Selasa, 03 Mei 2011

88. MELATI DI BATAS KOTA

Oleh : Hasbullah Said.-


SEPEDA motor yang kukendarai, kularikan dengan kecepatan tinggi di atas aspal mulus menuju selatan kota. Kota kecil tempat di mana aku di lahirkan, yang jaraknya sekitar kurang lebih 91 Km dari kota Makassar yang kutinggali sekarang.
Kota Jeneponto, berjuluk Butta Turatea yang telah lama aku tinggalkan, sejak aku tamat di Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA). Lanjut kuliah di- salah satu Perguruan Tinggi Negeri dikota ini.
Sekali dalam setahun baru aku mudik kekota kelahiranku, karena aktif kuliah disertai kesibukanku sebagai seorang aktivis mahasiswa.
Angin petang terasa dingin menembus masuk ke kulit ari tubuhku kendati aku memakai jaket tebal blue jeans yang melindungi tubuhku. Namun sepeda motor Astrea-ku tetap kularikan dengan kecepatan tinggi agar aku tiba di tempat tujuanku tidak terperangkap malam di tengah jalan.
Dari balik kaca spion motorku kulihat Melati di boncenganku sedikit cemas karena baru kali ini aku melarikan sepeda motorku begitu sangat kencang. Tak terdengar lagi suara atau percakapan yang meriuhi perjalan kami.
Tak seperti di awal kami berangkat dari rumah. Ia bercerita banyak tentang masa-masa lalunya, kendati suaranya begitu kurang jelas di balik helm pengaman yang kukenakan karena suaranya tertelan oleh kesiur angin kencang.
Kukenal Melati sejak dulu. Aku tak ingat lagi, sejak kapan awal perkenalanku dengannya. Dia adalah teman kuliahku di Fakultas Sastra disalah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota ini. Sama-sama duduk sebagai Anggota BEM Mahasiswa.
Kuajak dia jalan-jalan ke kampung halamanku untuk kukenalkan pada semua pihak keluargaku terutama kedua orang tuaku. Dan iapun setuju atas ajakanku.
Melati berpegang erat setengah lingkar di pinggangku karena ketakutan. Dari balik kaca spion motorku kulihat dia sangat gelisah.
“Aku tak ingin mati sia-sia karena kecelakaan, jatuh dari atas sepeda motor mengenaskan akibat pengendaranya ugal-ugalan di jalan raya.” tegur Melati di boncenganku menyindir sambil mencolek pangkal lenganku, sebagai isyarat tidak setuju dengan kecepatan yang begitu tinggi.
Suaranya cemas terdengar samar-samar hampir tak terdengar olehku dari balik helm pengaman yang kukenakan. Gas sepeda motorku segera kuundur. Sedikit kukurangi dan jalannyapun agak lambat. Dan akhirnya kuputuskan untuk berhenti sebentar istirahat tepat di bawah pohon asam.
“Kalau begitu kita istirahat saja dulu disini.” kataku sambil kumatikan gas mesin motorku lalu berhenti ditepi jalan.
“Kamu penakut.” ujarku setelah kami duduk dibawah teduhnya sebuah pohon asam yang tumbuh ditepi jalan. Lama Melati tak menyahuti ujarku, sepertinya ia mati lemas ketakutan sejak dari tadi.
“Lebih baik kita bermalam saja disini, dari pada kita lanjutkan perjalanan lalu kamu mati lemas ketakutan di boncenganku.” kataku pula menyindir dengan nada sedikit kecewa.
“Tidak begitu kak Zul, dengan kecepatan yang begitu tinggi, berarti mengundang sebuah musibah, aku khawatir kecelakaan tiba-tiba datang, membuat kita mati bersama terlindas oleh kendaraan yang lewat atau kalau tidak kamu menabrak pohon asam yang banyak tumbuh di sepanjang jalan.” sahut Melati cemas memperingatiku.
“Jangan kamu apriori seperti itu. Seyogianya kamu berdoa semoga kita selamat tiba ditempat tujuan dengan tak kurang suatu apapun.” Dalam diam. Melati sekilas melempar pandangannya keatas pohon asam yang bergoyang tertiup angin petang.
“Jujur aku katakan bahwa, sejak dari tadi diawal kita berangkat meninggalkan rumah, hingga kini aku tetap berdoa, semoga kita tiba ditempat tujuan dengan sela -
mat, karena aku merasa cemas dengan laju sepeda motormu yang kamu larikan begitu sangat kencang.” katanya lirih sambil menatapku lekat-lekat.
Sejenak aku diam. Dalam hati akupun jujur membenarkan katanya. Dalam perjalanan aku sadar bahwa maut senantiasa membututiku bila jalan sepeda motorku
kularikan begitu kencang.
“Aku khawatir kita terperangkap malam, membuat kita akan mendapat kesulitan di jalan sayang,.......... karena lampu depan sepeda motorku rusak tidak menyala.” bujukku sedikit lunak agar dia mengerti.
“Tapi aku janji sayang,.......sepeda motorku akan kularikan dengan perlahan, bahkan perlahan sekali, agar kamu tidak mati lemas ketakutan di boncenganku. Dan mudah-mudahan saja rembulan malam sebentar nanti akan bersinar terang menerangi perjalanan kita.” begitu harapku dengan nada penyesalan.
“Bagaimana, apa kamu setuju?” tanyaku memberi semangat padanya. Melati mengangguk senyum menatapku. Ia setuju atas harapku.
“Oke,...... yuk, kita jalan!” kataku sambil kuhidupkan mesin sepeda motorku.
Melati mengangguk senyum, dan dengan perlahan ia meloncat naik diatas boncenganku.
Senja telah hampir berlalu. Bayang-bayang merah merambah perlahan menerpa diatas ruas jalan aspal yang kami lalui. Dan rembulan malampun mulai tersenyum mengintip dari balik celah pepohonan. Jalanan masih begitu ramai dipadati oleh kendaraan bermotor berlalu lalang.
“Mujur, malam ini kita di temani rembulan yang bersinar terang.” kataku sambil kularikan sepeda motorku dengan tidak terlalu laju.
“Aku sangat senang melihat bulan purnama begitu indah menemani kita.” balas Melati di belakangku dengan mendekatkan mulutnya ketelingaku agar aku dapat mendengarnya dengan jelas.
“Iya, sayang,.........., betapa indahnya malam ini, malam yang punya kesan tersendiri buat kita berdua.” balasku sambil kuremas jemarinya yang lentik meme-
gang erat melingkar di pinggangku.
Sementara sepeda motorku tetap kularikan dengan kecepatan sedang. Aku tak ingin lagi Melati di belakangku meringis ketakutan sama seperti tadi.
“Gimana jalan sepeda motorku, apa masih perlu di perlambat?” candaku berpura-pura menanyakannya.
“Udah cukup, biar lambat asal selamat.”
“Iya, tapi ini jalannya kayak mengantar pengantin.”
“Pengantinnya siapa?” tanyanya.
“Aku dan kamu.” lagi aku bercanda.
“Gensi deh, pengantinnya pakai motor butut.”
“Oh, ya, bukan mengantar pengantin, aku salah, tapi sedang dalam perjalanan menuju tempat wisata Tanjung Bira untuk berbulan madu.” kataku meralat.
“Kok, belum nikah udah berbulan madu.” protes Melati di belakangku sambil memelukku erat setengah lingkar.
“Sepulang kita dari kampung, segera aku akan melamarmu.” kataku lagi bercanda. Melati diam di belakangku tak menyahuti candaku.
Sementara sepeda motorku tetap melaju mendekati hampir batas wilayah kabupaten Takalar dan Jeneponto. Pintu gerbang perbatasan dari bangunan beton telah nampak jelas dipandanganku. Sebuah slogan tertulis Selamat datang di Bumi Turatea Yang Aman Damai.
Senja meremang gelap. Laju sepeda motorku tetap kularikan dengan sangat hati-hati. Namun, sesaat kemudian,........ tiba-tiba seekor anjing liar menyeberang memotong perjalanan kami, sehingga tabrakan tak terelakkan membuat aku terjatuh bersama Melati. Aku terseret beberapa meter kedepan, sedang Melati terlempar kesisi jalan membentur jidatnya pada sebuah bongkahan batu ditepi jalan.
Seketika kulihat darah mengucur membasahi wajahnya. Untung saja karena aku cepat sadar dan segera bangkit membantu Melati. Sesaat kemudian masyarakat yang bertempat tinggal disekitar lokasi kejadian secepatnya datang membantu Melati menggotongnya ramai-ramai keatas rumah salah seorang pemuka masyarakat. Aku kelabakan tak tahu apa yang hendak kulakukan melihat Melati tengah berlepotan darah segar yang mengucur dari jidatnya.
Baru aku ingat, ketika dulu jari tangan bundaku tersayat pisau dapur, hanya kulit kayu cina diperas airnya kemudian diteteskan diatas lukanya. Dan tak lama, darah yang menetes diatas lukanya itu segera berhenti. Hal serupa kulakukan terhadap Melati. Pohon kayu cina tak begitu sulit di dapat karena banyak tumbuh di- sepanjang jalan yang kami lalui.
Akhirnya dengan obat tradisional itu, darah yang menetes diatas jidatnya segera berhenti. Dalam keadaan darurat yang serba terbatas, sebagai pertolongan per-
tama yang aku kukakan, ini kuanggap suatu upaya yang cukup berhasil.
Malam perlahan merangkak ketitik larutnya. Melati masih terbaring diatas tempat tidurnya, walau kondisinya perlahan-lahan sudah membaik, namun Pak Suaib pemilik rumah yang di tempati Melati dirawat, menganjurkan agar tetap istirahat saja dulu, tak membiarkan kami untuk melanjutkan perjalan malam ini.
“Istirahat saja dulu disini, nanti besok pagi baru kalian lanjutkan per-jalanannya.” begitu harapnya padaku.
“Kami sudah terlalu banyak merepotkan bapak sekeluarga.” begitu tolakku dengan nada santun.
“Tidak apa-apa, saya khawatir di perjalanan nanti akan terjadi sesuatu, sedang kota Jeneponto yang akan kamu tuju masih separuhnya perjalanan dari sini.”
“Dan dirumah ini ada Indah, anak perempuan kami yang sekolah di SMA dapat menemaninya tidur di kamar belakang.” lagi Pak Suaib menawarkan jasa baiknya kepada kami dengan hati yang tulus. Dengan berat hati aku terpaksa menerima tawarannya.
Keesokan paginya, aku bersama Melati mohon pamit pada Pak Suaib dengan mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuannya.
“Terima kasih banyak Pak, semoga Tuhan membalas budi baik bapak sekeluarga.” ucapku sambil memberi salam pamit kepadanya.
Matahari pagi segar menerpa tubuh kami dalam perjalanan menuju kota ke- lahiranku, sementara sepeda motorku kularikan dengan pelahan dan sangat hati-hati.
“Maaf dik,......kecelakaan tadi malam tak terhindarkan akibat ulah anjing liar itu.” kataku setelah Melati berada diatas boncenganku.
“Sudahlah kak, semua itu adalah suratan takdir dari Yang Maha Kuasa, namun ini adalah suatu peringatan buat kakak agar di dalam menjalankan sepeda motornya harus selalu berhati-hati agar terhindar dari musibah seperti apa yang telah kita alami.” katanya dengan nada lirih.
“Terima kasih sayang,............. semoga tak terulang lagi peristiwa naas seperti itu.” sahutku di sertai dengan anggukan kepala membenarkan katanya. Dan tak lama kemudian, kami pun telah tiba dengan selamat di kota tujuan yaitu kota Jeneponto Butta Turatea yang aman damai.
Setiba dirumah, kami di sambut dengan penuh kehangatan dan keakraban oleh seluruh kerabat keluargaku, karena sebelum kami berangkat kemari telah kusampaikan lebih dulu bahwa aku akan datang bersama pacarku bernama Melati.
Peristiwa kecelakaan yang menimpa diri kami tadi malam, sengaja kami rahasiakan dan tidak kami ceritakan kepada siapa-siapa termasuk pihak keluargaku, cukup aku dan Melati saja yang mengetahuinya, namun semua itu adalah sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagiku, bahwa didalam mengendarai kendaraan bermotor harus selalu berhati-hati.
Sebuah kenangan manis yang tak akan terlupakan sepanjang perjalanan hidupku untuk selama-lamanya.(*)

Makassar, 24 Oktober 2009

Harian Radar Bulukumba, 04 Desember 2009
Mingguan Inti Berita, 06 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar