Selasa, 03 Mei 2011

93. CATATAN NOSTALGIA DI SMP

Oleh : Hasbullah Said.-


AKU tahu, sejak dulu kau suka sekali membaca. Apa saja. Novel, roman, puisi atau cerpen, semua kau gemari. Kau baca hingga kadang sampai lupa waktu. Karena itu aku yakin, tulisan inipun tidak akan luput darimu. Kau akan me-nemukannya. Membacanya. Atau paling tidak ada seorang temanmu yang kebetulan melihatnya dan mau berbaik hati memberikannya padamu.
Aku memang bukanlah seorang pengarang. Atau pujangga yang mahir mempermainkan kata-kata indah. Namun aku punya sedikit bakat dalam menulis. Setidaknya itu yang pernah kau katakan, dulu, saat kita masih duduk di bangku SMP. Buktinya, aku pernah berhasil keluar sebagai juara pertama lomba menulis cerpen antar SMP se-Kabupaten.
Sepuluh tahun lamanya kutinggalkan desa ini. Desa kita. Desa dimana kau dan aku melewati masa kanak-kanak yang penuh sumringah. Aku pergi ke kota untuk menuntut ilmu, mencari masa depan.
Ya, sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan entah mengapa ke-pulanganku ini seperti memaksaku untuk menulis. Aku sendiri tak tahu apa namanya. Sebuah laporan, reportase perjalanan ataukah sebuah catatan nostalgia di SMP. Entah. Yang jelas, gambar-gambar masa silam itu muncul satu-satu dalam benakku. Seperti hikayat lama yang lahir dipermukaan setelah sekian lama tertimbun debu waktu.
Suatu kesyukuran, karena tugas baktiku sebagai seorang prajurit dimutasikan disebuah kota yang jaraknya tak jauh dari desa kita. Berarti aku balik kandang setelah bertahun-tahun lamanya bertugas dinegeri orang. Berpindah dari satu kota ke- kota lainnya. Bahkan sampai ke pelosok desa yang terpencil jauh. Karena itu kugunakan kesempatan berkunjung ke desa kita. Sekalian mensiarahi kuburan kedua orang tuaku yang sudah lama meninggal.
Dan kenangan lamapun datang bertubi-tubi dalam ingatanku, ketika menyinggahi gedung sekolah SMP Negeri 1, tempat kita pernah menimbah ilmu. Banyak yang sudah berobah termakan waktu. Tapi dua, tiga pohon mahoni yang tumbuh di belakang dekat kebun sekolah masih berdiri kokoh, angkuh menantang langit.
Tak ada siapa-siapa disana, karena kebetulan sekolah sedang libur. Yang ada hanya bujang atau penjaga sekolah yang datang menghampiriku. Aku segera memperkenalkan diri, mengatakan bahwa aku pernah sekolah disini dan sempat tamat beberapa tahun silam.
Dari raut wajah lelaki paruh baya itu kulihat sangat senang dan rasa bahagia, karena mungkin baru pertama kalinya di kunjungi oleh seorang perwira militer tamatan dari sekolah itu. Sekiranya bukan liburan sekolah, tentu guru-guru kita dulu yang masih aktif mengajar merasa bangga dan bahagia melihat anak didiknya berhasil.
Kudekati pohon mahoni yang banyak menyimpan kenangan. Disitu kutemukan masih nampak bekas tanganmu yang jahil di batang pohon mahoni itu, bekas kerukan benda tajam dari serpihan beling tertulis : Surya dan Erni, sekalipun tulisan itu hampir pupus nyaris tak terbaca akibat ditelan usia panjang seiring pertumbuhan cambiun mahoni yang kian membesar.
Memoriku semakin tajam mengingat-ingat beberapa peristiwa silam kita. Saling bercanda di kantin sekolah, membaca bersama di perpustakaan, bertutur kata dibawah pohon mahoni sambil menikmasti alunan irama nada cinta yang polos lugu, serta banyak lagi moment-moment indah yang sulit lekang dari dinding memoriku.
“Sur, selesai SMP nanti kau mau lanjut kemana?” tanyamu suatu siang di- bawah kerindangan pohon mahoni, saat jam istirahat pertama berlangsung. Sehelai daun menguning luruh diatas rambutmu kau raih dan mempermainkan ditangan.
“Aku mau ke SMU.” jawabku pendek.
“Setelah itu?”
“Masuk AKABRI, itu cita-citaku sejak kecil.” jawabku lagi.
“Kamu sendiri?”
“Kalau aku mau lanjut ke sekolah Perawat.” jawabmu.
“O, ya?”
“He-eh.”
“Apa motovasimu?”
“Aku ingin menjadi perawat yang baik, yang mengabdi untuk kemanusiaan!” katamu mantap. Sebuah jawaban yang sederhana tapi jujur, polos.
Aku mengangguk-angguk. Dalam benakku saat itu terbayang kamu dalam seragam kebesaran seorang perawat. Putih-Putih. Manis sekali.
Belum usai lamunanku tentang dirimu, bel masuk sudah berdenting, memanggil siswa untuk segera masuk keruangan masing-masing guna mengikuti pelajaran selanjutnya.
Masih dalam bayang-bayang ingatan masa lalu, masa kanak-kanak yang penuh keceriaan nan lucu menggemaskan. Mandi bersama dipancuran dibawah kaki bukit. Disitu ada air mengalir dari atas bukit tak henti-hentinya sepanjang masa. Warnanya bening, sebening pancaran matamu yang lahir dari lubuk hatimu yang polos.
Sepulang dari SD kita sama-sama belajar ngaji disurau beserta teman-teman lainnya. Pernah kau distraf oleh guru ngaji kita, gara-gara kau tidak membawa serta mukena perlengkapan shalat ke surau tempat kita belajar ngaji. Alasanmu sedang dicuci dan belum sempat kering dijemuran.
Waktu itu kau disuruh duduk sendirian dishaf paling belakang, tidak ikut shalat Ashar berjemaah, menunggu teman usai agar kau dapat pinjam mukenanya lalu kau shalat sendirian. Bukan itu saja, guru ngaji kita juga menambah hukumanmu dengan mengisi air dua buah gentongan besar hingga penuh, yang kebetulan lagi kosong untuk dipakai berwudhu. Tak ayal lagi kau kecapaian hingga nafasmu memburu, kasihan sekali. Aku ingin menolongmu. Tapi guru ngaji kita melarang. Sempat kulihat matamu sembab menahan kepedihan hatimu yang kau pendam.
Setelah itu, kamu tak pernah lagi lalai membawa perlengkapan shalat ke surau karena takut dan kapok terkena hukuman yang kedua kalinya.
Pernah, disuatu siang sepulang sekolah, hujan turun dengan begitu derasnya, karena tidak membawa payung, satu-satunya alternatif guna selamat dari kebasahan, adalah kita mengambil daun pisang dikebun belakang sekolah. Sialnya, dalam perjalanan pulang, tiba-tiba datang angin kencang, menerjang dan mengoyak-ngoyak daun pisang kita. Akibatnya, kita sampai dirumah dengan tubuh basah kuyup. Keesokan harinya kau jatuh sakit dan tidak masuk sekolah. Seminggu lamanya kau baru sembuh dari sakitmu. Aku senang sekali. Aku tak lagi kesepian karena kamu telah ada kembali disekolah.
Waktu berganti. Tanpa terasa ujian akhir SMP usai sudah. Kita berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Bahkan sangat memuaskan. Usaha dan kerja keras kita dalam belajar ternyata tidak sia-sia.
Perpisahan sekolah ditetapkan disuatu tempat perbukitan yang ramai dikunjungi orang karena udaranya sejuk. Jaraknya kurang lebih 10 Km dari sekolah kita. Kau mngendarai sepeda mini warna biru yang baru saja diberikan oleh ayahmu sebagai hadiah karena kau lulus dengan nilai memuaskan.
Sepulang dari acara perpisahan kita berombongan naik sepeda menapaki jalan yang berliku-liku. Dan ketika tiba dipenurunan dekat tikungan tajam itu, sepeda yang kau kendarai ban depannya slip terpleset dan kau jatuh terpental diatas bebatuan. Jidatmu mencium kerikil. Luka. Darah segar mengucur dari sana hingga membasahi bajumu. Teman-teman kita pada panik melihatmu. Tak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menolongmu. Detik itu, aku teringat ibuku. Jari tangannnya pernah tersayat pisau dapur. Dia lalu mengambil kulit kayu cina, lalu memeras airnya. Kemudian meneteskan diatas lukanya. Ajaib, seketika darahnya berhenti mengucur.
Ulah serupa kulakukan sebagai upaya pertolongan pertama padamu. Kulit kayu cina tak sulit diperoleh karena banyak tumbuh disepanjang jalan pedesaan. Rupanya suatu upaya pertolongan pertama yang cukup berhasil kulakukan. Akhirnya kita berboncengan pulang kerumah untuk selanjutnya ke Puskesmas, mengobati lukamu.
“Terima kasih, Sur,” katamu senyum sambil menatapku.
Aku cuma mengusap rambutmu, lembut dan sayang.
***
Di terminal kecil dan tua itu, kita berkemas untuk berangkat ke kota. Kau berencana lanjut kesekolah Perawat, sesuai cita-citamu yang kau impikan selalu, dan aku lanjut ke SMU, juga sesuai keinginanku sejak dulu.
Sayangnya, sekolah yang kita tuju tidak berada dalam satu kota. Jaraknya berjauhan. Dan itu tentu saja memisahkan kita. Sedih nian rasa hati ini.
Pagi itu, kulihat kau tampak dewasa sekali, feminim. Kau mengenakan jilbab putih membungkus rambutmu yang hitam mengkilap. Aku sangat senang melihatmu karena kau telah laksanakan dengan konsekwen salah satu syariat Islam yaitu agama yang sama kita anut. Aku yakin, kau mengenakan jilbab bukan karena ikut-ikutan mode yang trend. Akan tetapi atas kesadaranmu sendiri. Lahir dari dalam hatimu yang tulus.
Detik-detik perpisahan itu telah tiba. Tampak jelas begitu berat melepasku pergi. Kau pegang erat-erat tanganku dengan telaga mata yang membasah. Sesaat kemudian dari dalam tas sandangmu, kau keluarkan sehelai selendang sutera warna merah jambu. Warna yang sangat kau sukai. Warna favoritmu.
“Jadikanlah ini sebagai kenangan abadi dariku. Temanmu dikala sepi datang.” katamu sendu sambil mengalungkan selendang pemberianmu itu di leherku.
Kupandang wajahmu lekat-lekat. Kuremas jemarimu dengan hati yang membuncah haru. Pelupuk mataku mulai memanas.
“Sur, aku akan selalu merindukanmu.”
Sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak ikut menangis.
“Jangan lupakan aku ya, Sur,...............!”
Sekarang aku tak kuat lagi. Air mataku jatuh sudah. Terseret kepedihan hatimu yang membunca didada. Dan itu adalah untuk yang pertama kalinya aku menangis dihadapanmu.
***
Aku memang tak pernah melupakanmu. Aku masih selalu mengingatmu. Tapi kesibukan demi kesibukan sebagai seorang militer, yang kemudian menjejali hari-hariku sedikit demi-sedikit berhasil menepikan dirimu dari kumparan memoriku. Suratmu mengalir terus padaku, namun surat-suratmu itu jarang kubalas.
Dan ketika itu, aku mulai ditugaskan dari satu kota ke kota lainnya sebagai seorang perwira militer, dan kau sudah lama selesai di sekolah Perawat, maka sempurna sudahlah jarak yang memisahkan kita. Kau tak tahu kabarku, dan aku sendiri pula tak tahu rimbamu.
Entah, dimana kau kini, aku tak tahu. Tapi aku yakin, dimanapun kakimu berpijak saat ini, kau pasti sudah menjadi seorang perawat di sebuah Rumah Sakit.
Ya, perawat yang baik, yang mengabdi untuk kemanusiaan. Seperti katamu dulu,................(*)

Makassar, 19 Pebruari 2010

Mingguan Inti Berita, 02 Mei 2010
Harian Radar Bulukumba, 20 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar