Selasa, 03 Mei 2011

90. ASA YANG LEPAS PERGI

Oleh : Hasbullah Said.-


UJIAN Akhir Nasional bagi siswa SLTA usai sudah. Tinggal menunggu pengumuman hasil ujian dari panitia dengan debar-debar hati yang mencekam, karena standar nilai rata-rata kelulusan siswa naik lagi. Tak sepertinya Intan Ashari seorang siswa peserta Ujian Nasional di salah satu SMU Swasta dikota ini. Bagi dia biasa-biasa saja. Tak ada debar-debar hati yang mencekam dalam jiwanya.
Cukup selembar sertifikat menyatakan bahwa dia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, itu sudah cukup. Tak lebih dari itu. Kendati iapun berkeinginan untuk lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sama seperti teman-teman lainnya.
Pasalnya, ayah Intan pernah berkata, buat apa seorang perempuan menuntut ilmu begitu tinggi yang pada akhirnya jatuhnya didapur juga. Begitu kata-kata ayahnya sangat menyakitkan hatinya. Seorang ayah yang tidak bijak. Begitu bathinnya didalam mengumpat.
Padahal, sekarang seiring perkembangan zaman, gender atau perempuan menuntut persamaan hak untuk hidup sejajar dengan kaum pria. Kata-kata ayahnya dulu masih terngiang ditelinga Intan, membuat dia hampir berputus asa. Ia berupaya untuk menghapus kenangan buram yang bergelayut dihatinya, namun selalu saja muncul menghantui pikirannya.
Perempuan itu berjalan melintas di Jalan Penghibur dengan harapan hatinya sedikit terhibur. Kemudian ia singgah duduk diatas Anjungan Pantai Losari menikmati panorma laut yang eksotis.
Sendirian. Dia tidak ditemani oleh siapa-siapa. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Bahkan sebaliknya. Ketenangan jiwa yang dia harapkan semakin menjauh. Hatinya didalam galau, bahkan merintih perih. Seolah terkoyak tersayat-pilu. Masa-masa bahagianya dulu yang pernah dia lalui bersama Mas Parto kekasihnya, tiba-tiba muncul dibenaknya. Di tempat ini di Anjungan Pantai Losari, dia pernah berikrar akan hidup semati bersamanya, biar Pantai Losari jadi saksi bisu cintanya yang begitu tulus.
Masa lalunya dibenaknya kini terkuak perlahan. Seolah muncul dari dalam sebuah gudang misteri. Begitu kuat ingatannya mengenang masa-masa lalunya bersama Parto. Tiga tahun telah berlalu,..................
***
Sepertinya sebuah komitmen. Setiap pulang dari sekolah mereka harus singgah dulu ditempat ini, menghabiskan waktunya menikmati indahnya pantai Losari yang eksotis, dikala mentari senja hendak bergulir jatuh kedasar laut biru. Jelang mahgrib baru mereka pulang kerumahnya masing-masing.
Kala itu, Parto minta pamit pulang ke Jawa dan tak akan pulang-pulang lagi. Hanya persoalan sepele, kecewa terhadap ibu Intan yang mencibirnya sebagai anak brandalan geng motor yang sering ikut bali*). Sejak itu Parto mulai berubah padanya. Dia tidak full lagi perhatiannya. Cuek. Lelaki itu betul-betul menjauh darinya.
Pada minggu berikutnya, benar Parto berangkat ke Solo tempat kelahirannya.
Dirasakan betapa hancur hatinya. Luka nestapa. Parto yang dia kasihi dengan setulus hatinya ternyata cintanya hanya seumur jagung. Asanya terbang jauh. Serupa burung elang terbang tinggi lalu tak pulang-pulang lagi. Cinta pertama Intan yang pernah ia rajut bersamanya hilang pergi entah kemana. Balada cintanya hanya tinggal nyanyian pilu yang berkepanjangan. Bagai melodi cinta haru-biru dipende- ngarannya.
Untunglah Intan cepat sadar. Parto memang ditakdirkan bukan untuknya. Tinggal kenangan buram baginya. Menjajari hari-harinya yang kelabu.
Mereka duduk diatas dermaga Anjungan Pantai Losari dengan suasana yang mencekam kala itu. Intan bersandar didada Parto. Debar-debar jantungnya terasa berpacu keras. Menangis sesunggukan melarang Parto pulang ke Jawa.
“Maafkan aku Mas, jangan tinggalkan aku.” begitu pintanya sesunggukan.
“Dari pada aku tinggal dikotamu Anging Mammiri hanya untuk menanggung rasa malu, lebih baik aku pergi jauh, jauh darimu,........ jauh dari keluargamu yang melihatku hanya sebelah mata.” katanya lirih sambil melempar pandangannya jauh ketengah laut. Ombak gemulung berlari ketepian kemudian menghempaskan dirinya kedinding tanggul dermaga. Bagaikan dirinya terhempas lalu hancur berhamburan.
Intan diam mematung. Air mata bening mengalir perlahan dipipinya yang lesung. Matanya sembab. Wajahnya memerah menahan haru.
“Kata-kata ibuku janganlah engkau simpan dihatimu Mas.” pintanya lirih sambil menatap wajah Parto.
“Anggaplah itu sebuah guyonan yang tak pernah ada.” begitu harapnya.
“Tapi itu sudah takadku untuk balik ke Jawa.” sahut Parto dengan nada bergelombang, seperti gelombang laut disini. Dari raut wajahnya terbaca sebentuk rasa kecewa yang amat dalam.
Malam perlahan menggamit keujung larutnya. Mareka beranjak lalu pergi meninggalkan dermaga Anjungan Pantai Losari pulang kerumahnya masing-masing dengan membawa setumpuk luka. Luka nestafa yang tak tertahankan.
“Halo,.........Intan, lagi ngapain kamu sendirian disitu?” tegur Irna Ismayani teman kelasnya yang tiba-tiba muncul didekatnya. Sontak ia kaget membuyarkan segala hayalnya.
“Ngelamun ni ye?” sapa Irna ngeledek.
“Nggak, biasa-biasa aja.” tepis Intan.
“Ehem,........aku tahu, sedang ngelamunin Elang Jawa itu, toch.” canda Irna sambil duduk bersamanya diatas anjungan itu.
Intan diam saja. Namun ekpresi wajahnya tak dapat ia sembunyikan. Jelas terbaca oleh Irna kalau dia sedang menyimpan sebuah nestapa.
“Mas Parto kan?”
Kali ini ia mengangguk jujur. Tak dapat ia sembunyikan, karena Irna adalah teman baiknya disekolah, sering berbagi rasa suka duka tempat ia curhat. Kisah cinta Intan yang kandas dia pun telah tahu. Dia pulalah yang mengobati luka hati dan selalu memberi semangat kepada Intan, sepeninggal Parto yang marah besar terhadapnya.
“Sudahlah Intan, lupakanlah dia, kan tidak semua lelaki sama dengan Parto. Tentu banyak yang lain, mungkin lebih baik dari dia, dunia tak selebar daun kelor.” bujuk Irna sambil mengelus rambutnya. Intan mengangguk senyum. Dalam hati ia berterima kasih kepada sahabatnya yang banyak memberi semangat serta perhatian terhadapnya.
***
Hari-hari berikutnya. Intan dan Irna sering berada ditempat ini, di Anjungan Pantai Losari, mengisi waktu-waktu lowongnya, sambil menunggu pengumuman hasil Ujian Nasional yang baru-baru ini di laksanakan.
“Kapan Ujian kita diumumkan?” tanya Irna.
“Aku tidak tahu.”
“Tapi menurut pak Eko guru matematika kita mengatakan mungkin dalam minggu ini.” lanjut Intan.
“Ya, mudah-mudahan saja, semoga kita berhasil lulus dan secepatnya pula kita mendaftar di Perguruan Tinggi.” balas Irna bersemangat.
“Setelah lulus Ujian Nasional, rencanamu dimana nantinya kau lanjut?” tanya Irna lagi.
“Aku belum tahu, tapi mungkin nggak.” Intan mengeleng, lalu ia diam sejenak. Teringat kembali akan kata-kata ayahnya.
“Aku pengen mendaftar jadi caleg di DPRD, karena Pemilu caleg tak lama lagi berlangsung dan bila aku terpilih nanti,..... akan kuperjuangkan semaksimal mungkin kesejahteraan rakyat kecil lagi miskin agar Kota Anging Mammiri terbebas dari kemiskinan.” lanjutnya dengan nada bersemangat.
“Eh, apa kamu punya uang banyak?” potong Irna.
“Kenapa mesti uang segala?”
“Tahu nggak, kalau mau jadi caleg, harus siap segala-galanya. Selain siap untuk kalah dan menang, harus pula siap mental dan physik serta materi.”
“Maksudmu?” tanyanya heran.
“Harus siap uang banyak untuk biaya ini dan itu,.....biaya kampanye, biaya iklan, biaya baliho begitu mahal yang dipajang ditempat strategis kayak promosi artis sinetron, dan banyak,................lagi.”
Intan mengangguk diam. Ia tidak menanggapi kata-kata Irna.
“Kalau kamu?” balik Intan bertanya.
“Aku pengen jadi psykolog.”
“Moivasimu?”
“Ya, tentu panggilan moral.” sahut Irna antusias.
“Bagus itu, aku setuju.” dukung Intan.
“Aku bangga, punya teman sepertimu.” lagi Intan memuji.
“Ehem,.....engkau nggak tahu, bahwa sehabis pencontrengan nanti dimasya- rakat diseluruh tanah air akan banyak ditemukan caleg yang gagal terpilih gentayangan dimana-mana, karena mengalami depresi, stres berat, bahkan ada yang nyaris bunuh diri, termasuk cewek yang gagal,...... bercinta.” lanjutnya senyum.
“Eh, apa hubungannya caleg gagal terpilih dengan cewek yang putus cinta?” protes Intan kesal.
“Sama-sama stres, karena kegagalannya.”
“Jangan begitu dong.”
“Habis, kau akan lihat nanti, dan aku tidak main-main, percayalah.” katanya pasti.
“Terapinya apa?”
“Rahasia perusahaan dong, namun aku janji akan menanganinya dengan serius, agar mantan caleg yang gagal terpilih nanti tidak lagi mengalami stres berat.” “Kau Psykologku yang hebat, itu sebuah angan-angan yang sangat suci dan mulia, semoga terwujud!” puji Intan sambil menatap wajah Irna dengan sumringah.
Kini Intan telah mulai tegar, ia bangkit kembali, dan tidak lagi dirundung nestafa. Ia berupaya untuk belajar melupakan masa lalunya yang kelabu. Baginya hidup ini tidak hanya cinta melulu, akan tetapi hidup ini adalah sebuah perbuatan dan perjuangan.
Senja perlahan merayap menuju malam yang kian mendekat. Diufuk barat matahari jatuh memerahi laut. Sementara adzan dimesjid terdengar mendayu-dayu menandakan bahwa waktu shalat maghrib telah masuk.
Mereka beranjak pergi meninggalkan Anjungan Pantai Losari menuju rumah Intan, dengan berboncengan mengendarai sepeda motor Irna melaju diatas jalan aspal


dibelai remang-remang senja yang kian kelam.(*)


Makassar, 22 Mei 2009

Mingguan Inti Berita, 22 Juni 2009
Harian Radar Bulukumba, 08 Juli 2009

*) bali = balapan liar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar