Selasa, 03 Mei 2011

81. SEBUT NAMAKU BILA KAMU MAU TIDUR

Oleh : Hasbullah Said,-


Oh, betapa rinduku padamu Risma, bagaikan malam yang datang selalu hendak mengoyak tirai pagi yang begitu sejuk. Sepertinya pula aku ingin menggapaimu dan memelukmu erat dalam kerinduan. Tak pernah letih menangis dalam penantian lama.
Serupa telaga bening telah kering habis terkuras airnya dalam tangis yang tak berkesudahan. Tapi dimana kini kamu berada. Aku telah mencarimu hingga keujung dunia, namun aku gagal menemukanmu.
Aku tak tahu dimana kakikmu kini berpijak? Dibelahan bumi mana kini hutan rimbamu. Apakah kamu telah melupakan semua janji-janjimu padaku? Sebuah tanda tanya tak kan pernah terjawab olehku. Hanya tinggal nama. Angan dalam kenangan yang tak pernah usai. Rismasari Hapsarini, namamu terangkai hanya dua suku kata, sangat cantik begitu kukenang dan kusebut selalu.
Dalam kebisuan malam seperti ini di kamarku yang sempit lagi hangat, kamu tak pernah luput dalam ingatanku. Jika lahir sebuah kebosanan, aku berlari keluar menatap bulan yang sedang berbinar terang. Seolah menyapaku mengucap selamat malam padaku.
Kubayangkan wajahmu, bagai bulan purnama bulat putih bersinar-binar. Tapi bulan tidak selamanya bersinar, kadang tak nampak karena tertutup oleh awan tebal, menyisakan gelap gulita memeluk bumi. Berganti kerlap-kerlip bintang gemintang dipentas langit, bertaburan tak terhitung jumlahnya. Kucoba menghitungnya kayak anak kecil namun gagal tak pernah terselesaikan karena begitu banyaknya.
Dulu, diawal kita baru kenal, tak putus-putusnya engkau meneleponku, tak pernah engkau letih ataupun lalai seditikpun, tak hirau berapa banyak biaya pembeli pulsa seharinya yang kamu keluarkan. Kamu bilang inilah realita dan dinamika jika kita bercinta jarak jauh. Sebagai pengganti surat cinta yang aku kirimkan kepadamu, tentunya telepon atau SMS yang paling tepat dan cepat. Begitu kamu bilang padaku kala itu. Maka mengertilah aku, betapa engkau menyayangiku.
Aku sangat berbahagia mendapatkan seorang kekasih yang mau berkorban demi cintanya padaku. Tak habis pikir, sangat mustahil. Mungkin ini suatu kekeliruan atau salah kafrah, mana mungkin bisa merajut menjalin cinta, sedangkan kita saling berjauhan, tidak pernah bertemu muka sekali nianpun, karena dibatasi oleh bentangan laut yang begitu sangat luas.
Kamu berada disebuah pulau kecil jauh terpencil di belahan utara Maluku. Tepatnya Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara. Tapi kala itu, kamu selalu mengatakan, itu tidaklah jadi masalah. Cinta itu tidak mengenal ruang dan waktu. Cinta suci itu adalah hati nurani yang bicara.
Awal perkenalan kita dulu sangat sederhana, hanya karena ketertarikanmu terhadap tulisanku yang selalu dimuat disebuah koran dikotamu Ternate. Koran mungil bernama Cermin Reformasi banyak disenangi oleh masyarakat dikotamu, utamanya anak remaja, karena selalu memuat rubrik budaya yaitu cerita pendek, serta menurunkan beritanya yang hangat dan aktual. Koran inilah selalu memuat tulisanku. Suatu kepuasan bathin tersendiri yang tak dapat dinilai uang sekalipun bila tulisanku dimuat dikoran itu.
Sebuah kisah pilu seorang penulis yang bernasib kurang beruntung. Aku invalid. Cacat jasmani. Tak dapat berjalan dengan sempurna tanpa ditopang kruk penyangga tubuhku, karena kaki kananku patah tulang tak dapat berfungsi dengan normal, akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpaku tertabrak mobil, ketika aku pulang sehabis memasukkan naskah cerpen disebuah kantor redaksi surat kabar. Lama aku dirawat disebuah rumah sakit dengan biaya yang tak sedikit jumlahnya. Kendati aku tak sembuh-sembuh, bahkan aku cacat seumur hidup. Begitu antara lain tema cerpen yang aku tulis.
Seusai kamu baca cerpen itu, kamu menangis sesunggukan dalam kamarmu larut dalam kesedihan yang tak tertahankan. Itu jujur kamu katakan padaku melalui poselmu. Awalnya aku berpikir, mana mungkin engkau percaya sebuah kisah imajinasi fiksi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Tapi kamu bersumpah, demi Tuhan aku tidak berbohong, begitu katamu. Akhirnya aku percaya dan sangat yakin, karena naluri seorang perempuan sama sepertimu biasanya tak dapat membohongi kata hatinya, sangat sensitif dan peka terhadap sebuah kisah pilu yang sangat menyedihkan.
Cacat jasmani bukanlah suatu halangan atau rintangan untuk berprestasi. Terbukti aku dapat menulis apa saja yang kuinginkan. Mimpi-mimpi yang kupunyai kendati tak pernah terwujud. Itulah sebuah imajinasi. Kata orang, aku adalah seorang penulis yang berbakat dan berhasil. Karena tulisanku sering dimuat diberbagai medai cetak hampir disemua kota di tanah air.
Terbukti banyaknya telepon atau SMS yang kuterima menyatakan sangat tertarik membaca cerpen yang aku tulis. Namun sedikitpun aku tidak pernah merasa bangga ataupun memiliki suatu kesombongan. Padahal yang kutulis itu seringkali hanya penomena sosial atau sketsa kisah remaja masa kini dalam masyarakat. Hanya sesekali kisah pribadiku sendiri, serupa kisah nyata yang hampir seratus persen kebenarannya. Suatu penyimpangan dari apa yang dikatakan sebuah cerita fiksi atau hayalan.
Banyak fans atau penggemarku tersebar hampir disemua penjuru kota ditanah air, namun hanyalah kamu seorang yang menarik perhatianku. Karena kamu berterus terang bersimpati, menaruh perhatian khusus padaku. Itu kamu nyatakan rasa empatimu, ketika sekuntum bunga kamu kirimkan untukku, walaupun sesungguhnya kejadian atau malapetaka yang menimpaku itu sudah lama berlalu.
Aku menerimanya dengan rasa haru. Kupeluk bunga itu sambil menciuminya seolah aku memelukmu erat dan mencium keningmu sebagai pertanda rasa cintaku padamu. Bagai sebuah mimpi indah. Terima kasih sayangku,...............! Begitu gumamku seolah kamu benar-benar berada dalam pelukanku. Sesudahnya aku berlari masuk kedalam kamarku membenamkan diri didalamnya sambil mengenangmu.
Malam perlahan hendak menggapai larutnya. Tiba-tiba isyarat pesan singkat dari balik HP-ku terdengar mengusik lamun sepiku. Dengan malas kubuka karena rasa ngantuk telah datang menyerangku tanpa ampun. Dari balik layar monitor HP-ku, mataku terbelalak membaca dua baris kata tertulis, Sebut namaku bila kamu mau tidur, agar aku menjelma dalam mimpi-mimpimu yang indah. Seusai kubaca, mendadak rasa ngantukku setika lari menjauh.
Pada keesokan paginya aku menelponmu mengatakan, tak usah lagi kamu ragukan aku sayang, setiap detik waktu aku tak luput menyebut namamu bagai wirid tasbih ditanganku menyebut Rismasari Hapsarini, paling sedikit seratus kali dalam sehari.
Begitu hari-hari kulewati bersamanya dengan rasa suka cita. Disuatu malam, tiba-tiba dering Hp-ku dengan ringtone khusus terdengar bising dibalik saku baju yang kukenakan.
“Halo, kak Diash, selamat malam.”
“Selamat malam.” balasku setelah usai kujawab halo.
“Halo, ada apa Risma?” lanjutku lagi bertanya setelah sekian lama terhenti.
“Mm,......... apa kakak telah terima kirimanku?” tanya Risma malu-malu.
“Oh, bunga itu?”
“Terima kasih banyak sayang.” ucapku.
Hari-hari berlalu begitu cepat bergulir dengan berbagai perubahan, termasuk Risma telah berubah padaku. Jarang ia meneleponku. Tak lagi meriuhi hari-hariku dengan ringtone di Hp-ku yang kubuat khusus untuknya. Timbul tanda tanya bagiku. Ada apa denganmu, Risma?
Nomor yang anda tuju tak dapat dihubungi karena sedang tidak aktif. Begitu jawaban dari operator seluler sangat santun, bila aku menelponnya.
Belakangan baru aku tahu, bahwa Risma telah dipersunting oleh seorang perjaka yang tak lain adalah mantan guru matematikanya disaat ia masih duduk di- bangku SMU. Pantas, setiap kali aku menelponnya tak pernah dia angkat, kadang kala ia matikan sehingga kuperoleh jawaban dari operator seluler mengatakan nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi karena sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.
Semua itu kutahu atas penuturan Eki Nastitie lewat Hp miliknya, teman karibku semasa sekolah dulu di SMA Negeri 2 Makassar. Kebetulan ia bertetangga dengan Risma. Disaat Risma bersanding dimalam acara pestanya, Eki diundang dan turut hadir memberi ucapan selamat padanya.
Sesudahnya, aku tak tahu lagi bagaimana keadaannya sekarang. Aku tak pernah lagi menerima telponnya, juga tak lagi ia mengirim SMS padaku.
Hilang bagai ditelan bumi. Dimana kamu kini berada sekarang Risma, dimana rimbamu? Kuingin jawaban darimu, biar sepenggal kalimat, aku berada disini, didalam mahligai rumah tanggaku yang bahagia. Itu sudah cukup. Tak lebih dari itu. Biarlah daku dalam kesendirianku, bergelut dalam siksa lahir bathin yang menderaku.
Begitu tanyaku selalu. Tinggal kenangan pilu yang tak akan pernah terlupakan olehku untuk selama-lamanya. Hanya doaku, semoga kau bahagia dalam menempuh hidup baru.(*)

Makassar, 21 Juni 2009

Mingguan Inti Berita, 13 Juli 2009
Harian Radar Bulukumba, 09 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar