Selasa, 03 Mei 2011

91. LELAKI DENGAN KOMPUTER TUANYA

Oleh : Hasbullah Said.-


SENJA baru saja berlalu. Malam perlahan-lahan dipagut sepi. Gelapnya malam dengan begitu mudah melumat temaram senja dipuncak kejayaannya. Gerah udara siang bergulir perlahan menjauh, digantikan udara sejuk mengalir dari balik kisi-kisi jendela kamarku yang sempit. Kamar yang berukuran tak lebih dari 3x3 meter.
Kujadikan kamar khusus sebagai ruang baca dan menulis cerpen. Di- dalamnya terdapat satu unit komputer tua yang setia menemaniku.
Dikamar ini, aku membenamkan diri didalamnya, sambil duduk di belakang meja komputerku mengetik cerpen yang sejak dari tadi belum juga terselesaikan olehku. Selalu mengalami delete karena pikiranku tidak terkonsentrasi, kalut dibebani oleh seribu satu macam problema. Dimana komputerku sering ngadat karena telah tua dimakan usia
Belum Jun istriku, yang selalu ngotot padaku meminta untuk mengurangi waktuku menulis cerpen dengan berbagai macam alasan. Bahkan meminta untuk berhenti sama sekali menulis cerpen. Akan tetapi, masih saja jemari tanganku menari-nari diatas keyboard komputerku. Kuacuhkan dia. Aku tak hirau kesahnya padaku. Kuanggap bagai angin lalu.
“Aku mohon kiranya bapak kurangi waktunya menulis, karena aku pikir hanya buang-buang waktu saja.” begitu kata Jun padaku dengan kerut wajah resah.
Aku memilih untuk diam. Tak menanggapi kata-katanya yang sering di lontarkan kepadaku. Jemari tanganku masih saja menari-nari diatas keyboard, tanpa henti. Menulis apa saja yang tersirat dibenakku. Imajinasiku berjalan terus, bagai air sungai dibelakang rumahku mengalir sepanjang hari tak pernah henti.
Menulis adalah duniaku yang tak dapat lagi dipisahkan denganku. Hobi atau kegemaran tak dapat dinilai atau diukur dengan apapun, kendati uang sekalipun.
Walau sesungguhnya, didalam menulis itu punya suka duka datang silih berganti.
. Sukanya, hati ini senang bahagia tak terkira bila tulisanku dimuat dimedia cetak. Dukanya, menulis itu memang menyerap tenaga dan pikiran, belum lagi pengeluaran yang tak seimbang dengan honor menulis yang aku terima. Bahkan ada media cetak dimana tempat tulisanku sering dimuat, tak memberikan apa-apa sama sekali kepadaku sebagai imbalan menulis.
Alasannya sangat sederhana, redaktur surat kabar dimana tulisanku dimuat mengatakan bahwa biaya operasional belum seimbang dengan penerimaan, maka dengan sangat menyesal uang lelah atau honor menulis belum dapat dibayarkan.
Hal tersebut rupanya istriku Jun sempat pula mengetahuinya membuat ia semakin geram bila melihatku lagi menulis.
“Apa yang bapak dapatkan dari menulis itu?” tanya istriku dengan lantunan nada protes, disuatu senja ketika aku sedang duduk mengetik dibelakang meja komputerku.
“Tentu ada juga.” balasku dengan nada datar.
“Ehem,.......kalau biaya penulisan cerpen itu jauh lebih besar dibanding dengan honor atau uang lelah yang bapak terima, maka sebaiknya berhenti sajalah menulis.” katanya sinis lalu ia menatapku lekat sepertinya tak mau mengerti.
“Tapi ada yang lain yang kamu tidak tahu”
“Yang mana?” tanya Jun istriku penasaran. Aku diam. Tak secepatnya aku menyahuti tanyanya. Aku diam membisu, sebisu malam yang kian kelam. Diluar udara malam semakin sejuk menyeruak masuk lewat kisi-kisi jendela kamarku.
“Suatu kesukaan, atau hobi dan didalam menulis itu, tentunya aku mendapat pengalaman banyak serta wawasan yang sangat luas, dan juga menulis itu adalah suatu sprit hidupku.” sahutku perlahan meyakinkannya. Suatu pernyataan yang ia tak bayangkan keluar terlontar dari celah bibirku.
“Hanya itu?” tanyanya lagi dengan mengernyitkan keningnya.
“Masih banyak yang lain.”
“Apa lagi?” Aku diserang dengan brondongan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Sepertinya pelari maraton mengejar keingin tahuannya apa mamfaat sebenarnya yang aku peroleh selama menulis. Karena kalau dikatakan mendapatkan honor atau imbalan dia belum begitu yakin karena hasil dari jerih payahku sebagai penulis belum pernah ia nikmati.
“Populeritas............!” begitu jawabku apa adanya membuat ia tercengang heran.
“Oh, hanya mengejar populertitas lalu dikorbankan segalanya, padahal masih banyak kebutuhan-kebutuhan kita yang lain begitu sangat mendesak. Aku tidak mau mengerti kalau itu yang dijadikan alasan. Lihat saja rumah kita, sudah hampir rubuh, bila hujan tiba kita bermandikan air hujan karena atapnya disana sini sudah mulai bocor. Sudah sekian tahun tidak pernah ada perbaikan atau perubahan sejak bapak pensiun sebagai PNS.
Bayangkan, bila musim hujan tiba, kita sudah menjadi langganan tetap banjir kiriman dari sungai yang meluap dibelakang rumah, air setinggi lutut orang dewasa menggenangi hampir seluruh ruang yang ada dalam rumah kita. Apakah bapak masih menginginkan populeritas dengan pemberitaan dimedia cetak tentang rumah kita yang tergenang air banjir? Ataukah sebaiknya bapak menulis lagi sebuah cerpen dengan judul : ”Ketika Musim Berganti“ bercerita banyak tentang penderitaan yang dialami oleh seorang penulis yang menginginkan populeritas.” katanya lirih dengan wajah memerah menahan emosi hatinya.
Ada butiran-butiran air bening menggelinding perlahan dari pelupuk matanya membasahi pipinya yang cekung. Setangkup rasa kecewa nampak tergores dihatinya menahan kepedihan. Tak tahan rasanya, kristal air mata Jun yang tadinya beku kini meleleh terus diwajahnya yang sedikit menua kendati keayuannya masih nampak tersisa.
Serupa sebuah tamparan keras terasa olehku, seolah meluruhkan jantung hatiku. Aku tak dapat berbuat banyak. Kecuali aku diam mendengar ujarnya. Semoga saja semua ini punya hikmah dibaliknya. Aku tak mau berkomentar banyak, menanggapi kata-katanya, khawatir terjadi perang terbuka dalam rumah tanggaku yang selama ini masih terlihat adem-adem saja.
Hidup ini penuh liku-liku cobaan dan tantangan. Jika kita tidak jeli dan hati-hati dalam meniti kehidupan ini, maka tak mustahil kita bisa terseret oleh derasnya arus kehidupan yang kian hari kian memprihatinkan.
Aku terhipnotis dengan wejangan Jun istriku. Perlahan aku sadar, bahwa aku terlena apa yang aku lakukan selama ini. Aku berjanji akan bangkit dari reruntuhan hidupku yang telanjur ambruk, mencoba untuk membangun kembali rumah tanggaku yang lebih baik dari hari kemarin.
“Aku janji Bu, akan kukurangi waktuku menulis, namun tidak untuk berhenti sama sekali, dengan segala daya dan upaya, aku akan membangun kembali rumah tangga kita yang berantakan.” kataku menenangkan hatinya, disuatu senja yang basah.
Malam merangkak perlahan menggamit larutnya. Tiba-tiba dering telepon dari ruang tengah rumahku terdengar bising memecah keheningan malam. Aku bangkit berlari menuju ruang tengah lalu mengangkatnya.
“Halo, selamat malam.” terdengar suara lelaki dari balik gagang teleponku diseberang sana.
“Selamat malam.” balasku.
“Boleh nggak saya bicara dengan saudara Fakhri Azis?” lanjut suara itu terdengar bertanya dari seberang sana.
“Kebetulan saya sendiri, ini dari mana Pak?” tanyaku.
“Saya Subroto Sugianto, pimpinan salah satu perusahaan yang bergerak dibidang penerbitan buku dikota ini, ingin berkerja sama dengan saudara.” begitu sahutnya memperkenalkan dirinya.
“Maksud bapak?” tanyaku sambil mengernyitkan keningku karena kurang mengerti.
Sesaat lelaki itu berhenti bicara, seolah dia berpikir sejenak, lalu menghela nafas panjang. Kemudian dia lanjutkan lagi pembicaraannya padaku.
“Begini, saudara Fakhri, setelah kami mencermati dari hasil karya tulis saudara yang sering dimuat diberbagai media cetak dikota ini, maupun yang dimuat dikota-kota lainnya, maksudnya, beberapa buah tulisan berupa cerpen yang saudara tulis, rupanya sangat menarik perhatian dari publik pembacanya. Dimana saudara begitu apik dan sangat cermat mengangkat tema tentang korupsi yang dilakukan oleh pejabat tertentu dikalangan instansi pemerintah dan swasta ditanah air Indonesia yang sama kita cintai.
Ini adalah suatu upaya saudara untuk membantu pemerintah didalam melakukan pemberantasan korupsi hingga tuntas sampai keakar-akarnya. Walau publik pembacanya pada semua tahu bahwa apa yang saudara tulis itu hanyalah sebuah karya fiksi belaka, namun banyak pembaca yang menyukainya karena kini sedang hangat-hangatnya diperdebatkan lewat media cetak dan elektronik tentang korupsi atau semacamnya.
Maka kami dari penerbit, mengambil suatu keputusan, menawarkan kepada saudara mencoba bekerja sama untuk menerbitkan semua karya tulis saudara dalam bentuk sebuah buku kumpulan cerpen.
Kerjasama yang akan kami lakukan itu, kami akan tuangkan dalam MOU kontrak kerja bagi hasil atau semacam royalti yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Apakah saudara Fakhri setuju dengan rencana mulia kami?” tanya lelaki pimpinan perusahaan itu dengan lantunan nada serius.
“Ya, tentu,.......tentu kami sangat setuju Pak.” sahutku spontanitas menjawab pertanyaannya dengan nada penuh kesungguhan.
“Oke, baik! Kalau begitu, kami tunggu kehadiran saudara paling lambat besok pagi dikantor kami, untuk menanda tangani kontrak kerja sama dengan membawa serta disket atau plash-disc yang memuat semua tulisan saudara.”
“Insya Allah Pak.”
“Terima kasih, selamat malam.” begitu balasnya menutup pembicaraannya.
Malam perlahan bergulir ketitik larutnya, namun rasa ngantuk menjauh enggan
datang menyergapku. Mungkin karena rasa gembira yang menyelimuti hatiku setelah
mendengar perbincangan itu, membuat aku tak dapat tertidur hingga pagi harinya.
“Bu, apakah kamu dengar perbincangan kami tadi malam dengan seseorang
melalui telepon?” tanyaku pada Jun istriku, ketika keesokan paginya ia menyajikan diatas meja secangkir kopi hangat untukku.
“Semua itu aku dengar Pak, semoga saja dapat terealisir dalam waktu dekat.” ujarnya sambil melempar senyum sumringah kepadaku, kemudian beranjak keruang dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.
“Semogalah............ Bu!, mari kita berdoa, mudah-mudahan saja dapat terealisir dalam waktu yang tidak terlalu lama.” sahutku dengan nada riang sembari
menikmati kopi hangat yang tersaji diatas meja tamu.
Sesekali kuisap rokok kretek yang terselip lurus dibibirku, melahirkan kepulan asap membubung keatas memenuhi hampir seluruh ruang tamu rumahku yang tak seberapa luasnya.
“Terima kasih ya, Tuhan.....!”desisku perlahan sambil kuberanjak pergi menuju kantor penerbit buku yang akan menerbitkan karya tulisku.
Beberapa bulan sesudahnya, aku menerima surat panggilan dari Pak Broto selaku pemimpin perusahaan penerbitan yang mengharapkan kehadiranku di- kantornya, untuk menerima royalti dari hasil karya tulisku yang telah berhasil diterbitkan sesuai dengan kesepakatan kami beberapa waktu lalu.
“Terima kasih banyak atas kerja samanya yang baik sehingga proses penerbitan buku kumpulan cerpen saudara berjalan dengan lancar.” kata Pak Broto sambil menyerahkan kepadaku selembar cek senilai jutaan rupiah. Aku menerimanya dengan rasa haru yang membuncah didada.
“Sama-sama Pak. Saya juga berterima kasih atas segala bantuan Pak Broto.” ucapku sambil menyalaminya, kemudian aku beranjak pergi kembali kerumah dengan senyum bahagia tersungging dibibirku.
Sementara Jun istriku telah lama menungguku didepan pintu masuk rumah dengan melempar senyum sumringah kepadaku setelah aku tiba.(*)


Makassar, 14 Januari 2010

Mingguan Inti Berita, 28 Pebruari 2010
Harian Radar Bulukumba, 10 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar