Selasa, 03 Mei 2011

77. PANTAI MERPATI SAKSI BISU CINTA KITA

Oleh : Hasbullah Said.-


KULEMPAR pandanganku jauh berkeliling diseputar pantai ini. Kota Bulukumba yang damai berjuluk Bumi Panrita Lopi dengan pantai Merpatinya, menyimpan begitu banyak kesan pesona alamnya yang memikat. Kini telah jauh berbeda dengan tiga tahun sebelumnya. Ternyata kota damai ini telah banyak perobahan sejak aku tinggalkan lama. Tentang logat dialek Bugisnya yang kental tak pernah luntur, lagi penduduknya ramah-ramah, tersimpan suatu kesan tersendiri bagiku.
Aku berjalan mengitari pantai ini. Tak ubahnya pantai Losari punyanya Makassar, dengan tanggul dermaga yang membentang dari arah utara ke selatan serupa meja terpanjang didunia, berfungsi ganda sebagai restoran massal.
Pada petang hari, dipantai Merpati ini banyak pengunjungnya berdatangan memadati dermaga, terutama anak remaja sangat senang duduk santai disepanjang pantai ini berpasang-pasangan hingga jelang larut malam.
Pantai Merpati tak jauh beda dengan pantai Losari, walau kondisinya masih perlu pembenahan berharap penataan ulang dari pihak terkait, karena kini Pemda sedang giat-giatnya membenahi kota Kabupaten untuk meraih Adipura. Tak lupa aku berdoa, semoga Bumi Panrita Lopi sukes meraih Adipura, agar pantai Merpatiku semakin dipercantik.
Debur ombak gemulung berlarian ketepian, seolah berlomba mengapai kaki-kaki dermaga, kemudian menghempaskan dirinya lalu pecah berhamburan. Percikan airnya membubung tinggi kemudian berhamburan membasahi disekitar dermaga. Busa-busa putih keperakan tertimpa mentari senja membuat seusananya semakin indah mempesona.
Tiba-tiba kejadian beberapa tahun lalu, disaat aku tinggalkan kota ini, kini terlukis kembali dalam benakku. Kendati telah lewat tiga tahun lalu, namun masa itu
aku tak akan pernah melupakan untuk selama-lamanya......................
***
Intan Lakase,’ gadis manis berlesung pipi, yang sangat aku sayangi begitu kusimpan rapi disudut relung hatiku yang paling dalam. Menangis sesunggukan dipelukanku melarangku pergi, tidak setuju rencana keberangkatanku pulang ke-Jawa kala itu. Oh, Intan, dimana kamu sekarang berada. Aku tak tahu dimana kini kakimu berpijak. Apakah kamu masih Intanku yang dulu, gadis manis dengan sepasang mata bola. Lesung pipi bergelayut indah menghiasi wajahmu membuat hampir semua pria terpesona memandangmu. Begitu hayalku mengenangmu............!
Disini, dulu, diatas dermaga pantai Merpati ini, kau dan aku duduk santai menatap laut dikeremangan senja, sangat indah terasa dibelai oleh hembusan angin laut sepoi-sopoi basah. Kala senja sepulang kita sekolah, tak pernah absen, selalu hadir ditempat ini, menghabiskan waktu bertutur kata sambil bercanda dalam belaian kasih asmara dengan desah nafas birahi, jelang maghrib baru kita pulang kerumah masing-masing.
Sekolah kita SMU Swasta, kegiatan belajar mengajar dilakukan pada sore harinya. Kita numpang belajar disalah satu gedung sekolah milik SMU Negeri, karena Yayasan sekolah kita belum mampu memiliki gedung sendiri.
Entah, aku tak tahu, seolah kita sudah ada komitmen, bahwa sepulang dari sekolah sebelum kita pulang kerumah masing-masing, terlebih dahulu kita harus berada ditempat ini. Mungkin karena daya pikat pantai Merpati yang sangat indah membuatnya demikian.
Kamu duduk disampingku sembari bersandar didadaku. Tak peduli dengan pandangan sinis orang-orang yang berlalu lalang disekitar kita. Degup jantungmu terdengar berpacu keras, bagai melodi asmara melantunkan balada cinta mendayu-dayu di pendengaranku, lalu kau berujar :
“Semoga cinta kita kekal abadi Mas, hingga kejenjang pernikahan kita kelak, biar Pantai Merpati disini jadi saksi bisu.”
“Mudah-mudahan saja sayang, akupun berharap demikian.” begitu balasku sambil aku memelukmu erat. Erat mesra, sepertinya aku tak mau melepasmu dalam pelukanku. Aku takut kehilanganmu, karena kau jadi bulan-bulanan rebutan, oleh banyak pria yang selalu mengejar-ngejarmu, terutama teman-teman sekolah kita sendiri.
“Memang banyak teman, tapi teman mesra hanyalah kamu Mas seorang.” begitu sahutmu dengan nada lembut. Selembut hembusan angin laut dari arah selat Selayar, terasa begitu sejuk di balik baju seragam sekolah yang kukenakan.
Gerombolan camar semakin riuh terbang tinggi akrobatik lalu menukik menyambar-nyambar diatas permukaan laut, seolah bersukaria menyambut datangnya malam yang kian kelam menambah indahnya suasana kala itu.
Dimalam minggu saat itu, banyak anak remaja berpasang-pasangan datang kemari duduk santai menghirup udara malam yang segar, sambil menyantap aneka ragam makanan dijual banyak diseputar pantai ini. Masih kita duduk disini, diatas tanggul dermaga bercerita banyak tentang berbagai hal.
“Setelah kamu tamat, dimana nantinya kau lanjut?” tanyaku setelah sesaat kami terdiam.
“Aku belum tahu, karena ayahku pernah bilang, buat apa lanjut sekolah ke perguruan tinggi, seorang perempuam sehebat apapun jatuhnya didapur juga.” sahutnya lirih sambil menatapku.
“Oh, itu zamannya diera St.Nurbaya, berarti kau mundur beberapa puluh tahun jauh kebelakang, lalu sesudahnya, kau akan dijodohkan oleh kedua orang tuamu dengan seorang saudagar kaya.” kataku bercanda.
Intan diam mematung tak menanggapi kata-kataku. Sekilas ia melempar pandangannya jauh ketengah laut. Matahari petang tak lama lagi akan membe- namkan dirinya kedasar laut biru, menyisakan bayang-bayang merah diatas hamparan yang begitu luas.
Kutahu ada gunda resah berkecamuk didada Intan setelah aku berujar demikian. Merah rona wajahnya, lahir kepedihan hati tak dapat ia sembunyikan mendengar ujarku. Aku berupaya membujuknya untuk menghapus rona merah diwajahnya menghilangkan rasa kecewa dihatinya.
“Ada benarnya kata ayahmu, seorang ibu rumah tangga yang ingin mengabdi
terhadap keluarganya, tentunya ia tak akan terlalu jauh memikirkan untuk lanjut sekolah ke perguruan tinggi, apa lagi untuk bekerja sebagai pegawai, dengan pertimbangan khawatir berantakan rumah tangganya karena suami-istri disibuki hari-harinya dengan pekerjaan rutin dikantornya masing-masing.” kataku lagi menyabarkannya.
Kulihat, ada air bening menggelinding perlahan membasahi wajahnya yang berlesung pipi. Tiba-tiba ada penyesalan lahir bergelayut dihatiku berkata demikian.
“Sudahlah sayang, kau calon ibu rumah tangga yang baik setia untuk mengabdi terhadap keluarganya yaitu suami dan anak-anaknya, mengabdi kepadaku sebagai suamimu serta anak-anak kita yang cantik lagi lucu-lucu.”
“Kan begitu sayang?” kataku lagi sambil menyeka air bening yang mengucur perlahan dari balik kelopak matanya. Ia tak menyahuti tanyaku. Hanya mampu mengangguk senyum. Senyum dipaksakan.
Seminggu sesudahnya. Aku diajak jalan-jalan kerumah Intan dengan maksud untuk diperkenalkan aku kepada kedua orang tuanya.
Kudapati ibunya sedang menyiram bunga yang tertata apik tumbuh subur dihalaman rumahnya yang begitu asri. Dengan santuan aku menyapanya.
“Selamat sore ibu.” kataku memberi salam hormat padanya. Dia menatapku lama. Namun tidak segera ia menyahuti ucapan salamku. Kemudian ibu Intan melanjutkan pekerjaannya menyiram bunga tanpa mempersilahkanku masuk ke rumah.
”Bu, ini Mas Parto teman sekolah Intan di SMU.” ujar Intan pada ibunya memperkenalkanku. Ibu Intan tak bergeming sedikitpun ditempatnya, tetap me-nyiram bunga dengan asyiknya.
“Oh, ini temanmu anak pemilik warung Tegal yang berandalan itu?”
“Bukankah dia itu anak geng motor yang sering ikut bali*) membuat suasana kota menjadi onar?” katanya lagi sambil menatapku sinis. Aku tak menyangka bila ibu Intan akan bersikap demikian terhadapku. Aku terpaku bingung dipintu masuk rumahnya. Serupa mendapat tamparan keras terasa membuat aku terjerembab.
“Maaf Mas, memang ibuku kadang begitu.” Intan membujukku menyesal perkataan ibunya sembari mempersilahkanku masuk duduk diruang tamu rumahnya.
“Tidak apa-apa Intan,” sahutku lirih sambil menelan air liur yang tersendat ditonggorokanku.
“Aku tidak terlalu lama Intan, aku mohon pamit.” pintaku dengan suara serak pilu.
“Permisi Intan, permisi Bu, selamat sore.” ucapku lagi memberi salam sambil segera beranjak meninggalkan rumah Intan. Dengan langkah tertatih-tatih aku berlalu pergi membawa luka yang amat dalam, lalu aku seolah terjatuh disebuah lembah nista yang amat dalam nyaris mencideraiku.
Keesokan sorenya sepulang dari sekolah, kami berada kembali didermaga ini. Intan diam termangu disampingku, mulutnya bagai terkunci rapat, sepertinya sedang mengingat-ingat peristiwa kemarin yang sangat menyakitkan hatiku.
“Bagini Intan.” kataku sesaat setelah kami lama terdiam.
“Dari pada aku tinggal dikotamu Bumi Panrita Lopi yang sangat aku cintai hanya untuk menaggung malu, merasa sangat kecewa diperlakukan begitu kasar oleh ibumu, mungkin sebaiknya aku pergi jauh,...........jauh darimu jauh dari ibumu yang sangat kau sayangi.” kataku lirih, seraya menatapnya lekat.
Mendengar ujarku, Intan menghempaskan dirinya diatas pangkuanku, sambil terisak memelukku erat.
“Maafkan aku Mas, jangan tinggalkan aku.” begitu pintanya dengan nada beriba.
“Apa boleh buat dik, besok segera aku berangkat ke Jawa, doakan saja semoga secepatnya aku mendapat pekerjaan disana, agar aku tidak lagi menjadi seorang penganguran lagi brandal.” kataku menyindir.
“Selamat tinggal sayang, semoga kita jumpa lagi.” kataku menyalaminya sambil beranjak pergi meninggalkannya diatas dermaga Pantai Merpati, berlalu dikeremangan malam nan beku membawa luka perih dihati bagai tersayat sembilu.
Malam telah hampir larut, kami berpisah meninggalkan dermaga itu menuju rumah kami masing-masing. Setiba dirumah Intan, ia dimarahi oleh kedua orang tuanya, karena baru kali ini malam telah hampir larut baru ia pulang dari sekolah.
Intan segera berlari masuk kedalam kamarnya membenamkan diri, kemudian-
ia menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidurnya terisak dalam tangisnya yang tersayat pilu.(*)

Makassar, 24 Maret 2009

Harian Radar Bulukumba, !5 Mei 2009
Mingguan Inti Berita, 13 Pebruari 2011


*) bali = balapan liar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar