Selasa, 03 Mei 2011

87. BERITA DUKA DARI RANAH MINANG

Oleh : Hasbullah Said.-

KALA itu, aku masih duduk dibangku kelas tiga, SMP. Usiaku saat itu masih berkisar lima belas tahun. Sebuah jumlah usia yang masih sangat muda belia. Kata orang, usia seperti itu identik dengan kebandelan dan kecengengan. Namun aku bukan anak yang bandel lagi cengeng.
Siang itu langit lagi mendung, aku baru saja meninggalkan gedung sekolahku. Bertiga, Irma dan Zahra. Kami pulang bersama menyusuri jalan Pendidikan menuju rumah tempat tinggal kami yang jaraknya saling berdekatan.
Belum begitu jauh kami melangkah, tiba-tiba titik air mulai berjatuhan dari atas langit sana. Walau di bulan Oktober adalah awal musim hujan yang kemung- kinannya lebat, namun kali ini curahnya tak begitu deras, hanya gerimis tipis.
Untuk melanjutkan perjalanan sudah kupastikan, akan basah kuyup sebelum tiba dirumah kami masing-masing, karena jaraknya masih cukup jauh dari sini.
Dikota kecilku saat itu, angkutan kota seperti pete-pete belum begitu banyak, sehingga pergi pulang sekolah atau bepergian yang tidak terlalu jauh cukup dengan berjalan kaki. Hanya satu dua orang saja yang pergi kesekolah mengendarai sepeda motor. Kami lebih senang berjalan kaki pergi pulang kesekolah karena merasa begitu ceria bareng bersama teman-temanku.
Akhirnya kami putuskan untuk berteduh dibawah sebuah pohon cempaka yang berdaun rimbun tumbuh ditepi jalan. Takut basah sebelum tiba dirumah, yang akibatnya kami kemasukan angin dan akan jatuh sakit.
Sudah hampir setengah jam berlalu, namun gerimis belum juga ada tanda-tanda untuk segera berhenti. Bahkan jelaga hitam diatas langit sana semakin tebal mengambang. Sementara angin siang dibulan Oktober berhembus resah. Membawa rasa dingin yang menggeligis. Dan hawa dingin pun mulai menggigit. Kudekapkan tas sekolahku kedadaku, mengusir jauh rasa dingin namun gagal.
Zahra dan Irma disisiku nampak jenuh dan sudah mulai gelisah. Berdiri sambil merangkul tas ranselnya sama seperti aku. Jaket blue jeans yang ia kenakan rupanya tak mampu mengusir jauh dingin yang menggerogotinya. Kerut kebosanan nampak tergores di wajahnya mengutuk hujan yang membosankan.
“Yuk, pulang Rus!” ajak Zahra padaku.
“Eh, apa kamu tidak lihat gerimis itu masih menetes dari atas langit sana?” tolakku pada mereka.
“Gerimis kayak gini biasanya bandel, lama baru mau berhenti. Bisa-bisa kita bermalam disini.” sahutnya resah.
“Akupun sudah lapar, Rus.” timpal Irma.
“Terserah kamu deh.”
“Tapi,...........!” Belum habis bicaraku, mereka sudah beranjak pergi.
“Daagh.........!” Mereka melambaikan tangan padaku. Kubalas lambaiaannya.
Mereka benar-benar nekat. Beranjak pergi meninggalkanku sendirian dibawah teduhnya pohon cempaka ditemani oleh nyanyian gerimis yang telah mulai membosankanku.
Mereka berjalan dengan menembus tirai hujan yang masih menetes dari langit atas sana. Sampai hati mereka meninggalkanku sendirian disini. Memang timbul juga rasa iri dihatiku. Kenapa mereka perempuan mampu memembus gerimis itu sedang aku lelaki tidak seperti mereka.
Ah, perduli setan. Desisku berbaur dentingan bunyi gerimis yang bernyanyi diatas dahan pohon cempaka. Palingan mereka akan menggigil kedinginan dibalik selimut tebalnya, setelah mereka tiba dirumah. Yang akhirnya mereka tak masuk sekolah karena sakit pilek. Begitu desisku disela-sela gerimis. Dalam lamun sepiku tiba-tiba terdengar suara yang menyapaku.
“Eh, terjebak hujan, ya?” begitu sapanya.
Suara itu sangat lembut kedengarannya bagai bisikan halus. Sudah kupastikan itu suara perempuan. Aku menoleh, disisiku kini telah berdiri seorang gadis cantik. Bagai bidadari turun dari khayangan.
“Dugaanmu benar.” sahutku sambil menatapnya. Kulihat gadis itu mengenakan seragam sekolah sama seperti aku. Putih biru, dengan lencana Osis Sekolah melengket disaku bajunya.
Aku terpana memandangnya. Rasa dingin yang menggorogotiku seketika menjauh dariku.
“Boleh aku tahu, kamu dari mana?” tanyaku.
“Aku pulang dari sekolah, ditengah jalan aku kehujanan.”
“Lho, kan kamu pakai payung?” tanyaku heran, sembari melirik payung hitam yang ada di genggamannya.
“Ya, benar, tapi payung ini rusak diterjang angin di tengah jalan dan aku tak dapat membetulkannya, terpaksa aku menembus gerimis karena takut terlambat pulang kerumah. Dan khawatir pula aku basah kuyup sebelum tiba dirumah, yang nantinya aku akan jatuh sakit, maka aku singgah berteduh dibawah pohon ini.” begitu sahutnya menjelaskan padaku.
“Oh, begitu.” ujarku sambil kuamati lambang lokasi sekolah yang tertera di lengan baju seragamnya. Kulihat bibirnya yang mungil sudah mulai kebiruan menahan rasa dingin yang menderanya. Baju seragamnya basah tertimpa gerimis. Tas ranselnya didekapkan ketubuhnya bagian atas yang terlihat transparans karena basah. Ia tersipu malu menatapku.
“Boleh nggak dibetulin payungku ini?” pintanya sambil menyerahkan payung itu padaku.
“Kenapa tidak, soal gampang.” sahutku sombang, sembari meraih payung itu dari tangannya.
“Ini udah baik.” kataku lagi sesaat setelah usai kuperbaiki lalu kuserahkan kembali padanya.
“Ow, tak kusangka disini ada bengkel jalan.” candanya dengan melempar senyum padaku. Senyum bagai delima merekah. Aku tergoda memandangnya.
“Bayarnya berapa?” tanyanya.
“Tak usah bayar, cewek secantik kamu tak perlu bayar, gratis.” balasku bercanda sambil menatapnya senyum. Ia tersipu malu aku berkata demikian.
“Oh, terima kasih banyak kalau begitu.”
“Sama-sama.”
“Ngomog-ngomong, kita belum kenalan sebaiknya kita kenalan dulu.”
“Oh iya, namaku Sofiah, aku sekolah di SMP Muhammadiyah.” Dia mengu- lurkan tangannya menyalamiku sambil menyebut namanya.
“Aku Rusli.” balasku seraya kusambut uluran tangannya.
Matahari perlahan mulai condong kebarat, walau tak nampak namun kutahu setelah kulihat jam ditanganku telah menunjukkan hampir lewat pukul 14.30 siang.
Gerimis masih bernyanyi diatas ranggas dahan basah. Namun belum juga ada tanda-tanda hujan akan reda. Aku sudah bosan berdiri disini. Lagi pula kampung tengah sudah mulai keroncongan. Aku mematung resah. Terbaca oleh Sofiah bahwa aku telah nampak gelisah menanti redanya hujan.
“Yuk, kita pulang bareng!” ajak Sofiah.
“Masih hujan, nanti aku basah.” tolakku.
“Nanti kita pakai payung ini bersama.” katanya sambil kami beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan yamg kami lalui, pandangan Sofiah luruh diatas genangan air seolah menghitung berapa jumlahnya karena terasa begitu sangat menganggu perjalanan kami.
Sesaat suasana sepi menguasai, kecuali nyanyian gerimis masih berse-nandung diatas ranggas dahan basah.
“Tinggalnya dimana?” tanya Sofiah tiba-tiba mengusik lamunku.
“Masih agak jauh dari sini.”
“Kalau kamu?” balasku bertanya.
“Sudah dekat, sebelum trafic-light itu.” Jemarinya lentik menunjuk kearah dekat persimpangan jalan depan situ. Dan tak lama kemudian kami telah tiba tepat didepan rumah Sofiah.
“Yuk, mampir dulu, ini rumahku nomor 38.” begitu ajaknya tulus padaku.
“Terima kasih banyak, nanti lain waktu aku akan main kemari” jawabku sambil kuserahkan payung itu padanya.
“Tak usah,..........! Pakai saja dulu, nanti besok kamu kembalikan padaku, ditempat tadi kita bertemu, dibawah pohon cempaka itu.” tolaknya sambil berlari masuk kedalam rumahnya.
“Daagh,......” Ia melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambai nnya.
Sepanjang jalan yang kulalui menuju rumahku. Bayang-bayang wajah Sofiah, tak luput dari ingatanku memuji akan ketulusan hatinya. Seorang gadis jelita yang meminjamkan payung padaku sehingga aku tiba dirumah terhindar dari basah kuyup.
Sekiranya tidak. Dengan terpaksa aku pulang kerumah dengan sekujur tubuhku basah menggigil menahan rasa dingin.
Tentunya akan jadi bahan ejekan bagi Zahra dan Risma bila melihatku basah kuyup tiba di rumah serupa kucing garong habis kecebur kedalam air got.
Keesokannya, sesuai janji Sofiah, ia akan menemuiku ditempat ini. Disini aku menunggunya lama. Lama sekali. Namun tak nampak wajahnya yang jelita. Sudah tiga hari beturut-turut aku menunggunya, namun ia belum juga datang.
Setiap kupulang dari sekolah, aku singgah menunggu disini. Dibawah teduhnya pohon cempaka. Gelisah resah aku menunggunya. Akhirnya, aku berlari menuju rumahnya untuk mengembalikan payung ini, yang ia pinjamkan kepadaku beberapa hari lalu.
Betapa terkejutnya aku, setelah tiba dirumahnya, dimana kudapati pintunya tertutup rapat. Terlihat lengang. Sepertinya rumah itu tak berpenghuni. Tak ada siapa-siapa yang kutemukan disana. Aku tertegun sesaat. Dalam hati aku bertanya, kemana mereka perginya?
Dari penuturan tetangganya, mengatakan bahwa Sofiah bersama ibunya, baru saja kemarin pagi berangkat ke Padang, dengan menumpang pesawat Merpati, mencari ayahnya yang sedang tertimpa musibah bencana gempa bumi, yang mengguncang kota Padang yang sangat dahsyat berkekuatan 7,6 skala rihgter.
Ayah Sofiah ditugaskan oleh Kepala kantornya dimana ia bekerja untuk mengikuti Seminar Nasional bertempat di Hotel Ambacang Padang.
Disaat terjadi gempa, ayah Sofiah sedang mengikuti seminar dilantai 4, bersama beberapa orang teman lainnya, sebahagian tak dapat menyelamatkan dirinya termasuk ayahnya, karena terjebak dalam reruntuhan gedung yang hancur luluh lantak porak peronda.
Tak terhitung jumlahnya, berapa banyak orang yang terjebak didalamnya. Puluhan bahkan diperkirakan ratusan orang. Pasca bencana gempa, sebahagian yang ditemukan telah tewas tertimbun oleh reruntuhan gedung hotel dan telah berhasil dievakuasi oleh aparat TNI bersama tim relawan yang datang dari luar dan dalam negeri diberbagai daerah ditanah air.
Ribuan bangunan gedung lainnya seperti kantor-kantor, rumah sakit, gedung sekolah, dan rumah-rumah penduduk tak luput dari musibah yang serupa.
Hingga kini, jazad ayah Sofiah beserta beberapa orang lainnya belum juga ditemukan, masih terkurung dalam reruntuhan gedung.
Entah, dia masih hidup atau telah tewas tertimbun oleh reruntuhan gedung hotel yang porak poranda akibat diguncang oleh gempa bumi yang sangat dahsyat.
Sangat tipis kemungkinannya untuk dapat bertahan hidup karena waktu awal gempa terjadi pada tanggal 30 Sepetember yang lalu. Kecuali dia mendapat mukjizat dari Yang Maha Kuasa.
Akhirnya, payung yang dipinjamkan Sofiah padaku beberapa hari lalu, kuletakkan begitu saja tepat didepan pintu masuk rumahnya. Kuselipkan secarik kertas yang bertuliskan : Turut berduka cita atas musibah yang menimpa keluarga Sofiah. Semoga tabah menerima cobaan ini. Terima kasih banyak atas ketulusan hatimu meminjamkan payung kepadaku, semoga Tuhan membalasnya.
Dari sahabatmu, Rusli Effendy.
Sesudahnya, aku berlari pulang meninggalkan rumah Sofiah membawa hati yang lara tersayat pilu.(*)

Makassar, 10 Oktober 2009

Mingguan Inti Berita, 18 Oktober 2009
Harian Radar Bulukumba, 25 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar