Selasa, 03 Mei 2011

80. SUARA HATI DARI BLOK AMBALAT

Oleh : Hasbullah Said,-


MALAM ini begitu hening. Lagi bening. Aku duduk memandangi bulan dilangit biru. Berayun-ayun diatas ranting pohon. Seolah menyapaku, dengan ucapan selamat malam sambil melempar senyum kepadaku. Mega-mega putih sesekali datang bergelayut merangkulnya membuat seketika kelam sesaat. Lalu berganti temaram setelah awan putih itu menjauh.
Malam-malam seperti ini sering kali kulakukan, seakan ada seseorang yang selalu memanggil-manggil namaku dalam keheningan yang mencekam, membuat aku ngeri mendengarnya. Retinaku berkeliling memandangi jagat raya. Mencari dari mana asalnya suara itu. Tapi tak ada siapa-siapa yang kudapati disini. Mungkin ini adalah sebuah ilusi. Untuk sementara kukatakan demikian.
Aku adalah seorang nelayan yang dilahirkan dan dibesarkan disebuah pulau kecil jauh terpencil. Sebuah desa nelayan yang jauh sebelumnya terlihat adem-adem saja. Mencari ikan dilaut adalah mata pencaharianku sebagai penyambung hidup keluarga kami.Tiba-tiba dering Hp-ku dibalik jaket yang kukenakan terdengar riuh memecah keheningan malam.
“Halo, selamat malam ayah.”
“Ayah,......! Apa ayah dengar suaraku,..............?”
“Selamat malam.” balasku setelah usai kuucap halo.
Aku menoleh, tapi tak ada siapa-siapa didekatku. Kecuali kegelapan malam yang semakin kelam mencekam, karena purnama malam sebentar lagi hendak bergulir jatuh dibalik laut sana. Digantikan oleh kerlap-kerlip bintang bertaburan dilangit. Kucoba menyahuti suaranya yang sayup-sayup terdengar dari balik Hp-ku.
“Aku dengar anakku, sangat jelas, walau kita tidak saling bertatap muka.”
“Memang, mana mungkin bisa melihatku karena ini adalah suara hati yang berbicara.” sahut suara itu lagi.
“Oh, mungkin inilah dikatakan hubungan batin.”
“Benar, hubungan batin antara anak dan ayah yang telah lama pisah.” suara itu semakin jelas di pendengaranku, seolah orang itu berada dihadapanku.
“Apa ayah masih kenal suaraku?” tanyanya.
“Ini suara siapa?” balik aku bertanya padanya karena penasaran.
“Masa ayah lupa, ini kan suara Mina dari Kuala Lumpur Malaysia.”
“Oh, anakku Mina.” sahutku kaget.
Suara itu berhenti lagi. Kembali kutatap bulan yang semakin redup. Sebentar lagi malam akan gelap gulita. Suasana semakin mencekam. Tapi aku belum beranjak dari atas sebuah balai-balai bambu yang kududuki.
Angin malam berhembus lembut dari arah laut Ambalat. Sebuah pulau kecil diperbatasan Malaysia-Indonesia nyaris terlupakan. Walau jauh terpencil namun pulau ini masih berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pulau yang kutinggali saat ini sedang hangat diperbincangkan orang lewat media cetak dan elektronik diseluruh pelosok tanah air. Entah, aku tak tahu. Akhir-akhir ini ramai kapal-kapal perang Indonesia berpatroli mengitari Blok Ambalat pulauku.
Padahal sebelumnya kapal-kapal perang tentara laut diraja Malaysia sering kali terlihat melintas diseputar perairan ini. Memasuki wilayah perairan Indonesia. Banyak nelayan enggan dan takut melaut. Termasuk aku. Kami diancam akan ditembaki, dan menenggelamkan kapal kami, kalau masih berani melaut mencari ikan diseputar perairan Blok Ambalat. Mereka mengklaim bahwa pulau ini miliknya.
Demi keselamatan jiwa kami, terpaksa untuk sementara kami berpindah tempat mencari ikan jauh dari perbatasan perairan laut Malaysia-Indonesia.
Seingatku pulau ini tak pernah dipunyai oleh siapa-siapa kecuali Indonesiaku yang tercinta. Tetanggaku Pulau Legitan dan Sepadan beberapa tahun silam telah berpindah tangan ke Kerajaan Malaysia. Khawatir akan terulang lagi seperti itu. Aku tak ingin seperti itu lagi. Entah, tak habis pikir, aku tak tahu penyebabnya mengapa demikian? Sebuah sengketa yang berkepanjangan berlarut lama tak kunjung usai.
Nelayan disini telah sepakat bertahan untuk tidak Ambalat diduduki oleh sia papun juga tak terkecuali tentara laut Diraja Malaysia. Sejengkalpun tanah Ambalat ini, kami pertahankan dengan tetes darah penghabisan untuk tidak direbut oleh Kerajaan Malaysia. Itu adalah tekad kami. Sebuah harga mati. Tak dapat ditawar-tawar lagi. Tapi apa daya, kami hanya sebatas komunitas nelayan yang tak punya arti apa-apa.
Disiang hari jelang malam, bahkan disetiap detik waktu melalui radio dan TV sering terdengar sayup-sayup lagu perjuangan dikumandangkan yang sebelumnya tidak demikian. Semakin lama semakin jelas kedengarannya membuat aku penasaran. Seolah sekelompok anak remaja melantunkannya dengan sangat kompak dan bersemangat.
Dari atas anjungan rumah kayu yang kutinggali aku mendongakkan kepalaku kearah bawah, nampak olehku sekelompok pemuda berbondong-bondong berdatangan menuju alun-alun Ambalat. Kulihat, mereka memakai ikat kepala kain warna merah putih sambil melantunkan nyanyian lagu perjuangan, Satu Nusa Satu Bangsa, Maju tak Gentar. Dan banyak lagi lagu-lagu perjuangan yang sangat menggugah perasaanku. Mendengar lagu itu, semangat patriotisku membara dan berkobar merasuk kedalam rongga dadaku.
Serta merta aku loncat kebawah menuju kapal milikku yang tertambat didermaga, meraih bendera merah putih yang sedang berkibar ditiang layar kapalku, lalu kuikatkan dikepalaku sama seperti mereka.
Aku berlari menuju alun-alun untuk bergabung bersama mereka. Beberapa nelayan seprofesiku lebih awal berada dialun-alun. Ratusan bahkan ribuan jumlahnya massa yang berkumpul disitu. Kebanyakan orang-orang pendatang dari luar yang tak begitu aku kenal. Akhirnya baru aku sadar, bahwa mereka itu adalah relawan yang datang dari berbagai penjuru kota di tanah air. Mereka datang dengan panggilan moral untuk memberi semangat juang kepada penduduk Ambalat. Upacara bendera kami lakukan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sesudahnya terdengar pekikan dari para peserta upacara menggema keangkasa.
“Hidup Ambalat, hidup Indonesiaku” begitu pekik yel-yel yang mereka kumandangkan lewat pengeras suara dengan semangat berkobar-kobar.
“Hidup Ambalat,.........hidup pulauku,.......hidup Indonesiaku............!”
Aku sambut pekikan itu disertai acungan kepalan tinju dengan nada bergetar berapi-api. Kemudian sesudahnya, terdengar orasi dari seorang pemuda meneriakkan yel-yel dengan suara lantang menggema kejagat raya.
“Jangan coba-coba ada orang dari luar yang ingin menjamah negeriku Ambalat, apa lagi untuk merebutnya dari tangan kami,.....!”
“Jiwa dan raga kami taruhannya, rela kami mati disini dengan tetesan darah penghabisan untuk mempertahankan kedaulatan negara kami.”
“Iya kan, saudara-saudaraku?”
“Betul,...........!” sahut kami serentak dengan suara riuh membahana seolah menenggelamkan pulau Ambalat. Senja jelang malam, baru kami membubarkan diri dengan tertib meninggalkan alun-alun itu pulang kerumah kami masing-masing.
Malam-malam berikutnya aku kembali duduk diluar rumahku, sama seperti malam-malam sebelumnya, menunggu terbitnya bulan dilangit atas. Tapi bulan tak muncul lagi. Aku merasa kecewa, karena ini malam bukan lagi bulan purnama ke empat belas. Yang nampak hanyalah kerlap-kerlip bintang bertaburan dilangit. Aku mencoba menghitungnya seperti anak-anak, namun tak pernah terselesaikan kerena begitu banyaknya bertebaran.
“Sedang ngapain ayah disana?” tanyanya lewat Hp-ku sayup-sayup terdengar lagi.
“Duduk diluar menanti terbitnya bulan.”
“Bagaimana keadaan disana ayah?”
“Maksudku, dipulau kita Ambalat.” sambungnya lagi menjelaskan. Aku diam sesaat. Tidak secepatnya menyahuti tanyanya.
“Hanya Tuhan yang Maha tahu.” balasku dengan suara lirih.
“Maksud ayah?”
“Siang tadi pulau kita Ambalat sepertinya nyaris tenggelam karena kedatangan tamu begitu banyak dari luar.”
“Ada apa ayah?” tanyanya heran.
“Apakah anakku tidak nonton di TV?”
“Tentu peristiwa yang menegangkan ini ditayangkan pula disana.”
“Ayah, mana mungkin seorang pembantu rumah tangga seperti aku sempat nonton TV, sedangkan pekerjaan tak pernah habis-habisnya hingga larut malam.”
Kami berbincang panjang lebar tentang seputar peristiwa yang tengah melanda Ambalat. Seolah aku bercerita dihadapan anakku Aminah. Kutahu, lahir rasa cemas was-was dihati Mina mendengar ucapku. Terlukis dibenakku begitu kuat tersimpan dihatinya rasa kecintaan nasionalisme kebangsaannya yang begitu tinggi.
“Jadi bagaimana ayah?” tanyanya lirih.
“Sebaiknya pulanglah segera anakku, sebelum sengketa ini berlarut lama, ayah khawatir terjadi komprontasi dengan Malaysia sama seperti dulu.”
“Tapi disini biasa-biasa saja ayah.” sahutnya lagi.
“Sangat menghawatirkan terjadi pertumpahan darah anakku. Kapal-kapal perang tentara laut diraja Malaysia sudah beberapa kali dihalau oleh kapal perang TNI AL karena sudah terlalu sangat jauh memasuki wilayah perairan Indonesia.”
“Kalau ini terjadi, secara otomatis hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia terputus. Jadi anakku Mina sangat sulit untuk balik lagi ketanah air, juga sebaliknya. Ayah berdoa mudah-mudahan saja tidak terjadi demikian anakku.” begitu harapku.
“Bagaimana mungkin aku bisa balik secepatnya ayah, sedang kontrak kerja dengan majikanku masih setahun lagi, pula pasport milikku ada ditangan majikanku.”
“Tapi akupun berdoa semoga tidaklah terjadi demikian ayah.” lanjutnya lagi dengan suara parau tersendat ditonggorokannya.
“Selain Ambalat, ada kekhawatiran lain timbul dihati ayah akan terjadi sesuatu atas dirimu.”
“Maksud ayah?” tanyanya ragu.
“Sama seperti Siti Hajar TKW asal Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur Malaysia, disiksa oleh majikannya dengan sangat keji tak berprikemanusian membuat sekujur tubuhnya melepuh penuh luka bekas penganiayaan.”
“Mudah-mudahan aku tidaklah seperti itu ayah, karena majikanku kebetulan berasal dari Indonesia keturunan Bugis-Makassar campuran Melayu, bernama Dg.Lakase’ yang sudah lama menetap tinggl di Kuala Lumpur sini, itu kutahu dari penuturan istrinya.”
“Semogalah anakku.” Sesudahnya, percakapan kami kembali terputus.
Angin malam dari arah laut Blok Ambalat begitu deras berhembus membuat aku menggigil kedinginan. Kurapatkan jaket yang membalut tubuhku mencari kehangatan mengusir jauh rasa dingin, namun gagal. Jaket ini pemberian anakku Aminah di Kuala Lumpur Malaysia, selalu kupakai bila aku melaut mencari ikan ataupun malam-malam dingin seperti ini.
Aku bangkit dari dudukku, kemudian berlari masuk kedalam rumahku, karena malam perlahan-lahan hendak beranjak pergi menuju larutnya. Hanya doaku selalu, semoga masalah ini dapat diselesaikan dengan kepala dingin arif bijaksana oleh kedua Negara bertetangga yaitu Malaysia dan Indonesia, tanpa ada yang di-korbankan didua negara yang bersahabat.
“Hidup Ambalat,........hidup Indonesiaku!” begitu gumamku, sambil kubaring
kan tubuhku diatas kasur tempat tidurku, karena rasa ngantuk telah datang menyerangku tanpa ampun (*)

Makassar, 12 Mei 2009

Mingguan Inti Berita, 28 Juni 2009
Harian Radar Bulukumba, 13 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar