaksanakan dengan tata cara adat istiadat daerah suku Makassar. Mereka ikuti dengan penuh hikmat serta antusias karena baru pertama kalinya saksikan acara seperti ini. Satu persatu para tamu atau undangan dipersilahkan untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin perempuan.
Setiap kali tamu memberikan doa restu dengan membubuhkan korontinggi atau daun pacar diatas telapak tangan calon pengantin perempuan, tiap kali pula diiringi dengan pukulan gendang bertalu-talu yang ditabuh oleh dua orang pria yang memakai kostum khusus suku Makassar, yaitu baju jas tutup pakai patonro atau passapu *) yaitu tutup kepala terbuat dari kain katun dari batik disertai iringan tiupan seruling bambu yang dalam bahasa Makassarnya disebut pui-pui*), begitu sangat kompak sehingga terdengar sangat meriah. Aktraksi pukulan gendang ini menjadi tumpuan perhatian khusus oleh tamu dari Malaysia.
Moment-moment yang bersejarah seperti ini jarang mereka saksikan bahkn ada diantaranya sama sekali belum pernah sehingga mereka berlomba-lomba me-
ngambil gambar atau foto bersama dari awal hingga akhir pesta akkorongtigi.
Dalam acara pesta akkorongtigi seperti ini, tak lupa pula sajian makanan atau kue-kue khas suku Makassar, seperti cucuru bayao, barongko, putri hijau, biji nangka, srikaya, dan lain-lain. Kue-kue tersebut telah diatur dan ditata dengan rapi diatas talang abbangkeng*) tersaji dimeja Oshin*) yang ditutup dengan tudung bosara*) berwarna merah darah dan kuning emas.
Tamu-tamu mencicipinya dengan sangat bersemangat karena merupakan suatu penganan atau kue wajib yang memberi berkah setiap kali ada pesta malam pacar seperti ini atau semacamnya.
Pada keesokan harinya yaitu tanggal 2 Mei 1996 yaitu hari “H” atau puncak pelaksanaan akad nikah, yang dihadiri oleh seluruh undangan beserta kerabat keluarga kami.
Tepat pukul 10.00 WITA calon pengantin priapun telah tiba dirumah yang diantar oleh kerabat keluarganya beserta para tetangga yang berada dekat rumah tempat mereka nginap. Sekali gus pengantaran leko lompo*) yaitu sirih pinang dengan membawa beberapa macam kelengkapan untuk kebutuhan calon pengantin perempuan, disertai beberapa macam makanan dan buah-buahan kayu.
Pengantar khusus dari Malaysia yaitu kaum perempuannya juga memakai pakain adat Melayu dengan baju kurung dari sutera Malaysia. Sedang kaum prianya tak mau kalah, mereka memakai kostum baju potongan teluk belanga semacam baju muslim jenis baju koko pakai kopiah digandengkan dengan pantalon diluarnya dililitkan selembar sarung sutera dari Negeri Sembilan.
Sebelum calon pengantin pria bersama pengantarnya memasuki pekarangan rumah, mereka disambut dengan acara adat, yaitu “Angngaru”*) yang dilakukan oleh seorang pria berwajah sangar, sambil menghunuskan sebilah badik, ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada tamu dari luar.
Namun tragisnya, melihat aktraksi tersebut acara penjemputan calon pengantin pria hampir saja kacau berantakan, ada yang lari bersembunyi karena merasa ketakutan, ada yang wajahnya terlihat pucat pasih mengira bahwa acara pesta telah terjadi suatu keributan.
Nanti setelah pemandu acara memberikan pengertian yang jelas kepada para pengantar pengantin pria terutama dari Malaysia, barulah mereka sadar dan mengerti, sehingga suasana kembali tenang.
Tepat pukul 10.30 siang akad nikah telah berlangsung yang pelaksanaannya sepenuhnya kami serahkan kepada Bapak K.H.Bakri Wahid, BA yang kebetulan beliau juga adalah berasal dari suku Melayu tepatnya dari daerah Sijunjung Sumatera Barat.
Pelaksanaan akad nikah begitu berjalan sangat lancar. Terakhir pembacaan doa dan nasihat perkawinan oleh Bapak K.H.Bakri Wahid, BA. Dan akhirnya, seluruh rangkaian acara akad nikah dari awal hingga akhir telah usai dengan sangat meriah dan ditutup dengan pembacaan ayat-ayat suci oleh adik ipar Dra.Syuhriah Kadir.
Tiga malam sehabis nikah, yaitu tanggal 5 Mei 1996 baru diadakan resepsi di gedung Auditorium Ammana Gappa IKIP Makassar, karena kebetulan pada malam sehabis nikah, gedung tersebut digunakan oleh pihak lain dengan acara yang sama. Kedua mempelai mengenakan kostum pakaian adat suku Makassar, warna merah muda dihiasi dengan pinang goyang terselip apik diatas kepala mempelai perempuan.
Sungguh, suatu pasangan yang sangat serasih, bagai pinang dibelah dua begitu pujian yang dilontarkan hampir semua tamu yang hadir dimalam itu. Suasana resepsi begitu berlangsung sangat meriah, yang dihibur oleh iringan organ tunggal dengan menampilkan lagu-lagu hampir didominasi lagu daerah Bugis-Makassar.
Satu persatu tamu atau undangan hadir berdesak-desakan diatas panggung memberi ucapan selamat berbahagia kepada kedua mempelai. Upacara resepsi sebenarnya adalah merupakan pengumuman kepada kerabat keluarga dan handai taulan bahwa Laela Diash dan M.Rizal telah resmi menjadi suami dan istri. Sehingga tamu yang diundang hampir hadir semua karena ingin menyaksikan langsung pasangan mempelai pria dari negeri jiran Malaysia, sehingga gedung Auditorium Ammana Gappa terlihat begitu penuh sesak oleh para undangan yang hadir.
Kata sambutan acara resepsi tersebut dibawakan oleh Saudara sepupu kami, yaitu H.M.Dg.Nuntung dan ditutup dengan pembacaan doa oleh Bapak K.H Drs.Mu-
hiddin Quraisy, dan sesudahnya para tamu atau undangan satu persatu perlahan meninggalkan gedung Ammana Gappa.
Kami dari kedua belah pihak keluarga mempelai masih tinggal untuk mengabadikan atau berfoto bersama dengan kedua mempelai sebagai kenangan atau oleh-oleh untuk dibawah pulang kedaerahnya masing-masing.
***
Seminggu sesudah acara resepsi pernikahan anak kami Laela Diash, tepatnya tanggal 14 Mei 19996 kami diundang ke Malayasia sebagai kunjungan balasan atau tepatnya dikatakan dalam bahasa Makassarnya, Nilekka*). Kami berangkat hanya 6 orang saja terdiri dari saudara perempuan kami sendiri beserta kerabat keluarga paling dekat, karena mengingat biaya perjalanan yang begitu sangat tinggi.
Setibanya di Bandara Internasional Kuala Lumpur Malaysia, kami dijemput oleh kerabat keluarga dekatnya Pak Dato’. Nanti pada keesokan malamnya baru acara pesta resepsi diadakan di Majelis Kerajaan Perak Ipoh, semacam gedung pertemuan milik kerajaan Perak Malaysia.
Acara resepsi diadakan di Ipoh yaitu ibu kota kerajaan Perak yang jaraknya kurang lebih 150 Km dari Kuala Lumpur. Acara resepsi diadakan disana karena kerabat keluarga dekat Pak Dato’ lebih banyak yang tinggal di kota Ipoh.
Acara pesta resepsi tak kalah meriahnya dengan pelaksanaan resepsi di- gedung Auditorium Ammana Gappa Makassar, akan tetapi nanti setelah para tamu atau undangan telah hadir semua, baru acara dimulai. Turut hadir Baginda Sultan Perak dalam acara resepsi tersebut. Sultan beserta para petinggi kerajaan yang hadir ditempatkan pada tempat khusus yaitu duduk diatas panggung VIP.
Saat Baginda Sultan memasuki ruang acara pesta, oleh pemandu acara memo-
hon kepada para hadirin untuk berdiri sejenak sebagai bentuk penghormatan kepada
Baginda Sultan.
Selanjutnya, kepada kedua mempelai diminta turun dari pelaminan untuk menjemput dan mengantar baginda Sultan ke tempat meja makan khusus dan mempersilahkannya untuk mencicipi hidangan yang tersedia. Sesudahnya, barulah tamu atau undangan lainnya di persilahkan pula mencicipi makanan yang telah dipersiapkan diatas meja makan. Seusai baginda Sultan bersantap malam, maka para tamu atau undangan yang hadir disuguhi hiburan berupa tari-tarian modern dan tradisional Melayu, yang dimainkan oleh gadis-gadis cantik dari Kerajaan Perak, diantaranya tarian Serampang Dua Belas.
Acara resepsi berjalan sangat lancar, meriah lagi hikmat. Setelah acara usai disaat Baginda Sultan Perak hendak beranjak pergi meninggalkan gedung pesta, maka kedua mempelai berjalan turun dari singgasana pelaminannya mengantar Baginda hingga kepintu keluar gedung, disusul dengan para tamu atau undangan lainnya. Acara pestapun malam itu usailah sudah.
Pada keesokan harinya, kami diantar oleh keluarga Pak Dato’ jalan-jalan ketempat wisata, yaitu Pantai Lumut, Genting Hayland dan terakhir ke Pulau Penang, dan sempat kami bermalam disana selama dua malam untuk menikmati keindahan pesona alamnya yang begitu sangat menakjubkan.
***
Seminggu sesudah acara resepsi di Gedung Majelis Kerajaan Perak yaitu tanggal 21 Mei 1996, kami telah balik ke Makassar dengan menunpang pesawat MAS. Kami diantar ke Bandara Kuala Lumpur oleh keluarga Pak Dato’ beserta Laela Diash dan suaminya.
“Jangan tinggalkan Laela sendirian disini, Mama,........ Papa..........!” ujar anak kami Laela Diash diiringi isak tangis yang menyayat hati, sambil merangkulku erat kemudian berpindah ke Mamanya seolah tak mau melepas kami pergi. “Selamat Jalan, Mama ,....... Papa..............!“
Didalam ruang tunggu Bandara, lentingan isak tangis terdengar sangat memilukan, karena kami terbawa oleh arus emosi kepedihan hati Laela Diash. Selamat tinggal anakku, sampai jumpa lagi. Kata Mama Laela, kemudian kami menyalami Pak Dato’ dan Ibu Dating Ramlah beserta seluruh keluarganya yang mengantar kami ke Bandara.
Lambaian tangan perpisahan sangat menyayat hati, ketika pesawat MAS perlahan-lahan meninggalkan Bandara Internasional Kuala Lumpur Malaysia menuju Makassar, dan akhirnya Kota Kuala Lumpur menghilang lenyap sama sekali dari pandangan kami.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Berjalan terus tanpa henti. Tanpa terasa pula kini usia pernikahan Laela Diash dengan M.Rizal telah menginjak usia 15 tahun. Dilihat usia penikahannya begitu masih muda, namun didalam melayari bahtera rumah tangganya boleh dikata sudah cukup dewasa, karena rumah tangganya selama ini telah berjalan begitu mulus penuh rukun bahagia tanpa suatu hambatan yang berarti.
Dibuktikan dengan hadirnya didalam rumah tangganya itu, dua orang anak kesayangannya semuanya perempuan yang manis-manis, menggemaskan, lincah dan energik. Kehadiran anaknya itu merupakan buah hatinya sebagai penghibur kala dalam kesunyian dipagut sepi kerinduan, kepada kedua orang tuanya beserta sanak familinya yang jauh darinya.
Diberinya nama masing-masing, yang sulung bernama Aiman Shahira Rizal Rahman dan adiknya Aiman Shafira Rizal Rahman. Keduanya kini telah duduk dibangku sekolah, yang sulung yaitu Aiman Shahirah duduk dikelas satu setingkat SLTP, dan adiknya masih kelas empat di sekolah rendah.
Sebuah program matang telah dicanangkan sejak dulu oleh Laela Diash bersama M.Rizal suaminya, sekali dalam setahun atau jelang hari raya Idul Fitri mereka berupaya mudik ke Makassar, untuk berkumpul bersilaturrahim bersama dengan kedua orang tuanya. Rutin dilakukan sekali dalam setahun.
Juga Azisah adiknya sekeluarga di Kendari punya program yang sama. Azisahpun selalu berupaya untuk hadir atau mudik jelang hari Raya Idul Fitri, setiap tahunnya bersama Ir.Sudirman suaminya beserta ketiga orang anaknya. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan sebuah keluarga kecil sejahtera. Kendati sesudahnya itu, kedua orang tua Laela kembali kesepian dipagut sunyi, disaat mereka telah balik ke daerahnya masing-masing.
Inilah kehidupan yang penuh misteri, yang tak akan pernah sempurna. Hidup senang atau susah, sedih dan gembira tak ubahnya, bagai roda pedati berputar, sesudah keatas kebawah lagi. Pergantian siang dan malam. Gelap gulita malamnya, sesudahnya berganti siang dengan cahayanya yang terang temaram. Silih berganti, beginilah kehidupan...................(*)

Makassar, 22 Januari 2010

Lembaga Seni Budaya Teluk Bone, 01 September 2010
Mingguan Inti Berita, 24 April 2011
Keterangan *)
Kualleangngangi Tallanga Na Toaliya *) = prinsif atau falsafah suku Makassar artinya lebih baik karam ditengah laut dari pada balik haluan tanpa hasil
Abbayuang *) = pertunangan resmi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
Akkorontigi*) = malam pacar/pemberian doa restu dengan membubuhi daun pacar diatas telapak tangan calon pengantin wanita
Nilekka*) = mengantar sepasang pengantin kerumah pengantin pria
Talang abbangkeng *) = wadah tempat makanan yang terbuat dari kuningan atau tembaga
Meja Oshin *) = meja makan ukuran pendek (lesehan) terbuat dari kayu
Bosara*) = tudung saji berbentuk bulat warna merah atau kuning emas yang diberi hiasan diatasnya
Angngaru*) = pernyataan kebulatan tekad seorang hamba kepada rajanya diiringi dengan gerak laku pantun atau sajak dengan sebilah badik yang terhunus ditangannya
Pui-Pui*) = alat musik tiup tradisional yang terbuat dari bambu semacam seruling bambu.
Patonro *) = ikat kepala dari kain katun atau kain batik
Leko lompo *) = sirih pinang semacam hantaran dari keluarga pihak calon pengantin pria berupa makan, kue-kue dan buah-buahan beserta perlengkapan lainnya khusus kebutuhan calon pengantin wanita.
Lamming*) = pelaminan, tempat bersanding mempelai.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar