Selasa, 03 Mei 2011

84. SEPENGGAL MALAM DI SEBUAH DERMAGA TUA

Oleh : Hasbullah Said.-


HUJAN lebat dipenghujung tahun, kini datang lagi. Serupa tiga musim diawal jumpa. Hujan seperti itu kadang membawa ombak atau gelombang besar. Tapi kali ini iramanya lain, tak seperti dulu. Mengiris. Geligis dalam selimut sepi.
Seperti angin selatan, berhembus lembut mengelus pucuk-pucuk pohon nyiur, melambai tertiup angin laut tumbuh disepanjang pantai barat pulau ini. Bergoyang lunglai. Kenangan itu selalu saja datang diiringi nyanyian ombak.
Mengalun lembut, bagai matanya berbinar sayu, yang menatapku pada suatu senja yang basah. Di sebuah dermaga tua tempat berlabuh kapal nelayan, sebelum atau sesudah menangkap ikan……..
Cewek manis pakai kerudung putih sedang duduk santai diatas tanggul dermaga itu, sambil menatap kearah laut yang tengah keperakan tertimpa cahaya mentari senja.
“Boleh nggak, aku duduk disini?” sapaku ramah mengalun diudara pantai berbaur bau amis rumput laut sehabis di panen. Aku sedang menunggu seorang kawan saat mataku membentur wajahnya yang begitu manis. Sangat menawan. Aku terpesona memandangnya.
Dia menengadah. Menatapku lembut. Lalu tersenyum padaku.
“Oh, silahkan,.............dermaga ini bukan aku yang punya, tapi milik kita bersama, siapa saja boleh duduk disini tanpa harus dipungut pajak, kok!” balasnya dengan nada canda.
Cewek itu bergeser kesamping, memberi ruang duduk untukku diatas tanggul dermaga, menghadap kelaut sepertinya tengah asyik mendengar irama nyanyian ombak keperakan tertimpa cahaya senja yang kian kelam. Dikiri kanan kami diatas dermaga itu berangsur-angsur dijejali oleh beberapa pasang remaja sedang duduk santai, sengaja datang kesini hanya untuk menikmati indahnya panorama laut yang eksotis.
“Lagi ngapain sendirian disini?” tanyaku membuka perbincangan.
“Ya, duduk-duduk aja, menikmati indahnya panorama laut, emangnya kenapa?”
”Nggak, hanya sekadar bertanya. Sedang nungguin seseorang barangkali?”
“Ehem,..........apa kamu intelijen mematai-mataiku sepertinya aku ini anggota jaringan teroris nomor wahid yang sedang masuk DPO?” candanya lagi dengan mengulum senyum.
“Oh.........maaf, bukan begitu. Aku hanya orang biasa saja yang kebetulan tertarik ingin berteman gadis aneh sama sepertimu.” balasku dengan nada perlahan, sangat hati-hati agar dia tidak tersinggung.
“Aneh?” nada kaget terlontar dari bibirnya yang mungil dengan kernyit keningnya bagai lengkung camar yang saling merapat.
“Bagaimana, ada apa?” tanyaku.
“Mengapa kamu bilangin aku gadis aneh?” begitu protesnya, namun nadanya kedengaran lembut.
Aku kelabakan. Tak tahu jawaban apa yang jitu untuknya. Dan dia tak tahu bahwa itu hanyalah sebuah jebakan basa-basi sebagai awal pembuka perbincangan dengannya. Rupanya jebakanku berhasil karena dia serius menanggapinya.
“Karena sendirimu. Biasanya ditempat yang panoramanya indah lagi eksotis seperti didermaga ini, pengunjungnya masing-masing punya pasangan, jadi penilaianku terhadapmu sedikit aneh.”
“Tidak selamanya demikian.”
“Kalau begitu sekali lagi aku mohon maaf karena aku keliru menilaimu.”
“Tidak apa-apa.” suaranya lembut terlontar dari bibirnya yang mungil.
“Boleh aku tahu siapa namamu?” pintaku setelah sekian lama kami berbincang. Aku mengorek datanya ingin mengenal sosoknya lebih jauh.
“Aila, dirumah aku disapa, Ila.”
“Aku Tengku Riyan.” balasku dengan menjabat tangannya yang begitu mulus.
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Sedang ngapain kamu disini, sepertinya ada seseorang yang kamu tunggu?”
“Tadi aku udah bilang, hanya duduk santai menikmati indahnya panorama -
laut sambil menanti terbenamnya matahari. Aku sangat senang melihat Sun-Set bergulir jatuh dibalik dasar laut situ.” jemarinya lentik menunjuk kearah laut.
“Aku tak percaya.” kataku seolah menolak jawabnya.
“Kenapa?”
“Gadis secantik kamu tak mungkin tidak memiliki pasangan. Apa lagi ditempat seperti ini. Coba kamu lihat, dikiri kanan kita semua punya pasangan.”
“Cemburu, .......ni yee!” dia mencibirku.
“Jadi kamu?” tanyanya.
“Ya, sama-sama, sendirian.” jawabku dengan nada grogi.
Aila sangat suka dengan laut. Tak habis pikir, bagaimana dia begitu sangat mencintai laut. Anak nelayan mungkin. Itu pikirku dihati. Katanya dia sangat tertarik pada laut, dengan riak gelombang keperakan tertimpa terik matahari, dihiasi dentingan bunyi kelapak sayap burung camar beterbangan akrobatik diatas permukaan laut.
Dia lebih senang dengan laut dari pada konser group musik yang sedang akstraktif dipanggung mall. Dia betah duduk berlama-lamaan diatas dermaga sini, hanya untuk mengamati laut dengan ombaknya yang gemulai sekadar menikmati kidung sepinya, tanpa hirau dengan udara dingin yang memudarkan warna kulitnya yang begitu halus.
“Laut itu adalah sahabat manusia, Rin. Dia adalah sumber mata penghidupan bagi nelayan. Tempat mengais rezeki dengan ikannya yang begitu berlimpah ruah. Belum rumput lautnya dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi menggiurkan saat sekarang. Dan laut bagiku begitu cantik dan mempesonaku, bagai bintang-gemintang kemilau di pentas malam. Bayangkan, sekiranya tidak ada laut, kemana nelayan akan mengais rezeki?” begitu ujarnya, bagai seorang penyair dimusim sepi.
Sebuah argumen yang dapat diterima oleh akal logis. Tapi dia tidak sadar bahwa laut itu tidak selamanya membawa rezeki. Laut kadang membawa mala peta-
ka bagi umat manusia.
Aku adalah orang yang tidak begitu senang dengan laut. Bagiku laut adalah sebangsa mahluk yang mengerikan. Betapa tidak, setiap aku melihat laut dengan ombaknya yang begitu besar, lalu menghempaskan dirinya kekaki dermaga, debar-debar jantungku sepertinya berpacu keras bagaikan mau copot karena ketakukan. Trauma. Kenapa demikian? Tentu tanya ini sulit terjawab oleh orang lain. Jawabnya hanya aku yang tahu.
Rumah tempat tinggal kami hanya berjarak tak lebih seratus meter dari bibir pantai. Pantai barat di ujung pulau Sumatera Utara berbatasan dengan samudera Hindia. Kota kecil bernama Meulaboh. Disitu aku dilahirkan dan dibesarkan. Ketika terjadi musibah tsunami, rumah kami yang mula-mula dilumat oleh gelombang pasang yang maha dahsyat, memporak-porandakan hingga hancur luluh berantakan tak tersisa, karena jaraknya begitu sangat dekat dengan laut. Trauma itu kini masih melekat dibenakku bila melihat laut.
Aku telah kehilangan segalanya. Selain harta benda, pula aku kehilangan orang-orang yang amat aku sayangi. Yaitu kedua orang tuaku, ayah dan bundaku serta seseorang yang telah memberiku kasih sayang cinta dan kerinduan,............. Hingga kini aku tak tahu dimana rimbanya. Entah, mereka masih hidup atau telah tiada,......................
Mendengar kisahku, perlahan Aila sadar. Ia magut-magut sepi. Seketika disergap rasa empati padaku tanpa bisa dia cegah.
“Kalau gitu haruskah aku benci laut.”
“Oh, tidak, biarlah aku sendiri.Tidak semua orang benci laut, dan tidak semua
pula orang senang laut. Namun aku berupaya untuk melupakan semua peristiwa masa laluku yang mengharu biru. Cukup aku saja sendiri yang mengalami nasib seperti itu. Dan belajar untuk menyukai laut. Sama sepertimu. Aku janji,........... Ila. Sungguh. Sekarang aku tak lagi benci laut. Karena laut berarti kamu.” kataku meyakinkannya.
“Cinta laut berarti aku cinta kamu.”
Sebuah pernyataan cinta yang tulus suci, lahir spontanitas dari nuraniku begitu mengagetkan Aila.
“Tutur kata seperti itu biasanya terlontar dari mulut seorang penyair. Sangat puistis. Apakah kamu penyair?” tanya Aila dengan rona wajah penasaran.
“Bukan.” Aku menggeleng.
“Apakah ini lahir dari sebuah kejujuran ataukah hanya pelarian kerena kamu kehilangan seseorang? Seseorang yang sangat kamu cintai?” lagi Aila bertanya dengan sungguh-sungguh.
“Aku jujur, aku sayang kamu, ........Ila. Aku nggak bisa bohongi kata hatiku.”
“Ila, apa kamu,........ menolakku?” tanyaku menunggu jawabnya dengan detak jantung berpacu keras mirip ombak yang gelisah.
Sekian jenak kami terdiam. Membiarkan sunyi menguasai suasana. Membiarkan aroma rumput laut dan bau ikan begitu amis tertiup angin laut selatan menyeruak menusuk hidung.
“Besok sore kita ketemu kembali ditempat ini, karena malam hampir larut. Mari kita pulang!” pinta Aila, lalu bergegas hendak beranjak pergi.
“Tunggu Aila!” cegahku.
“Ada apa lagi?”
“Kamu belum beri jawaban kepastian padaku!”
“Kita lanjutkan besok sore aja.” sahutnya sambil berlari, lalu menghilang ditikungan jalan dikeremangan malam yang kian beku.
Pada keesokannya. Pukul lima sore.
Sesuai janji Aila, ia akan datang lagi ditempat ini. Menemuiku. Sama dihari kemarin.
Aku lebih awal berada didermaga ini. Menunggunya. Sudah hampir sejam berlalu, namun Aila belum juga datang. Kutelan rasa kecewa, karena sudah hampir larut malam Aila belum juga muncul batang hidungnya. Berturut-turut berapa senja kutunggu, namun Aila tidak kutemukan. Bagai ditelan bumi. Dimana kini kakinya berpijak. Aku kehilangan jejak...................
Beberapa hari kemudian. Kuperoleh kabar dari orang-orang yang sering mangkal disekitar dermaga tua ini. Aila telah tiada,.............dia telah pergi.............. , Pergi untuk selama-lamanya. Akibat terserang penyakit kanker hati yang amat kejam menggerogotinya.
Diagnosa dokter telah lama ia sembunyikan dan merahasiakannya padaku. Dia takut aku mengetahuinya, lalu sakit hati dan sedih melihatnya menderita, kemudian perlahan-lahan sekarat menjelang ajalnya. Aku telah kehilangan untuk kesekian kalinya.....................
Debur ombak dengan nyanyian sunyi, bagaikan sebuah balada cinta yang tersayat pilu. Mengingatkan kembali padaku masa lalu bersama Aila dipenghujung -
tahun yang hanya sepenggal malam.
Dilangit, awan hitam nampak bergelayut menandakan hujan lebat segera akan turun mencuci kulit bumi. Dan sesaat kemudian hujanpun turun amat derasnya -
di sertai gemuruh ombak membahana.
Gadis kerudung putih tak lagi kutemui duduk diatas tanggul dermaga tua itu, menatap laut dengan ombaknya yang gemulai. Iramanya yang dulu bising, menjelma di pendengarannya semacam denting dawai yang melenakannya.
Sedang apa kamu disana? Apakah kamu masih mengingatku? Mengenang pertemuan awal dan terakhir kita yang sangat singkat? Diatas tanggul dermaga tua itu? Ataukah kamu tengah menikmati nyanyian ombak yang gemulai di penghujung tahun?
Sebuah kenangan terindah dalam perjalanan hidupku, namun sangat menyayat hati. Pedih perih terasa. Bagai tersayat sembilu yang tak tertahankan. Laut itu. Deru ombak terdengar serupa nyanyian balada cinta yang kandas. Kasih tak sampai.(*)

Makassar, 25 Agustus 2009

Mingguan Inti Berita, 25 Oktober 2009
Harian Radar Bandung, 01 November 2009
Harian Radar Bulukumba, 28 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar