Selasa, 03 Mei 2011

95. SEBUAH PENYESALAN

Oleh : Hasbullah Said.-


MALAM telah jauh merangkak perlahan ketitik larutnya. Suasana malam teramat sepi. Hening. Yang terdengar hanyalah dengkur insan-insani yang tengah tertidur lelap disekitarnya, meriuhi keheningan malam yang mencekam. Hanya sendirinya yang terjaga dirumah itu. Menggeliat kekiri dan kekanan, gelisah resah diatas pembaringannya. Baru kali ini lelaki itu mengalami kesulitan tertidur. Berat sungguh rasanya untuk memicingkan matanya sejenak nianpun.
Dianggapnya ini adalah sebuah siksaan pada dirinya. Siksa lahir bathin yang teramat parah. Seolah dirinya teraniaya oleh seekor binatang buas yang datang mengoyak-ngoyak relung hatinya. Begitu pedih perih terasa. Kendati disana tak ada darah yang menetes. Yang ada hanyalah tangis penyesalan terdengar berbaur bersama suara dengkur insan di sekitarnya yang tengah tertidur pulas.
“Akh, aku terlanjur mencintamu Linda,...........aku menyesal,..........menyesal sekali.” desis lelaki itu terdengar dari celah bibirnya meriuhi keheningan malam. Segala upaya telah dilakukan untuk melupakan semua masa lalunya bersama Linda yang telah lama tertimbun debu waktu. Namun masih saja menari-nari dibenaknya yang tak kunjung enyah dari ingatannya.
Entah, tak ingat lagi sejak kapan awal dia mengenal Linda. Yang dia ingat hanyalah sebatas teman kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kota ini. Teman kelompok studinya. Pergi pulang kuliah biasa bareng berboncengan dengan sepeda motor miliknya. Bahkan satu posko KKN bersamanya di sebuah desa yang jauh terpencil. Akhirnya tak lama kemudian perempuan itu menempatkan dirinya dalam relung hati Irfan, demikian nama lelaki itu. Lebur bersama dalam harapan cinta dan kerinduan.................Sejak itu, ia semakin dekat dengannya. Kemana ia pergi, disitu Linda pasti ada.
Senda sendu mengiringi ayunan langkahnya, serta suara seretan sandalnya me
lahirkan nada-nada kusut bercampur aduk, dendamnya seolah menyala tersembur dari balik rongga dadanya. Begitu dia mengayunkan langkahnya disenja itu, dengan sangat perlahan memasuki pekarangan rumah Linda yang begitu luas lagi asri. Dan sesaat kemudian mereka telah duduk diatas sebuah bangku-bangku kayu dibawah rindangnya sebuah pohon kayu tumbuh didepan rumahnya.
“Linda,.........tahukah kamu akan kehadiranku kali ini? Bahwa kedatanganku ini hanya untuk meminta pertanggung jawaban darimu. Ada yang kurang beres kudengar antara kita berdua. Dan adakah benar berita ini Linda?” tanya lelaki itu dengan nada lirih.
Mendengar ucapnya, Linda diam termangu. Diam kayak arca Ken Dedes permaisuri Kerajaan Tumapel Sri Tunggul Ametung. Tapi dia bukan arca. Karena tangannya nampak bergerak menggamit sehelai dedaunan kering lalu dipermainkan oleh jemarinya yang lentik. Diluar dugaannya sama sekali, bila Irfan begitu cepat mendengar berita itu.
“Bicaralah dengan sejujurnya Linda..................!” desak Irfan.
Linda tetap diam sembari mempermainan dedaunan kering itu lalu dikutil-kutilnya dan dilemparkannya diatas rerumputan hijau. Dan dengan perlahan Linda me-ngangkat wajahnya dan menatap wajah Irfan dengan lekat lalu ia berujar.
“Betul Ir,.......ini mungkin adalah akhir dari kisah cinta kita. Kisah buram yang datang melanda, dan mengoyak tali kasih yang kita rajut bersama selama ini. Itu kuketahui ketika aku memasuki kamar tidur ayahku, tanpa sengaja retinaku membentur setumpuk kertas undangan tergeletak diam diatas meja tulisnya.
Setelah kubaca, sebuah nama bertuliskan Linda Said Sujai sejajar kebawah Akhmad Kasim Sujai, seorang lelaki yang tak lain adalah saudara sepupuku sendiri yaitu keponakan anak saudara ayahku.” begitu nada lirih terdengar keluar perlahan dibalik celah bibirnya yang mungil.
Setelah ia baca, surat undangan itu luruh tepat diatas ujung-ujung kakinya. Serasa langit-langit rumahnya runtuh menimpa diatas kepalanya. Dengan langkah tertatih-tatih Linda keluar dari kamar ayahnya menuju kamar tidurnya lalu membenamkan diri di dalamnya.
“Tapi kenapa engkau tidak berkata jujur kepada kedua orang tuamu mengatakan bahwa aku telah punya pacar bernama Irfan?” tanya Irfan dengan suara serak terta-
han di tenggorokannya.
“Sekalipun aku tak mengatakannya demikian, kedua orang tuaku telah lama mengetahui tentang hubungan kita berdua.” jawab Linda dengan suara serak bergelombang. Bagai gelombang laut disana. Sesaat ia merunduk kearah bawah tanah, kemudian ujung-ujung kakinya dicakarkannya diatas tanah membetuk sebuah huruf-huruf yang tak dapat dimaknai.
Dilihatnya daun-daun kering yang telah dipotong-potongnya tadi berserakan
diatas rumput hijau. Begitu pula hatinya serasa hancur berserakan. Hancur bagai kepulan debu kota berhamburan terbawa angin lalu kala musim kemarau tiba saat mobil lewat. Kini tak ada suara yang menodai kebekuan sesaat. Hanya kesiur angin lalu terdengar menerpa diatas pucuk pepohonan, bergoyang lunglai mengugurkan dedaunan yang telah kering berhamburan disekitar mereka.
“Aku mengerti Linda,.......karena ketiadanku tak berpunya, membuat cintaku kau tolak membiarkan hancur berkeping-keping terhempas dan terkandas. Biarlah aku dengan kesendirianku berteman kisah buram bagiku.”
“Akh,.... .......tak perlu engkau ungkap seperti itu Ir,!”
“Kau harus ngerti Ir, bahwa aku adalah seorang insan lemah yang tak punya daya apa-apa.” katanya dengan nada lirih. Sesaat nampak butiran-butiran air bening jatuh perlahan menggelinding membasahi wajahnya yang kuning langsat. Matanya sembab dan kuyu. Kuyu seperti mata pengemis yang menggigil kedinginan tanpa baju, bernaung dibawah kolom jembatan. Kiranya dia seorang kasta Varia yang di- hina di negeri India, dimaki dan digebuk batu oleh kelas masyarakat yang lebih tinggi derajatnya.
Oh, kiranya lelaki itu tak ingin diperlakukan seperti itu. Semua manusia sama
di hadapan Tuhan seru sekalian alam. Yang membedakannya hanyalah keimanan -
manusia atau ketaqwaan seseorang, itulah yang paling mulia disisi-Nya.
“Kau menangis Linda,..........tak usah kau menangis, yang seharusnya akulah yang menangis, karena aku menerima sejuta kesialan. Aku kecewa dan menyesal, ............... karena aku telanjur mencintaimu.
Sekiranya dari dulu kau katakan bahwa hubungan cinta kita tidak begitu direstui oleh kedua orang tuamu, mungkin disaat itu juga, aku telah undur diri.
“Kuharap kau sadar, dan yakin,................ bahwa kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya setelah engkau bersama pilihan orang tuamu itu, kendati bukan aku disampingmu, perlahan-lahan engkau akan melupakanku, percayalah,.................!
Usaplah air matamu itu. Tak usah engkau terlalu bersedih. Yang aku pikirkan bagaimana nantinya perasaan kedua orang tuamu bila sekiranya engkau menolak harapannya itu. Takutnya, nanti engkau jadi anak yang kualat. Anak yang berdosa terhadap kedua orang tuanya.”
Kepedihan hati Linda terasa kian memuncak, isak tangis terdengar meledak membucah didada. Sesaat ia bergeser, kemudian ia menghempaskan dirinya diatas pengkuan Irfan sambil terisak dalam kepedihan hatinya. Untung karena saat itu kedua orang tuanya sedang keluar rumah dengan sesuatu urusan penting. Dia hanya ditemani oleh adik perempuannya bernama Hafsah yang masih duduk dibangku kelas dua SMP, bersama seorang pembantu rumah tangganya, sehingga rumah itu nampak kelihatan sepi hening.
“Ir, maafkanlah aku,.........! Aku telah berupaya dengan berbagai cara untuk menggagalkan niat baik kedua orang tuaku, namun sia-sia adanya aku tak dapat berbuat banyak, karena aku adalah seorang insan yang lemah.”
“Tak guna engkau menangis, yang aku tahu bahwa sekarang engkau bukan lagi Lindaku, lupakanlah aku, hapuslah aku dalam lingkar harapmu karena kau telah dipunyai oleh seorang lelaki yang bernama Akhmad Kasim Sujai, yang tak lain adalah sepupumu sendiri. Biarlah aku enyah darimu dengan membawa sejuta lara hati yang tersayat pilu. Selamat berbahagia,..............semoga engkau sukses didalam melayari bahtera rumah tanggamu!”
Begitu ucap Irfan, sambil beranjak pergi meninggalkan Linda sendirian yang tengah dirundung lara, kemudian ia berjalan perlahan keluar pekarangan rumahnya di akhir senja, jelang malam yang mulai meremang.
Dari ruang tengah rumahnya, terdengar jam dinding berdentang dua kali –


menandakan bahwa waktu telah menunjukkan pukul dua larut malam.(*)


Makassar, 05 Juli 1970


Mingguan Progresif, 15 Agustus 1970
Harian Radar Bulukumba, 18 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar