Selasa, 03 Mei 2011

92. JEJARING FACEBOOK DENGAN KEPALSUAN CINTANYA

Oleh : Hasbullah Said.-


BADANKU kian hari semakin kurus. Drastis sekali menyusut. Wajahku pucat pasih. Lemas dan pegal-pegal terasa disekujur tubuhku. Sepertinya kedua belahan kakiku tak mampu lagi untuk menopang tubuhku bila aku berjalan atau berdiri lama.
Orang yang melihatku begitu merasa sangat sedih dan kasihan padaku. “Kasihan,......!” begitu bisik-bisik dari mulut bagi siapa saja yang melihatku kendati enggan memperdengarkan kepadaku, karena mereka khawatir aku akan merasa tersinggung. Aku hanya bersabar, bertawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan tabah menerima cobaan ini.
Aku mengayunkan langkah, dengan perlahan sekali dikeremangan senja yang mulai mengelam menapaki jalan bebatuan menuju rumah Eki Syarif, karibku, teman sekolahku dulu sejak dari SD hingga tamat di SMA. Dia baru saja tiba dari Ternate, setelah sekian lama pisah dengannya, kini baru aku akan bertemu kembali.
Dia sudah lama pindah kesana bersama istri dan anak-anaknya mengikuti kakak kandungnya yang bekerja sebagai kontraktor bangunan di Ternate Maluku Utara. Kakaknya seorang kontraktor bangunan yang cukup berhasil dan sukses di- perantauan, karena rajin, ulet dan tekun. Lima tahun, atau mungkin lebih lama dari itu Eki baru mudik kesini kekampung halamannya tempat dimana ia dilahirkan.
Untungnya, karena rumah tempat tinggal Eki tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga aku tiba dirumahnya tidak dengan terlalu merasa begitu kecapeian.
Kerinduan datang menyergapku begitu menggebu-gebu ingin segera bertemu dengannya, karena sudah sekian lama kami pisah dan aku tak sabaran lagi ingin mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama merantau di negerinya orang. Juga kami akan bercerita tentang nostalgia lama diatas jembatan tua tak jauh dari rumah tempat tinggal kami yang kini sudah berobah bentuk menjadi jembatan kembar.
Kedatangannya itu kuketahui setelah kemarin sore baru ia menyampaikan padaku melalui HP-nya mengatakan bahwa ia bersama keluarganya akan datang hari ini. Sebagai pelepas rasa kangen padanya, maka pada keesokan malamnya aku ajak dia kerumahku bersama istri dan anak-anaknya untuk bersantap malam bersama kami.
***
Belakangan baru tahu, kalau aku tengah diserang penyakit Diabetes Malittus (D.M) setelah aku memeriksakan diri pada dokter Puskesmas. Biasa orang menyebut nya penyakit gula atau kencing manis, datang menyerangku tanpa kompromi, membuat aku sangat menderita dan tersiksa.
Padahal, aku adalah manusia yang paling tidak senang atau tidak suka makanan yang beraroma manis-manis. Memang, diusia mendekati paruh baya, penyakit perlahan datang satu-persatu menggerogoti tiap manusia bila pertahanan tubuh seseorang kurang stabil. Terlebih penyakit diabetes mudah menyerang manakala gerak tubuh sudah sangat terbatas atau malas berolah raga pada usia tertentu.
Hampir semua obat telah kukomsumsi untuk menyembuhkan penyakit yang kuderita, namun tak satupun yang mempan, kadang hilang atau sembuh sesaat, kemudian sesudahnya kembali kambuh. Hampir saja aku berputus asa dibuatnya. Namun tetap aku berupaya atau berikhtiar dengan segala macam cara disertai doa agar penyakitku cepat sembuh. Memang, Tuhan Maha Sutradara, Adil dan Maha Pengasih lagi Penyayang. Rupanya doaku dikabulkan oleh-Nya.
Melalui kawan karibku Eki, memberiku obat tradisional yang dia bawa serta dari Ternate, cukup ampuh membuat penyakitku berangsur-angsur sembuh. Katanya, penyakit serupa telah pernah pula diderita oleh bundanya di Ternate, dengan melalui obat itu, Alhamdulillah bundanya telah sembuh total dari sakitnya. Berkat doa disertai upaya, akhirnya penyakit yang kuderita juga telah sembuh total sama seperti bundanya Eki. Aku segera menelponnya.
“Halo, Eki,..........Assalamu alaikum?” kataku membuka salam.
“Waalaikum mussalam, eh,......Diash,... apa kabar?” balasnya dengan nada riang.
“Baik-baik saja.”
“Alhamdulillah penyakitku kini sudah pulih kembali seperti semula, bahkan sekarang lebih sehat lagi. Terima kasih banyak atas bantuan anda.” ucapku lewat HP-nya disuatu senja ketika ia sudah berada kembali di Ternate.
“Sama-sama, apalagi yang harus saya bantukan sebagai seorang sahabat. Itu hanya tak seberapa” balasnya merendah.
“Tapi itu sangat berarti bagiku, karena kesehatan itu adalah diatas segala-galanya, tak dapat dinilai dengan apapun.”
“Semoga Tuhan membalas kebaikan hati anda. Maaf, kali lain kita bicara lebih lama karena aku keburu mau keluar dengan suatu urusan yang sangat penting.” kataku lagi sambil mengakhiri pembicaraanku dengannya.
***
Usiaku sekarang sudah empat puluh tahun lebih. Hampir mendekati usia lima puluh tahun atau biasa disebut paruh baya. Kendati demikian, semangat hidupku masih sangat tinggi untuk berbuat sesuatu. Berbuat dengan sebuah panggilan moral.
Kegemaran atau hobi utama yang tak dapat dipisahkan lagi denganku adalah membaca dan menulis. Menulis apa saja yang kuinginkan, berimajinasi atau berangan-angan untuk mencapai sesuatu, kendati semua itu kini belum juga terwujud.
Eki juga seorang yang punya hobi menulis. Dia cerpenis yang telah malang melintang didunia kepenulisan. Tulisannya telah banyak dimuat diberbagai media cetak lokal maupun nasional. Aku banyak mendapat bimbingan darinya dan dia adalah guruku, tempatku bertanya bila aku menempuh kesulitan didalam menulis cerpen.
Diusia sepertiku, orang menilai bahwa aku tidak produktif lagi secara maksimal berbuat sesuatu untuk menulis. Akan tetapi setelah aku sembuh total dari sakitku, aku semakin bergairah untuk menulis apa saja kuinginkan seperti cerpen, puisi, dan artikel, bahkan skenario film sinetron juga telah pernah aku coba tulis kerjasama dengan Eki.
Aku dan Eki tinggal bertetangga tak jauh dari jembatan kembar depan pintu masuk kota Sungguminasa. Dulu sebelum ia pindah ke Ternate, belum dibangun jembatan kembar itu, masih jembatan tua yang tunggal. Aku bersama dia sering main disini, kala senja basah telah turun dengan suasana sejuk, diiringi dengan alunan gemercik air sungai Jeneberang yang mengalir tanpa henti. Masa kanak-kanak kulewati bersamanya dengan penuh keceriaan. Sumringah selalu, menggemaskan.
Eki adalah teman karib yang sangat menyenangkan bagiku. Kenangan lama bersama Eki kadang muncul kembali dibenakku bila aku lewat diatas jembatan ini................
Orang menyebutnya jembatan kembar, karena diatas sungai Jeneberang telah dibangun dua buah jembatan berjejer sangat santun, bentuknya persis sama bagai saudara kembar yang sangat sulit dibedakan. Pembangunan jembatan kembar ini adalah upaya kerja keras dari Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa, bekerja sama dengan Pemerintah Pusat, tujuannya untuk menghindari kemacaten arus lalu lintas yang sering numpuk di pintu gerbang kota tepatnya persis di mulut jembatan tua ini.
***
Di atas jembatan ini, menyimpan banyak kenangan lama bagiku bersama Eki............!
Diatas dunia ini, memang tiada yang kekal dan abadi, bagai roda pedati yang berputar sesudah keatas kebawah lagi. Silih berganti. Diusia paruh baya jelang usia senja, maka penyakit diabetes yang menyerangkau kini kambuh lagi. Penyakit diabetes adalah penyakit abadi, penyakit yang tak akan kunjung sembuh-sembuh. Kecuali, mendapat mukjizat dari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Penderitaan yang amat sangat tiada taranya, sepertinya aku tak mampu lagi untuk bertahan hidup lama. Luka dibawah telapak kakiku bekas irisan pecah beling disaat aku buang sampah disamping rumahku, tak akan pernah sembuh-sembuh lagi. Bahkan semakin hari semakin parah. Sudah terlanjur parah. Mengakibatkan telah terjadi pembusukan disana. Terinfeksi. Digerogoti semacam virus atau bakteri yang amat jahat, menebarkan bau yang tak sedap.
Dokter ahli yang menangani penyakitku menyarankan padaku agar segera di lakukan amputasi demi untuk menyelamatkan jiwaku dari serangan virus yang mematikan. Ampun Ya, Tuhan............... aku berteriak histeris setelah mendengar sarannya. Peluh dingin seketika mengucur membasahi sekujur tubuhku, menyatu dengan baju yang kukenakan. Langit serasa runtuh menimpa diatas kepalaku.
Aku mohon pada Eki sahabatku,...................agar tulisan ini dapat dilanjutkan kembali dan diedit yang benar dengan akhir kisah yang segar membahagiakan, happy ending, lucu dan menyenangkan bagi para pembacanya. Jangan tulis yang sedih haru, agar ke pergianku tenang dan tidak bersedih hati disana, karena aku menulisnya hanya separuhnya, tak mampu lagi untuk melanjutkannya. Kutulis itu, anggaplah sebagai surat wasiat dariku.
Kuselipkan itu dibawah bantal tempat tidurku, agar suster yang merawatku mudah menemukannya, dan wasiat ini segera dia menyampaikan kepadamu bila aku telah pergi jauh,...............Dan tolong sampaikan permohanan maafku yang tertunda pada Metasari Hapsarini, gadis cantik penggemar atau fans beratku dari Ternate yang telah memberiku harapan cinta, dan kerinduan................
Telah kuperdaya dirinya selama ini, melalui jejaring facebookku di internet. Kupikat dirinya dengan rayuan manis, dan gombalan yang aduhai semu kamuflase dipadang fatamorgana hingga dia terjatuh dalam perangkap dustaku. Kukatakan padanya, bahwa aku adalah seorang remaja tanggung yang berusia 25 tahun, dan menguatkan keyakinannya ketika melihat foto diriku saat aku masih remaja, terpajang tampan di jejaring facebook-ku. Ini adalah sebuah kepalsuan cinta yang telah kuberikan padanya.
Aku adalah cerpenis sama seperti Eki. Begitu banyak tulisanku telah dimuat diberbagai media cetak, serta bloger dan facebook. Menurut pengakuan Meta, ia sangat menyukai tulisanku yang sering ia baca lewat facebook milikku. Sesudahnya, kami keseringan dan telah ketagihan berkomunikasi lewat jejaring facebook, hanya sesekali ia menelponku lewat Hp-nya. Akhirnya, dia menempatkan dirinya disudut relung hatiku yang paling dalam, menyatakan cintanya padaku dengan penuh ketulusan hati yang suci,.............
Ada air bening menggelinding perlahan dari pelupuk mataku membasahi wajahku yang cekung...........terasa sangat perih disana.
Kini aku sedang berada di rumah sakit Dr.Wahidin Sudiro Husodo Makassar, terbaring lemas diatas tempat tidurku dengan sepenggal kaki berbalut kain perban yang serba putih. Dan dengan helaan nafas berat tersengal-sengal di tenggorokanku menantang sakratil maut datang menghadangku. Mungkin ini adalah penantian akhir dari sebuah perjalananku yang panjang kekal abadi.
Sahabat, inilah episode penutup dari rangkaian kisah lalu kita yang lucu penuh keluguan, kepolosan sebagai anak kampung yang sering main diatas jembatan tua itu, yang kini telah berobah wajah menjadi jembatan kembar. Layaknya kita berdua bagai saudara kembar memiliki wajah dan krakter yang hampir mirif. Doamu kutunggu selalu.
Akhirnya sahabat, aku mohon pamit. Aku telah tiba dibatas usiaku, jalan yang panjang telah terbentang dihadapanku. Jalan menuju keabadian. Tetaplah berkarya, sahabat!.Biar dari alam sana aku akan mengamati tulisan-tulisanmu. Salam imajinasi dari sahabatmu, Diash.(*)

Makassar, 05 Pebruari 2010

Mingguan Inti Berita, 21 Maret 2010
Harian Radar Bulukumba, 06 Mei 2010
Harian Kendari Pos, 29 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar