Selasa, 03 Mei 2011

78. KETIKA MUSIM BERGANTI

Oleh : Hasbullah Said.-

MUSIM hujan dibulan Desember kini datang lagi. Deras curahnya seperti laiknya ditumpah dari atas langit sana. Serupa tiga musim lalu. Debu-debu kota tadinya berhamburan tertiup angin lalu, kini terendap rapat padat. Bahkan berganti dengan genangan air begitu banyak bertebaran dimana-mana.
Dinding kota basah kuyup. Kini angin selatan berhembus lembut, mengelus dedaunan jambu air bergoyang lunglai, terasa begitu sejuk mengusir jauh gerah udara siang yang sangat menyiksa.
Gersang dan panas telah lama mengkristal di kota kami. Kota kecil tempat aku dilahirkan, berada paling ujung selatan di jazirah pulau ini. Bila musim kemarau tiba, tanah kering rongga berpori, menganga lebar begitu banyak berserakan dimana-mana karena lama dalam penantian air hujan yang di dambakan.
Terkesan kota yang dianak tirikan oleh alam. Hujan jarang sekali membasahi Bumi Turatea begitu julukan kota kecilku, yang kering kerontang karena kurang sekali mendapat jatah hujan. Tak seperti dengan daerah tetangga lainnya. Kini telah terasa lega, karena hujan sudah mulai turun. Selamat tinggal musim kemarau yang menyiksa.
Semilir angin yang sesekali mendesah, membawa dingin yang menggeligis. Serasa membekukan tubuh, karena tidak terbiasa dengan suhu dingin seperti ini.
Disela-sela redanya hujan, aku mengayuh langkah perlahan, dibawah pelukan malam yang begitu belum menyentuh larutnya. Disisiku, Naila gadis cantik yang kusimpan rapat sekian lama disudut relung hatiku. Dengan ayunan langkah disertai pandangan luruh pada riak-riak tanah berbecek, seakan menghitung genangan air yang begitu banyak disepanjang jalan yang kami lalui.
Tak terdengar suara yang terucap keluar dari bibirnya yang mungil, sekadar menguak kesunyian malam nan beku. Yang hadir diantara kami hanyalah hamparan hening yang kental. Naila lebih memilih untuk diam. Sedang aku lebih tertarik untuk mengumpulkan tiap serpih waktu yang pernah kujalani bersamanya.
Aku kenal Naila sejak masih kanak-kanak. Dari SD, SMP hingga tamat SMU, aku selalu satu sekolah dengannya. Begitu banyak hari-hari indah yang kulalui bersama Naila. Memancing ikan dipinggir laut yang tak jauh dari rumah tempat kediaman kami. Berburu capung dan kupu-kupu cantik dikerindangan semak-semak dipinggiran pantai. Mengejar layangan putus yang tak dapat kami raih karena keburu tersangkut diatas bubungan atap kantor Balai Desa.
Mandi sinar bulan kala purnama penuh sedang menggantung dilangit sambil berdendang ria. Serta masih banyak lagi kenangan indah bersamanya.
Yang jelas sebelumnya dia hanya sebatas teman biasa saja. Teman akrab sepermainanku bila aku pulang dari sekolah. Juga biasa kami kerja bareng membantu orang tua Naila memanen dan mengumpulkan rumput laut. Rumput laut didesa kami sangat menjanjikan kehidupan yang lebih layak dibanding dengan komoditi lainnya seperti hasil bercocok tanam jagung atau padi karena sering gagal panen akibat kemarau panjang.
Hari-hari bersama Naila kulalui begitu terasa sangat indah. Berlalu tanpa terasa usia kami telah menginjak remaja. Kebiasaan bareng bersamaku, tiba-tiba saja dia menempatkan dirinya disalah satu sudut dalam ruang hidupku. Ada nuansa aneh membungkus hatiku manakala sosoknya datang menjelma dalam lamun hayalku.
Ada getar-getar aneh yang menyentuh hatiku setiap kali kudengungkan namanya dalam lamun sepiku. Dan perlahan-lahan kusadari apa yang sedang melanda diriku. Mungkin ini adalah sebuah musim bunga yang sedang mekar kurasakan sangat indah dalam hidupku.
Ternyata apa yang kurasakan juga dirasakan Naila. Ada sesuatu yang terpendam diam-diam antara kami berdua. Yaitu cinta................... Sepakat untuk merenanginya bersama dalam telaga asmara yang bening.
Tapi nyatanya tidaklah demikian. Langkah kami tertunda. Dimana ada pertemuan disitu pasti ada perpisahan. Esok terpaksa aku pisah dengan Naila...........
Kesempatan terbaik untukku tak dapat aku tunda dan sia-siakan. Aku lulus SMU dan lanjut kuliah dengan bebas test disalah satu perguruan Tinggi Negeri yang ada di Bandung.
Sedang Naila sendiri tidak bisa melanjutkan pendidikannya dibangku kuliah karena terbentur masalah ekonomi.
Bayang-bayang keberangkatanku esok harinya menghantui pikiranku. Aku terjaga dari lamunku. Langkahku terhenyak sesaat, ketika Naila menyapaku.
“Kulihat kau melamun sejak dari tadi.” sapa Naila. Rupanya Naila diam-diam memperhatikanku.
“Apa yang kamu lamunkan?” tanya Naila.
Diluar dugaanku bila ada tanya dari Naila seperti itu. Kontan saja aku kelabakan dibuatnya.
“Melamunkan tentang keberangkatanku besok.” jawabku berterus terang dengan penuh kejujuran tanpa dapat kucegah.
Sontak Naila tercengang mendengar ujarku. Sejenak ia terdiam. Diam sepi menguasai diantara kami berdua. Sedang angin bertiup semakin dingin dari arah laut selatan.
Kami masih duduk diatas dermaga tua tempat berlabuh kapal nelayan. Malam kian kelam berbalut awan berkabut. Embun malam mulai turun menutupi diatas hamparan laut lepas.
“Apa kamu tidak dapat menunda keberangkatanmu. Atau kamu lanjut kuliah disini saja?” tanya Naila sepertinya mencegahku pergi.
“Tidak Nal.........! Sebab ini adalah kesempatan terbaik untukku.” bantahku.
“Kepergianmu akan membuat aku sengsara dan menderita dalam penantian lama.” suara serak parau terdengar dari celah bibir Naila mengalun diudara berbaur bau amis rumput laut yang baru habis dipanen. Kembali aku diam. Tak secepatnya menyahuti ujarnya. Kulihat wajah Naila semakin buram. Seperti buramnya malam yang hampir larut. Perlahan air bening menggelinding dipelupuk matanya yang sayu.
“Kamu harus sabar menungguku sayang,............karena ini adalah sebuah upaya kebaikan serta untuk masa depan kita bersama.” bujukku sambil kuusap ram-
butnya yang ikal mayang.
“Kamu harus lapang dada menerimanya dan kupinta doamu, agar aku dapat berhasil menyelesaikan studiku tepat waktu.”
“Sampai kapan aku harus menunggumu?” tanya Naila seperti tak mau mengerti.
“Orang kuliah menyelesaikan studinya paling cepat delapan semester. Berarti kamu harus bersabar menunggu kurang lebih empat tahun.”
“Begitu lama?”
“Cari ilmu memang begitu.” jawabku.
“Sudahlah sayang, mari kita pulang, malam telah hampir larut, nanti kamu sakit.” bujukku sambil kami beranjak pergi meninggalkan dermaga tua itu.
Hari bergulir terus, lalu berganti, berduyung datang pergi. Kini setahun lebih sudah aku berada di Bandung. Mengikuti aktifitas perkuliahanku. Surat Naila tak pernah putus mengalir padaku, meski aku sangat jarang membalasnya, karena kesibukanku yang menyita waktuku. Dia tak peduli dengan jarangnya aku membalas suratnya. Dia terus saja menyuratiku. Bercerita banyak tentang kekecewaannya terhadap dunia yang kini dia jalani.
Surat-surat Naila kujadikan penawar kerinduanku padanya. Aku tak pernah jenuh membacanya, meski berisi penderitaan yang datang menyergapnya. Liburan semester lalu aku pulang kekampung halamanku, sekali gus untuk melepas rasa rinduku pada Naila. Namun pertemuan itu tidaklah begitu berarti bagi aku dan Naila karena waktu singkat mengejarku untuk segera balik ke Bandung.
Semua kegiatan dan aktifitas perkuliahanku telah lama menantiku. Aku tak dapat berbuat banyak, aku bersungguh-sungguh mengikuti seluruh kegiatan perkuliahanku karena aku khawatir pulang kekampung halamanku dengan tangan hampa tanpa membawa hasil.
Hembusan angin diluar menerpa kencang, hujanpun turun dengan amat derasnya. Bagai hendak menghempaskan langit-langit kamar kosku. Hatiku juga turut terhempas bila melihat hujan deras seperti ini. Bandung kota hujan. Seolah menggiring ingatanku kemasa laluku bersama Naila. Hujan jarang turun didesaku, akan tetapi dalam kurun waktu tiga tahun kemudian biasa hujan deras turun tanpa ampun, membuat desaku terendam banjir.
Hujan deras seperti ini, aku dan Naila biasa mandi bersama dibawah pancuran atap rumahku kemudian kami lari berkejaran hingga kebibir pantai. Tak hirau dengan bibirnya yang telah membiru disergap dingin yang menggeligis. Semua itu terlukis dalam bayang-bayang ingatanku bila hujan tiba.
Kini kesibukan kuliahku diakhir semester tak memberiku lagi peluang untuk pulang kampung. Semua terfokus dalam kegiatan penyelesaian penyusunan skripsiku. Akhirnya aku hanya selalu berdoa, semoga studiku dapat terselesaikan tepat waktu.
Dan siang itu, sepulang dari kuliah, aku menemukan surat Naila terselip dibalik pintu masuk kamar kosku. Dengan hati yang berdebar serta perasaan kurang enak tiba-tiba datang menyerangku, aku segera membaca surat Naila.
Kali ini baru aku terima suratnya yang begitu panjang. Dan untuk pertama kalinya pula aku membaca keluhan dalam suratnya.
Oh, Has, ....kenapa hidupku se-sengsara ini? Penderitaan yang kini kualami tiada taranya.
Sesampainya suratku ini maukah kamu memaafkan aku? Juga melupakanku, melupakan segala kisah persahabatan kita dan semua kenangan lama tentang aku. Karena yang terpikirkan olehku kini, hanyalah sementara dalam penantian perjalananku yang panjang, ...............perjalanan jauh yang tak memungkinkan untuk balik lagi..............!
Dokter spesialist yang merawatku, menganjurkan padaku agar banyak istirahat, sedang dari pihak keluargaku kutangkap diam-diam dari percakapannya yang serius, mengatakan bahwa umurku sisa menghitung hari, akibat penyakit leukimia yaitu kangker darah yang sangat ganas menyerangku. Sangat parah, tanpa ampun. Yang kurindukan kini hanyalah almarhumah ibuku,...........yang telah lama pergi mendahuluiku. Begitu antara lain bunyi suratnya.
Seusai kubaca, sekujur tubuhku gemetar. Menggigil. Tanpa sadar, surat Naila luruh tepat diatas ujung-ujung kakiku. Kesedihan yang tak tertahankan membuncah dirongga dadaku. Ada air bening mengalir perlahan dari balik pelupuk mataku. Yaitu tangis yang amat perih disana. Jika Tuhan benar-benar menghendaki Naila memanggilnya pergi. Pergi untuk selama-lamanya,...............maka pada detik ini, kusadari bahwa aku akan kehilangan seseorang.
Seseorang yang pernah mengisi separuh perjalanan hidupku. Naila, gadis desa tempatku menyimpan cinta suci yang pertama. Hanya doaku, semoga dia Naila cepat sembuh dari sakitnya.(*)

Makassar, 05 Desember 2009

Mingguan Inti Berita, 03 Januari 2010
Harian Radar Bulukumba, 04 Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar