Selasa, 03 Mei 2011

89. CINTA TULUS YANG KUBERIKAN PADAMU

Oleh : Hasbullah Said.-


DI SEBUAH kompleks perumahan elite dikota ini. Setiap aku lewat disini, didepan rumahnya, setiap kali pula cewek itu mengulum senyum padaku, bila aku sua dengannya. Kubalas senyumnya, laiknya senyum seorang teman karib.
Awalnya, kumaknai senyumnya itu biasa-biasa saja, sebagai senyum tulus tetangga baru pindahan dari Kota Bandung. Senyum bagai delima merekah, ter-sembul dari balik bibirnya yang mungil nan merah.
Aku tinggal paling ujung utara di kompleks itu. Jalan satu-satunya yang harus kulewati bila aku hendak pergi kuliah atau keperluan lainnya, pasti aku lewat didepan rumahnya. Karena jalan yang satunya lagi yang berada disebelah barat kompleks itu, agak jauh sedikit berputar baru bisa mencapai jalan umum.
Sebenarnya, rumah kami tidak termasuk bangunan perumahan kompleks itu, karena jauh sebelumnya beberapa buah rumah penduduk lainnya telah lama bermukim dilokasi ini. Kami menolak dan bertahan untuk tidak dibebaskan tanah berserta rumah kami, karena tidak sesuai dengan penawaran pihak developer pengembang yang begitu sangat murah.
Terpaksa rumah kami, harus berhadapan dengan jejeran santun dari bangunan perumahan mewah model mutakhir, maka masuklah rumah kami dalam bilangan kompleks perumahan Bumi Antah Berantah Permai. Sebuah perumahan yang cukup mewah lagi elite dikota ini. Memang sangat kontraks pemandangannya dengan rumah kami penduduk lama.
Semakin hari semakin gencar cewek itu menyerangku dengan kulum senyum manis sambil melambaikan tangannya padaku. Cewek itu dirumahnya disapa Lala. Aku tak tahu siapa nama lengkapnya.
Kukenal Lala ketika awal mula datang dari Bandung. Aku sebagai tetangga yang merasa punya kepekaan gotong-royong yang sangat tinggi, maka aku tak sampai hati melihat kedua orang tuanya sibuk mengatur perabotan rumah tangganya sendiri yang begitu banyak di ekspedisikan dari Bandung. Dengan hati yang tulus ikhlas, aku menawarkan jasa baikku kepadanya.
“Boleh nggak, aku bantu bapak?” tawarku kepada kedua orang tua Lala.
“Udah, nggak usah repot-repot.” tolaknya.
“Nggak apa-apa, kami kan tinggal bertetangga dengan bapak, rumah kami tak jauh dari sini, hanya diantarai tiga buah rumah saja, itu disana Pak.” balasku sembari menunjuk kearah rumahku.
“Kalau gitu terima kasih banyak atas bantuannya.” jawab ayah Lala dengan melempar senyum padaku.
Pak Subroto, begitu nama orang tua Lala dimutasikan dari Bandung ke- Makassar sini, dengan tugas sebagai Direktur Utama dari sebuah perusahaan swasta yang bergerak dibidang eksport import.
Disuatu senja yang basah, aku duduk diteras rumahku sambil membaca sebuah naskah cerpen yang baru selesai aku tulis, kupersiapkan untuk kukirim ke redaksi harian surat kabar yang terbit dikota ini. Surat kabar mingguan yang memiliki rubrik budaya sering memuat cerita pendek. Tiba-tiba Lala sedang berlalu didekatku.
“Asyik banget, sedang baca apa, kak?” sapanya lembut sambil mendekatiku.
“Oh, mari, ini karya tulisku sendiri, sebuah cerpen.” jawabku sembari mengajaknya duduk bersamaku diatas kursi teras rumahku. Naluri kecintaannya pada tulisan yang berbau fiksi tiba-tiba menggelitik syarafnya. Sejak dulu katanya dia sangat senang membaca cerpen.
“Boleh nggak aku diberi pinjam untuk membacanya, kak?” pintanya dengan sangat berharap.
“Boleh aja, asal jangan lupa di pulangin, karena segera akan kukirim ke- redaksi surat kabar.”
“Ya, aku janji kak, sehabis kubaca segera kupulangin.” jawab Lala sambil mengangguk kesenangan menerima naskah cerpen itu.
“Lala,...........!” panggilku setelah naskah cerpen itu berada di genggamannya.
“Kehadiran keluarga Lala disini, kami merasa sangat senang melihat penampilam serta perangainya begitu sederhana namun baik sekali, sangat ramah, nampaknya tak sama dengan penghuni kompleks lainnya yang sudah lama menetap tinggal disini.” kataku dengan nada perlahan pada Lala.
“Maksudmu,......?” tanya Lala dengan penuh penasaran.
“Nantinya kamu akan rasakan sendiri, bahwa penghuni kompleks yang elit seperti disini pada umumnya mereka adalah golongan Have yang berkecukupan bahkan sudah berkelebihan, maka kepekaannya terhadap golongan Have Not, sudah menjauh dari mereka.
Maunya menang sendiri, egois, bahkan nampak ada kesombongan. Sepertinya mereka sedang dalam ajang lomba pameran kekuasan dan kekayaan. Namun dihati kami tak pernah dan tak akan pernah ada rasa dendam ataupun iri terhadap mereka.
Etika saling menghargai terhadap tetangga agaknya telah terpinggirkan, sifat-sifat kebersamaan serta kegotong royongan hampir tak ada lagi, yang ada nafsi-nafsi.” kataku dengan nada iba.
“Aku bukan menjelek-jelekan mereka, tapi kamu akan rasakan nantinya, bayangkan, senyumpun sangat susah diperoleh dari mereka, apa lagi berkomunikasi dengan kami sebagai penghuni lama di kompleks ini.” sambungku lagi menyakinkan dia.
“Oh, maaf kak, mudah-mudahan saja keluarga kami tidak seperti yang kakak maksudkan.” ujarnya dengan rasa simpati padaku.
“Tiap manusia kan karakternya berbeda-beda, tidak semuanya seperti itu.” sambungnya lagi menyadarkan aku.
“Semogalah.........terima kasih banyak dik, Lala.”
“Percayalah, kak.”
Sesudahnya, segera dia berlari pulang kerumahnya dengan penuh keriangan.
Mengurung diri dalam kamarnya. Kemudian ia membaca naskah cerpen itu dengan penuh minat yang berjudul : “Ketika Plamboyant Tak Lagi Berbunga.”
Keesokan harinya, betul ia menepati janjinya. Ia mengembalikannya padaku dengan ucapan banyak terima kasih.
“Gimana, senang tidak, membacanya?” tanyaku setelah naskah itu diserahkan padaku.
“Senang banget, kalau masih ada, tolong dipinjamin lagi!” pintanya dengan penuh harap.
“Oke, nantilah.” begitu janjiku padanya.
Jika kemudian Lala memuji cerpen yang sudah dibacanya, itu tidaklah berlebihan. Jalan ceritanya begitu sangat menarik. Gaya bahasanya menawan. Dari awal hingga akhir kisah membuat ia sangat kagum. Itu pengakuan jujur Lala, setelah dia mengembalikan naskah itu padaku.
Setelah itu, ia semakin dekat denganku. Apa saja yang ia makan dirumahnya pasti aku dapat jatah darinya. Rupanya dia seorang cewek yang dermawan, suka memberi kepada siapa saja dengan penuh keikhlasan hati.
“Ini sudah terlalu merepotkan Lala.” kataku disuatu senja ketika ia memberiku makanan ringan khas dari Bandung.
“Oh, nggak, kebetulan persedian cukup banyak, kok.” jawabnya tulus dengan mengulum senyum. Kali ini senyumnya kurasakan ada lain. Tak sama ketika pertama kali ia datang. Senyum yang mendebarkan jantungku. Detak-detak yang tak dapat kumaknai. Serupa senyum yang melenakanku. Ada getar aneh yang menggelitik setiap kali namanya kudengungkan dalam lamun sepiku.
Entah, aku tak tahu kenapa tiba-tiba terjadi suatu perubahan perasaan yang begitu sangat drastis. Akhirnya, tak ada hari tanpa Lala. Setiap hari tak pernah absen dirumahku. Kemana aku pergi, disitu Lala pasti ada.
Suatu ketika, Lala memohon padaku untuk ditemani ber-rekreasi ketempat wisata di daerah ini. Sebagai pendatang baru, katanya ia ingin melihat tempat-tempat wisata yang dapat ia bandingkan dengan tempat wisata yang ada di Bandung, seperti Tangkuban Perahu, Kawah Putih Ciwidey, Permandian Air Panas Cimanggu, Teropong bintang Bosca di Lembang, dan banyak lagi tempat-tempat wisata lainnya yang sangat menarik.
“Kak Zul, boleh nggak, aku di temani ketempat rekreasi yang ada di daerah sini?” pintanya disuatu senja ketika ia berkunjung kerumahku.
“Ya, boleh aja, apa sih salahnya.” jawabku.
“Tapi,... aku tak memiliki kendaraan bermotor roda empat, yang ada hanya sepeda motor bututku aja. Di kompeks ini hanya aku yang tak memiliki mobil pribadi.”
“Nggak apa-apa, tapi nanti kita pakai mobil papa, kalau hari minggu biasanya papa malas keluar rumah, papa lebih senang tinggal istirahat dirumah aja.”
“Aku tak pandai nyetir.” tolakku.
“Itu soal gampang, aku kan pandai nyetir.”
“Oke, esok pagi kita ke permandian alam Bantimurung saja, kebetulan besok hari minggu, tentu banyak pengunjungnya yang datang kesana. Karena selain penorama gunungnya yang begitu indah, juga ada air terjunnya dari atas bukit dan spesis kupu-kupu warna-warni cantik yang tidak dimiliki oleh daerah lain pula ada disana.”
“Mau nggak kesana?”
“Tentu mau,.....aku mau dong.” sahutnya bersemangat dengan penuh minat.
Keesokannya. Mobil Innova warna Silver melaju diatas aspal menuju keluar kota. Lala duduk di belakang stir, dan aku duduk di sampingnya.
“Makassar sini tak sama Bandung.” kataku membuka perbincangan dengannya, ketika mobil Innova yang kami tumpangi melaju diatas ruas jalan Perintis Kemerdekaan.
“Maksudmu?” tanya Lala sambil mengernyitan keningnya bagai lengkung sayap burung camar yang saling merapat.
“Ya, banyak kelebihan yang dimiliki Bandung dibanding daerah sini.”
“Seperti yang mana?” tanyanya lagi.
“Bandung kotanya indah lagi sejuk, tertata apik dan bersih, tempat-tempat wisatanya yang begitu banyak tersebar dan indah penoramanya, penduduknya ramah, gadis-gadisnya cantik-cantik berkulit putih bersih, logat bahasanya sangat santun menarik dan menawan.”
“Kok, aku sendiri gadis Bandung tapi nggak secantik seperti kak Zul katakan.” katanya merendah.
“Siapa bilang.” bantahku.
“Orang bilang, dan juga aku.”
“Ah, itu bohong, kalau aku sendiri kamu kuberi nilai “A” plus.”
“Rayuan gombal, ni,......yee!”
Mobil Innova yang dikumudikan Lala berjalan terus melaju diatas aspal mulus, dan tak lama kemudian kami telah tiba dengan selamat di permandian alam Bantimurung. Kami pilih tempat dekat air terjun dibawah teduhnya sebuah pohon rimbun. Wisatawan lokal telah begitu banyak berdatangan dari berbagai daerah hampir memenuhi seluruh ruang yang ada.
“Aku senang banget berada disini, Kak Zul.” katanya memuji sesaat setelah kami tiba.
“Aku pula merasa senang bersama gadis cantik dari Bandung.” Aku bergurau. Ia tersipu malu mendengar ucapku.
“Aku paling bahagia bersama seorang penulis idolaku.” balasnya sambil menatapku senyum.
Angin siang alam Bantimurung bertiup perlahan lembut dari atas bukit. Menebar hawa sejuk merata kesemua arah. Lala merapatkan tubuhnya bersandar didadaku, begitu hangat terasa menyentuh tubuhnya yang ramping.
“Kak, Zul,......!” bisiknya lembut dengan nada berharap, mengalun perlahan berbaur udara sejuk permandian alam Bantimurung.
“Ada apa dik?” tanyaku penasaran.
“Em,......maukah kamu menerimaku untuk bermukim direlung hatimu yang paling tulus? Maksudnya,.......menerima aku sebagai pacarmu!” pinta Lala dengan nada yang terbata-bata. Aku kaget mendengar ucapnya. Aku terdiam. Suasana sunyi menguasai. Aku tak secepatnya menyahuti ucapnya.
“Kamu menolakku?”
“Nggak,......tapi apakah ini kamu telah mempertimbangkannya dengan semasak-masaknya?” tanyaku.
“Udah,.....” sahutnya.
“Rupanya kau terlalu gegabah memilihku sebagai seorang kekasih, nantinya kamu akan menyesal.”
“Kenapa?”
“Kamu akan menderita, karena status sosial kita terlalu jauh beda, bagai bumi dan langit.” kataku lirih.
“Kamu orang berada, sedang aku,...........orang tak berpunya.” sambungku lagi dengan nada perlahan.
“Kak Zul rupanya keliru, sebagai orang yang beriman, si kaya atau si miskin sama saja dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang membedakannya hanyalah amal ibadah kita masing-masing kepada-Nya.
“Kan begitu?” Aku mengangguk sepi menerima ceramahnya. Bagai seorang ustazah yang memberikan santapan rohani.
“Ehem, aku sangat setuju dan merima baik ceramah dari ustazah.” kataku sambil menyalaminya menerima harapnya.
“Tapi Lala harus janji,.......!”
“Janji apa?”
“Sebagai orang berada, Have, jangan ada kesombongan,............terhadap golongan Have Not..............jangan dilihat sebelah mata, karena mereka adalah juga manusia sama sepertimu!” begitu harapku.
“Jangan begitu dong, kita kan semuanya sama, namun aku janji,............... percayalah kak.” sahutnya dengan penuh kesungguhan, serupa sebuah komitmen.
“Kalau begitu, ini adalah sebuah oleh-oleh khas untukku dari Bandung.” kataku lagi bercanda.
“Oleh-oleh spesial dariku buat kak Zulfan seorang.” balasnya pula bercanda sambil menatapku senyum. Senyum bahagia. Senyum sepasang insan remaja yang tengah kasmaran. Lala kian merapatkan tubuhnya, lalu memelukku dengan mesra. Mesra sekali............
“Terima kasih dik, mari kita pulang, hari sudah hampir malam, nanti papa dan bundamu gelisah menunggumu.”
Mobil Innova yang dikemudikan Lala kembali melaju diatas jalan aspal menuju kota Makassar. Dan akhirnya, kami telah tiba dengan selamat dirumah Lala.
“Selamat malam Lala, sampai jumpa lagi esok.” kataku sambil kumelangkah keluar meninggalkan pekarangan rumahnya menuju rumahku di keremangan malam

menggantikan senja yang baru saja berlalu.(*)


Makassar, 15 November 2009

Mingguan Inti Berita, 13 Desember 2009
Harian Radar Bulukumba, 15 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar