Selasa, 03 Mei 2011

85. ARTI SEBUAH NAMA

Oleh : Hasbullah Said.-


BERBAHAGIALAH Basse Nandong beserta Dg.Baco suaminya, memiliki seorang anak laki-laki yang sangat menggemaskan dengan badan sangat subur. Montok. Segar bugar berkulit putih bersih, putih laksana salju, berambut hitam laksana kayu ulin. Begitu pujian semua orang dilontarkan kepada kedua orang tuaku bila mereka melihatku.
Entah, aku tak tahu, karena usiaku kata orang disaat itu baru menginjak dua tahun. Disaat aku dihamilkan orang memastikan bahwa aku akan lahir kembar karena perut bundaku begitu kelihatan sangat buncit padahal kala itu baru berjalan enam bulan.
Detik-detik persalinan bundaku mengalami kesulitan karena kata bidan yang menangani persalinannya anak yang dikandungnya yaitu aku, memiliki berat badan yang sangat luar biasa sehingga untuk lahir dengan secara normal sangat tipis kemungkinannya, itu berdasarkan hasil USG dari dokter yang menanganinya sehingga ia menganjurkan untuk segera dilakukan operasi caesar dengan kata lain aku dikeluarkan melalui sayatan perut bundaku.
Entah, sudah berapa lama bundaku mengerang-ngerang menahan rasa sakit diatas perbaringannya didalam sebuah kamar persalinan, berjuang melawan penderitaan yang tak tertahankan.
Awalnya bundaku beserta ayahku menolak untuk dilakukan operasi caesar dengan alasan ketiadaan biaya, namun akhirnya mengalah juga karena ibuku sedang dalam berjuang melawan sakratil maut antara hidup atau mati. Walau dengan susah payah ayahku kesana kemari mencari uang untuk biaya operasi persalinan bundaku, karena ayahku tak lebih dari seorang penarik becak yang berpenghasilan sangat minim.
Kata dokter yang menanganinya, bila tidak dioperasi dengan segera, maka dua kemungkinannya, bundaku meninggal atau kedua-duanya yang korban yaitu aku
dan bundaku.
Tak lama sesudahnya, akupun lahir kedunia ini dengan selamat disertai lengkingan suara yang membahana memenuhi kamar persalinan bundaku disebuah rumah sakit bersalin. Ayahku disaat itu segera menggendongku sambil menguman- dangkan adzan ketelingaku pertanda rasa syukur kepada Tuhan karena aku telah lahir kedunia ini dengan selamat, kendati aku dilahirkan melalui sayatan perut bundaku.
Tepat usiaku tujuh tahun, aku diantar oleh bundaku untuk didaftarkan sebagai murid baru disebuah sekolah dasar yang letaknya tak jauh dari rumahku. Disaat bundaku ditanya siapa nama anak ibu, betapa kagetnya aku setelah mendengar jawabnya menyebut namaku BATLOM. Padahal teman-teman tetangga se-permainanku dirumah sering menyapaku Bat. Guru yang bertugas menangani pendaftaran itu tercengang heran dan ragu mendengar nama yang sangat asing baginya. Sehingga ia mengulangi menanyakan kepada bundaku, siapa lagi namanya ibu? Begitu ulangnya bertanya.
Untuk menyakinkannya, bundaku menyerahkan padanya selembar foto copy akte kelahiranku sebagai syarat pendaftaran murid baru. Yakinlah ibu guru yang bertugas menangani pendaftaran itu sambil senyum-senyum.
Setiba dirumah, kutanyakan kepada bundaku mengapa aku diberi nama Batlom, apa arti Batlom bunda? Padahal panggilan sehari-hariku dirumah sering disapa Bat. Kadang teman-teman sebayaku memanggilku Om Bat. Panggilan itu dilontarkan sebagai guyonan padaku karena akulah yang paling besar atau berbadan bonsor diantara sekian banyak teman-teman sebayaku. Pada awalnya aku biasa-biasa saja karena aku belum mengerti apa arti sebenarnya Batlom.
Akhirnya, setelah diberitahu oleh bundaku, maka mengertilah aku bahwa namaku itu adalah singkatan dari Battala Lompo*) artinya besar lagi berat dalam bahasa daerah Makassarnya.
Setelah kutahu arti namaku yang sebenarnya, maka aku berlari masuk kedalam kamarku sambil mengurung diri didalamnya sebagai bentuk protes kepada kedua orang tuaku yang memberiku nama begitu jelek kedengarannya. Kendati demikian aku tetap hormat dan berbakti kepada kedua orang tuaku terutama bundaku.
Aku sangat bangga memiliki seorang ibu yang begitu sayang terhadap anaknya. Seorang ibu memiliki sorga dibawah telapak kakinya, begitu kata ibu guru agamaku disekolah. Tentunya bila aku ingin bermukim di sorga-Nya yang abadi maka setiap saat aku akan menciumi telapak kakinya karena disitu kuperoleh harum bau serupa kesturi yang melenakanku.
Disekolah SD tempatku menimbah ilmu sering kumenyendiri karena aku merasa malu dipanggil Batlom. Namaku bahan ejekan bagi tema-teman sekolahku, karena kedengarannya sangat aneh dibanding nama teman-temanku yang lainnya.
Padahal kalau aku pikir, masih banyak nama lain yang begitu bagus, misalnya Sudirman, Abdullah atau Muh. Amin dan banyak lagi. Aku tak tahu mengapa orang tuaku memberiku nama yang begitu jelek sehingga membuat aku tidak percaya diri karenanya. Pernah aku berpikir akan kusampaikan kepada guruku bahwa namaku sudah diganti menjadi Sudirman, akan tetapi hal itu tak semudah karena harus diganti pula akte kelahiranku.
Guru agamaku di sekolah pernah mengajarkan arti sebuah nama. Nama katanya itu adalah sebuah doa atau cita-cita orang tua terhadap anaknya, berharap disuatu kelak nanti akan menjadi kenyataan. Misalnya, bila ia seorang muslim berasal dari suku Makassar diberinya nama Makmur Jaya Daeng Manaba, artinya suatu harapan kelak disuatu waktu akan menjadi makmur bahagia dan jaya, senang menolong dan bersedekah kepada orang yang kurang mampu. Kadang sebuah nama enak kedengarannya akan tetapi arti sebenarnya sangat jelek atau tidak baik bahkan artinya sangat hina.
Betapa aku menyesal kepada kedua orang tuaku yang memberiku nama yang tak punya arti atau harapan dimasa depan. Harapan itu adalah juga sebuah doa bagi semua orang tua yang memiliki anak semoga saja kelak bila dewasa akan mengalami nasib sama seperti nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya masing-masing.
Begitu kata guru agamaku di sekolah. Namun karena orang tuaku telanjur memberiku nama seperti itu, maka dengan terpaksa aku pasrah saja menerima apa adanya. Mudah-mudahan saja ada hikmah terkandung dibalik namaku yang begitu seram kedengarannya.
Kini aku telah duduk dibangku kelas enam dimana aku sekolah. Suatu ketika disaat perayaan peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indoneseia, yaitu tanggal 17 Agustus, di sekolahku telah diadakan beberapa cabang lomba. Diantaranya lomba kelereng, lomba tarik tambang, lomba makan kerupuk, lomba tusuk jarum dan banyak lagi cabang lomba yang di pertandingkan saat itu.
Hampir semua cabang lomba aku coba mengikutinya dan masing-masing mendapat juara yang berpariasi kecuali, lomba lari aku tak memperoleh juara, aku tak dapat berlari dengan cepat karena tubuhku terlalu berat untuk berlari dengan cepat.
Semua orang memujiku, termasuk teman-teman sekolahku, karena disaat penyerahan hadiah yang dilakukan oleh kepala sekolahku semua hadir mengikuti upacara penyerahan hadiah.
“Anak-anakku sekalian, cobalah contoh Batlom temanmu, betapa hebatnya sampai hampir semua cabang lomba dia menangkan. Dia adalah juara umum untuk tahun ini. Hanya satu saja cabang lomba yang tidak dia menangkan yaitu cabang lomba lari, karena badannya begitu terlalu battala*), maka ia tak dapat berlari dengan kencang. Gelak tawa tiba-tiba menggemuruh dari teman-temanku mendengar ucap Pak Kepala Sekolah.
Bukannya dia berprestasi hanya dibidang cabang lomba saja, akan tetapi dia juga berprestasi dibidang pelajaran, terbukti hasil laporannya pada semester lalu telah menunjukkan nilai yang sangat memuaskan.
Untuk itu kami atas nama guru-guru mengucapkan selamat kepada anakda Batlom.” kata Pak kepala sekolah mengakhiri kata sambutannya yang diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh peserta upacara. Sesudahnya, hadiah itu diserahkan kepadaku.
Seusai upacara, satu persatu guru-guru disusul oleh teman-temanku datang menyalamiku memberi ucapan selamat kepadaku.
Akhirnya baru aku sadar, bahwa tidaklah semuanya nama yang jelek itu akan membawa hasil yang jelek pula akan tetapi, ada hikmah dibaliknya. Betapa agung-Nya Engkau Ya, Tuhan.......... Yang telah memberiku begitu banyak rezeki melalui hadiah lomba dari hasil perjuanganku sendiri.
Sesudahnya, dengan rasa bahagia aku pulang kerumah dengan membawa setumpuk hadiah. Dari luar rumah aku sudah berteriak girang.
“Ayah, bunda....... aku dapat hadiah banyak.” begitu teriakku sambil berlari masuk kedalam rumah menemui ayah dan bundaku.
“Hadiah dari mana anakku?” tanya bundaku.
“Hadiah lomba dari sekolahku, dalam rangka perayaan peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus.” sahutku dengan nada riang.
Kedua orang tuaku menyambutku dengan hati yang sangat gembira. Dengan tak sabar, satu persatu hadiah itu kami buka bersama. Mataku membelalak setelah kulihat setumpuk alat tulis-menulis beserta sejumlah buku-buku pelajaran lainnya. Juga ada sebuah handuk orang dewasa. Satu bungkusan kecil terakhir kami buka dan isinya seperangkat alat shalat yaitu mukenah dan sebuah sajadah yang sangat cantik warnanya.
“Ini handuk hadiah buat ayahku, dan peralatan shalat ini hadiah buat bundaku.” begitu kataku sambil kuserahkan pada kedua orang tuaku.
“Terima kasih anakku.” sahut kedua orang tuaku dengan sangat haru menerima hadiah dariku sambil mendekapnya lalu menciuminya berulang kali.
Dengan mata yang berkaca-kaca menahan haru, bundaku segera berlari masuk kedalam kamarnya membawa peralatan shalat itu, lalu meletakkannya diatas kasur tempat tidurnya, sambil berujar memuji akan kebesaran-Nya, Alhamdulillah Syukur Ya,........Tuhan.(*)

Makassar, 14 September 2009

Mingguan Inti Berita, 08 November 2009
Harian Radar Bulukumba 10 November 2009
*) Batlom (Bhs.Makassar) = battala lompo
*) battala (Bhs.Makassar) = berat
*) lompo (Bhs.Makassar) = besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar