Selasa, 03 Mei 2011

98. KETIKA MUSIM HUJAN TIBA

Oleh : Hasbullah Said.-

SORE itu, langit lagi mendung. Aku baru saja meninggalkan gedung AMKOP, kampus perkuliahanku. Bersama Athira dan Shinta kami menyusuri jalan Baji Minasa, menuju Jalan Cenderawasih. Belum begitu jauh kami melangkah, hujanpun turun dengan amat derasnya di bulan Desember. Layaknya bagai ditumpah dari atas langit sana. Kami berlari menuju sebuah emperan ruko tak jauh dari situ untuk berlindung menghindar dari guyuran hujan lebat.
Athira dengan tas ransel yang masih bergelayut dipunggungnya, berlari sembari mengusap rambutnya yang basah tertimpa air hujan. Sedang Shinta berlari sambil menudungi kepalanya dengan tas kuliahnya. Ia mengeluh seolah mengutuk hujan lebat di bulan Desember yang memang lagi musimnya.
“Kalau musim panas pasti kamu mengeluh oh, panasnya.”
“Dasar manusia yang tak pernah mensyukuri rahmat Tuhan.” kataku bercanda setelah kami berdiri disitu diantara sekian manusia yang senasib dengan kami.
“Iya Wan, tapi kalo ginian terus. Kemarin lagi hujan seperti ini.” bantah Athira.
“Ini kan lagi musimnya, kalo tak mau basah, pakai Avanza dong!” lagi aku bercanda. Dia tak menerima candaku. Dia menatapku lekat dengan pandangan sinis.
Tiga puluh menit sudah berlalu. Hujan belum juga ada tanda-tanda berhenti. Walau sedikit berkurang berganti dengan gerimis tipis tergerai dari atas langit sana. Jelaga hitam nampak membentang luas. Sementara angin Desember bertiup resah. Membawa dingin yang menggeligis bersama datangnya malam yang kian kelam.
Untuk melanjutkan perjalanan aku berpikir dua kali. Sudah kupastikan, kami akan basah kuyup sebelum tiba di ujung timur Jalan Baji Minasa. Aku mendekapkan tas ranselku ke dadaku mengusir jauh dingin yang datang mengigit. Athira dan Shinta disisiku mulai nampak jenuh. Kecapean lama berdiri.
“Yuk, pulang Wan!” ajak Athira padaku.
“Sebentar lagi, masih hujan.” tolakku.
“Kalo hujannya ditunggu berhenti, bisa-bisa kita bermalam disini.” timpal Shinta dengan nada kesal.
“Iya, tapi kalau kalian basah kuyup tiba di rumah paling tidak esoknya kamu tidak masuk kuliah karena sakit.”
“Kalo gitu terserah kamu deh. Aku dan Shinta mau pulang, udah malam, biarin basah, paling juga hanya kena flu.” kata Athira.
“Tapi,........”
“Daaagh,......” mereka melambaikan tangan padaku.
Keduanya benar-benar nekat. Dengan cuweknya mereka berjalan dibawah dinginnya gerimis malam. Aku hanya mampu menggelengkan kepala. Dalam benakku tiba-tiba lahir rasa iri datang menyerangku. Mengapa aku seorang laki-laki tak sekuat dengan mereka. Akhirnya akupun mengalah untuk ikut bersamanya.
“Ira,......tunggu,...... aku ikut dong!” teriakku sambil melangkah me-nyusulnya.
Mereka berjalan dengan cuweknya menuju ujung timur Jalan Baji Minasa yang tengah ditunggui sopir angkot di persimpangan jalan Cenderawasih.
“Maafin aku Ira, Shinta!” kataku sedikit rasa malu setelah kami duduk bersamanya diatas angkot tujuan sentral.
“Siapa takut, baru hujan ginian udah kelabakan luar biasa.” kelakar mereka padaku. Aku diam tak menyahuti candanya. Mobil mikrolet yang kami tumpangi melaju diatas jalan aspal basah. Kami bertiga tanpa suara ataupun percakapan diatas angkot hingga tiba didepan rumah Shinta.
“Kiri pak sopir.” teriaknya sambil buru-buru membayarnya lalu turun dari atas mobil angkot.
“Daaagh,.....! Dia melambaikan tangan pada kami sambil loncat dari atas mobil angkot. Aku dan Athira membalas lambaiannya duduk berdampingan dengan- nya diatas mobil. Juga tak ada kata yang keluar terlontar dari mulutnya. Bungkam. Mungkin dia tersinggung tadi kukatakan, naik Avansa dong, kalo tak mau basah. Kucoba mengajaknya bicara. Lahir penyesalan dihatiku berkata demikian.
“Ira, kau marah....?” tanyaku buka bicara padanya. Sementara mobil angkot berjalan terus menorobos senja yang kian mengelam.
“Nggak.........” dia menggeleng menyahuti tanyaku.
“Tapi kenapa kau tak ngomong-ngomong?”
“Ngomong dong...........!” desakku.
“Karena hujan itu.” dia pura-pura menepis.
“Hm,..........aku tahu.” kataku sedikit kecewa.
Persis didepan stadion Mattoanging mobil kusuruh berhenti. Karena rumahku tak jauh lagi dari sini.
“Kiri pak sopir.”
”Ira,..........sampai jumpa lagi esok dikampus.” ucapku sambil meloncat turun dari atas mobil kemudian kumelangkah menuju rumahku. Ira tak menyahuti ujarku, dia hanya senyum menggangguk sambil melambaikan tangan padaku.
Keesokan sorenya dikampus, kami bertiga Ira dan Shinta siap-saip untuk pulang kerumah, karena sore itu kami hanya mendapat satu mata kuliah saja. Dosen mata kuliah Akuntasi Biaya, berhalangan hadir memberikan kuliah tanpa pemberitahun lebih dahulu. Ira mengajakku pulang bersama Shinta. Betapa aku terkesima setelah ia mengajakku naik diatas sebuah mobil Avanza yang terparkir didepan kampus. Dia kemudikan sendiri. Sama sekali aku tak menyangka kalau dia itu pandai nyetir mobil.
“Wah,........ hebat ni ye! Nggak bakalan basah lagi bila hujan deras datang mengguyur.” candaku sambil aku naik di jok belakang, sedang Shinta duduk didepan disampng Ira.
“Lho kalau tak mau basah, lebih baik kita naik mobil Avanza.” sahutnya menyindir.
“Eh,........udah deh, kemana kita ini Ira?” tanya Shinta memotong pembicaraan Ira.
“Mau-maumu dimana kamu suka, ini malam kebetulan malam minggu.” tawar Ira dengan melempar senyum kepada kami berdua.
“Kalau gitu kita ke pinggir pantai aja, di Anjungan Pantai Losari.”
“Iya, khan Wan? “ kata Shinta dengan nada riang.
“Oke, deh.” jawabku pendek. Kemudian aku diam saja mengikuti kemauan mereka.
Mobil Avanza warna hitam yang dikemudikan Ira melaju diatas aspal menuju Jalan Penghibur. Sementara dalam perjalanan, aku dibebani oleh sejuta perasaan bersalah, menyesal ketika kemarin aku mengatakan kalau tidak mau basah naik Avanza dong. Rupanya sore ini dia telah buktikan kemampuannya menyetir mobil Avanza. Aku malu sendiri, kendati mobil yang dia pakai itu aku tak tahu entah siapa pemiliknya. Dari penuturan Ira pada Shinta, kerekam diam-diam bahwa mobil itu milik ayahnya yang tengah menjalani masa pensiun baru-baru ini disalah satu instansi pemerintah.
Dari atas tembok pelataran anjungan pantai Losari Ira bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju ke salah satu penjual pisang epek. Dipesannya tiga piring. Ia sendiri membawakan kepadaku dan juga Shinta.
“Iwan, Shinta,........ silahkan dong!” pintanya dengan sangat ramah sembari menyerahkan pada kami.
“Terima kasih.” sahutku senyum sambil mencicipi pemberiannya.
Perlahan-lahan aku sadar bahwa Ira adalah sosok cewek yang baik hati dan sangat menyenangkan bagi kami. Setiap pulang kuliah kami pasti diajak naik mobil bersamanya. Bahkan sesekali ia datang kerumah menjemputku. Tak ada waktu terlewati tanpa kami bertiga. Terjalinlah sebuah persahabatan bertiga. Triologi. Sebuah prinsif atau simbol kebersamaan.
“Aku terlalu memberatkanmu Ira, setiap pergi pulang kuliah kamu pasti mengantarku.” kataku dengan nada penyesalan ketika dia datang menjemputku dirumah disuatu sore.
“Nggak apa-apa, mumpung mobil ini nganggur tak dipakai lagi ayah.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Ayah sudah menjalani masa pensiun.” sahutnya.
“Terima kasih.”
Mobil Avanza berjalan diatas aspal mulus, tanpa terasa kami telah tiba di kampus Amkop. Seusai kuliah ia mengantarku pulang kerumah. Tiada terasa hari bergulir terus berganti. Hari-hari kulewati bersamanya menjelma menjadi sebuah impian yang sangat indah bagiku. Melukis kisah demi kisah. Untuk kemudian menjadi sebuah memori indah sepanjang jalan hidupku. Dan tanpa kurasa ke-dekatanku dengan Ira semakin karib.
Didalam dadaku selalu ada semacam kerinduan yang mendalam, pada hal tak ada waktu tersisa tanpa aku dan dia. Lahir tanya dalam lubuk hatiku. Ada apa aku dengan Ira? Betapa tidak. Hasil akhir dari tanyaku kujawab sendiri. Ada beberapa tangkai kembang melati aku coba tanam dalam lahan kebun hatinya. Rupanya diapun ikhlas merelakan lahan hatinya aku tanami melati indah dengan wangi yang menebar membuat ia terlena. Diapun merasakan gejolak rindu yang serupa denganku. Sama sepertiku. Melati cinta.........!
Malam minggu berikutnya aku diajak Ira untuk ikut bersamanya berkeliling seputar Tanjung Bunga tanpa ditemani Shinta, hari itu ia tak masuk kuliah karena sedang ke rumah tantenya di Soppeng.
Penyesalan dihati tak pernah usai, bila hujan tiba seperti ini. Hujan bagai menderaku. Kuingat katanya dulu menghujat hujan lebat. Lalu aku jawab, kalau tak mau basah pakai Avanza dong. Ternyata sekarang kini ia buktikan, dan aku turut serta menikmatinya.
“Ira, maukah kamu memaafkan aku.” tanyaku mengagetkan dia dalam hayalnya disaat mobilnya tiba di seputar Tanjung Bunga.
“Jangan selalu kamu ucapkan itu Wan, manusia memang punya kekurangan dan kelebihan!”
“Dan aku memaafkanmu setulus hati.” sahutnya dengan nada lembut.
“Kamu orangnya baik, sempurna sudah kini kekagumanku padamu.” kataku saat mobilnya dilarikan dengan perlahan lamban. Kesiur angin pantai Tanjung Bunga terasa sejuk mengalir lewat jendela kaca mobilnya yang terbuka lebar. Suasana pantai begitu ramai dipadati oleh sekian banyak pengunjungnya.
Mobil Avanza miliknya berjalan pelan sekali. Hingga tak terasa kami telah tiba di Anjungan Pantai Losari. Kami duduk diatas anjungan menanti terbenamnya matahari, berbincang berbagai masaalah hingga jelang larut malam baru kami pulang.
Hari-hari kulewati bersamanya dengan penuh kecerian. Indah bagai bunga melati yang kutanam tumbuh mekar di lahan kebun hatinya. Tak terasa Ujian Negara sebagai prasyarat untuk mencapai gelar sebagai Sarjana Muda Negara telah usai dengan predikat yang kami peroleh sangat memuaskan.
“Setelah selesai, Iwan lanjut atau tidak?” tanya Ira disuatu waktu setelah habis ujian skripsi.
“Mungkin nggak. Karena ketiadaan biaya. Aku akan coba mengadu nasib untuk melamar pekerjaan.”
“Kalau kamu?” aku balik bertanya.
“Aku rencana lanjut kuliah. Tapi ayah menginginkan aku kuliah di Jokyakarta. Padahal menurutku biar disini sama aja.”
“Jadi......? Kukira itu suatu kesempatan terbaik untukmu.” kataku dengan nada serius.
Ýa, terpaksa aku mengikuti kemauan ayah karena beliau yang akan membiayaku.” begitu katanya datar seolah ia tak begitu respek keinginan ayahnya. Aku diam sejenak. Dan tak ada suara terdengar diantara kami berdua. Hening. Tertelan oleh kebisuan malam yang semakin mendekati ambang larut.
Hari berjalan terus, tanpa terasa telah dua semester Ira mengikuti kuliah pada
STIE di Jokyakarta. Beberapa kali aku menghubunginya lewat ponselnya, hanya sesekali ia membalasnya mengatakan sedang sibuk dengan berbagai kegiatan perkuliahannya. Akhirnya, hingga kini jarang ia menghubungiku lagi. Bahkan sama sekali tidak ada jawaban darinya bila aku menelponnya, karena ponselnya selalu tidak diaktifkan.
Dimana kau kini Ira? Ada apa denganmu? tanyaku selalu dihati. Aku masih tetap menunggumu sampai kapanpun. Bila musim hujan tiba dibulan Desember, terlukis kembali dibenakku masa lalu kita yang indah. Juga kata-kataku yang pernah menyinggung perasaanmu, sangat menyakitkan hatimu. Padahal itu hanyalah guyonanku semata yang tak lucu. Kalau tak mau basah, pakai Avanza dong! kataku.
Maukah kamu memaafkan aku? Maafkanlah aku Ira.................! Aku sabar menunggumu, hingga kuliahmu usai. Berharap kamu pulang dengan menyandang

gelar Sarjana Ekonomi. ATHIRA HAMID, SE.(*)


Makassar, 20 April 2010

Mingguan Inti Berita, 09 Mei 2010
Harian Radar Bulukumba, 18 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar