Selasa, 03 Mei 2011

99. T U N I P E L A

Oleh : Hasbullah Said.-


DARI balik radio tape recorder, terdengar mengalun sayup lembut sebuah lagu daerah Makassar. Mengalun begitu syahdu dari balik jendela rumah tetangga sebelah.
Satu bait dari lagu itu sempat kurekam dalam memoriku begitu sangat menggugah perasaanku, karena kebetulan aku berasal dari suku Makassar. “ Manna nabosi sarro, manna na anging barubu, aule anta’le tonja ka ilalangi pacinikku.”
Begitu antara lain syair yang sempat kutangkap diam-diam dari memoriku. Entah siapa gerangan yang memutarnya lagu itu, padahal di negeri jiran seperti disini lagu itu orang tak begitu senang mendengarnya. Itu mungkin karena mereka tak dapat memaknai arti yang sesungguhnya.Yang pasti, bahwa yang memutarnya itu adalah pendatang dari daerah Makassar. Itu tak kuragukan lagi. Karena disini begitu banyak TKI/TKW yang datang dari Sulawesi-Selatan sebagai pencari kerja. Sama sepertiku dan juga suamiku I Bado, dia bekerja disini sebagai buruh perkebunan kelapa sawit yang sangat luas tersebar hampir diseluruh pelosok daerah Serawak.
Namun selang beberapa tahun kemudian, I Bado suamiku beralih profesi, tidak lagi menjadi buruh perkebunan kelapa sawit ditengah hutan belantara. Akan tetapi kini dia beralih menjadi seorang tukang batu, dengan pertimbangan bahwa penghasilan yang dia peroleh sedikit jauh lebih baik dibanding dengan buruh perkebunan kelapa sawit, dan pula ia memiliki keahlian khusus dibidang pertukangan.
Akhirnya, kami tak tinggal lagi di tengah hutan kelapa sawit, akan tetapi kini kami berpindah tempat tinggal disudut-sudut kota sedikit agak jauh dari keramain dan kebisingan kota. Sebuah permukiman penduduk yang mayoritas pendatang dari luar kota Serawak.
Dari diaelek bahasanya bila aku bertemu di mall atau pasar tradisonal telah dapat kumengerti bahwa mereka itu adalah pendatang dari daerah Makassar. Aku terharu mendengar nyanyian itu, karena sudah sekian lama aku tak mendengar lagi nyanyian Makassar yang begitu sangat aku rindukan.
Nyanyian itu mengingatkan kepadaku pada sepuluh tahun lalu, bahkan sudah lebih lama dari itu. Sudah sekian tahun aku menetap tinggal disini, tak pulang-pulang kekampung halamanku di daerah Makassar tepatnya yaitu daerah Butta Turatea.
Kami tinggal disini, di Kota Serawak sejak awal tahun 1996. Kedatangan kami kemari bukan sebagai TKI/TKW. Akan tetapi kedatangan kami disini hanya dalam, keadaan terpaksa menghindar atau menjauh dari lingkungan keluarga yang sering mengejar-ngejar hendak membunuh kami, karena kami telah melakukan suatu pelanggaran berat tatanan adat tradisi dilingkungan keluarga suku Makassar yang disebut tumayala *) = orang yang mempermalukan.
Lagu itu bila dimaknai dari bait syairnya persis sama dengan jalan hidupku atau lebih tepat aku katakan kisah masa buramku bersama I Bado suamiku beberapa puluh tahun yang lalu.
Wahai, para pembaca, aku tak tahu dari mana awalnya atau bagaimana caranya untuk memulai kisah ini. Kisah buram masa laluku yang nyaris terlupakan karena telah tertimbun debu waktu masa lampau yang begitu lama. Inilah kisahku,..............
***
Namaku I Saintang Karaeng Kebo. Aku lahir disebuah Desa yang adem, aman dan tentram bernama Bonto Cinde Kecamatan Biring Balang. Dahulu kala desa itu adalah sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang raja yang bernama I Jakkolo Daeng Temba Karaeng Bonto Cinde. Tu menanga ridongkokang kasayanganna*) = meninggal dunia terjatuh dari atas kuda tunggangan ke-sayangannya.
Raja itu tak lain adalah ayah kandungku sendiri. Desa itu begitu aman dan tentram lagi sentosa dibawah pemerintahan Almarhum I Jakkolo Kareng Temba, sehingga rakyatnya begitu segan dan hormat kepadanya, sangat dicintai, disayangi serta dijujung tinggi oleh seluruh tumabuttana*) = penduduk Bonto Cinde. Karena didalam menjalankan pemerintahannya dia bersikap adil jujur serta dermawan, tidak pilih kasih terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Didalam menjalankan roda perintahannya Sang Raja dibantu oleh beberapa orang To’do*) = yaitu setingkat dengan Kepala Desa, yang diberi tugas khusus dibidang pemerintahan, ekonomi, keamanan, kebudayaan serta kesejahteraan rakyat, sedangkan dibidang spritual keagaman ditangani khusus oleh petugas Sara’ atau Kadhi*).
Sang raja memiliki begitu banyak sawah ladang yang berhektar-hektar luasnya. Juga memiliki hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dia seorang pemimpin rakyat yang kharismatik. Dalam rumah tangga istana raja juga ada pejabat khusus yang diberi tugas untuk kebersihan istana raja yang disebut ata bone balla*) = abdi dalam.
Ditempat agak ketinggian telah dibangun istana raja, berdiri kokoh diatas lahan yang cukup luas rimbun ditumbuhi banyak pepohonan, sehingga udara sejuk terasa sangat segar kendati dimusim kemarau panjang. Istana itu sering disebut Balla Lompoa ri Bonto Cinde.
Kami hidup dalam istana raja bagaikan dalam surgawi dunia diasuh oleh dua orang dayang-dayang atau sering disebut inang pengasuh yang bernama Amma Basse dan Amma Cawa.
Disaat usiaku menginjak dewasa, kata orang aku sangat cantik, walau aku sendiri tak pernah merasa demikian, bagaikan anak bidadari turun dari kayangan, manakala aku santai mengelilingi istanaku bersama beberapa orang pendampingku yang disebut dayang inang penghasuhku dikala senja telah turun jelang malam. Aku dijuluki bombonna*) Bonto Cinde. Aku sangat disayangi dan dicintai oleh hampir seluruh tumabuttana*) = masyarakat Bonto Cinde terlebih bagi penghuni istana raja. Karena sifat kebangsawanan seorang putri raja yang biasanya sombang dan angkuh aku tak miliki sifat-sifat seperti itu.
Aku anak bungsu dari tiga bersaudara, kedua saudaraku semuanya laki-laki. Aku sangat dimanja dan disayangi oleh tettaku*) = panggilan kepada Karaeng bainea atau permaisuri raja yaitu ibundaku yang biasa disapa I Mulli Karaeng Masayang. Hidup dalam istana raja kami jalani begitu rukun aman damai penuh keceriaan.
Abdi dalam yang disebut ata bone balla*) diberi tugas kepada I Bado seorang perjaka yang masih muda belia, dipercayai mengurus segala-galanya tentang urusan rumah tangga dalam istana. Walau I Bado dalam statusnya sebagai ata bone balla *) namun aku sangat segan dan hormat terhadapnya karena dia penyabar sopan dan loyal terhadap seluruh keluarga raja didalam istana. Aku sangat dekat dengannya, karena apa saja yang aku butuhkan, dengan gerak lincah dia cepat melayaniku dengan penuh kesopanan kasih sayang.
Disuatu senja I Bado membawakanku beberapa buah jambu air segar yang masak dipohan dia petik dibelakang istana.
“Ini Karaeng, jambu masak dipohon yang hamba petik dibelakang istana.” ujar I Bado dengan hormatnya membungkukkan badannya sambil menyerahkan beberapa buah jambu air padaku.
“Terima kasih banyak, Bado.” sahutku sambil melempar senyum padanya.
“Iye, Karaeng.” balasnya sambil berlari masuk ke dalam ruang istana.
Hari berganti terus, berjalan tanpa henti. Melukis kisah demi kisah. Untuk kemudian menjadi catatan sejarah sebuah perjalanan hidup, dan tanpa kurasa kedekatanku dengan I Bado semakin karib. Di dalam dadaku ada sebuah relung yang entah mengapa terus saja memelihara damba. Ini melahirkan gelisah. Melahirkan kecemasan.
Betapa tidak? Tiba-tiba saja aku merasa luluh setiap kali tatap mata I Bado menghujam mataku. Aku seperti perawan yang tertangkap basah melirik seorang perjaka tampan dari balik tirai pemisah. Kurasakan wajahku merona merah. Mataku menggelepar malu.
Dan ketika aku mencoba mencari jawab ada apa dengan diriku, ketakutan itupun menjelma sempurna. Betapa tidak? Hasil akhir dari pencarian tanyaku adalah I Bado telah berhasil menancapkan seratus tangkai mawar cinta diatas kebun hatiku.
O,....Tuhan, tidak!!! Malapetaka apa yang hendak kau janjikan padaku? Aku menyimpan rindu yang tanak pada I Bado, rindu yang terlarang!
Padahal sebelumnya beberapa orang anak Karaeng ma’gau*) = anak bangsawan/putra mahkota mencoba datang melamarku. Namun semuanya tak satupun yang bekenaan dihatiku, karena mereka itu telah memiliki istri lebih dari satu. Aku menolaknya, mentah-mentah. Aku berlari masuk kedalam kamarku membenamkan diri lalu membaringkan tubuhku diatas tempat tidurku sambil menangis sesunggukan didalamnya. Amma Basse dan Amma Cawa datang membujukku dengan penuh rasa kasih sayang padaku.
“Sabarlah anak Karaeng ............!” bujuknya sambil membelai rambutku.
Pandangan Kaengku*) yaitu = panggilan pada ayahanda seorang bangsawan sangat berbeda denganku. Beliau tak menginginkan darah biru tercemar dengan darah tusamara*) = orang kebanyakan. Beliau menginginkan darah biru sama darah biru, kendati yang datang melamarku itu telah punya istri, sehingga aku menolaknya mati-matian untuk tidak menerima lamarannya. Biarlah aku jadi perawan tua asalkan aku tidak dijadikan tumbal tirai tradisi yang membelenggu.
Disuatu waktu ketika bulan purnama sedang mengambang diatas, aku berjalan perlahan di dalam istana, tanpa ditemani oleh dayang inang pengasuhku, aku menemui I Bado yang sedang duduk sendirian diatas balai bambu bernaung dibawah rindangnya sebuah pohon jambu air dipekarangan belakang istana.
“Hai Bado, sedang apa kamu disitu?” tanyaku padanya.
“Hamba sedang duduk santai Karaeng, menikmati indahnya rembulan malam.”
“Romantis juga kamu Bado!” kataku lagi sedikit memancingnya.
“Ah, biasa-biasa saja Karaeng.” ujarnya dengan penuh hormat.
Sejenak aku menahan kata. Membiarksn sunyi melumat kami. Angin yang menyusup dari celah reranting mengalirkan ngilu. Inilah lelaki yang telah berhasil mencuri rasaku. Lelaki yang datang dari kasta yang berbeda. Tak ada satu titianpun yang bisa menjembatangi perbedaan itu. Aku adalah anak gadis Karaeng Temba. Karaeng ma’gauka ri Bonto Cinde.
Ketika dia menengadah menatapku, kuselami lautan terdalam dimatanya. Menjelajah mencoba mencari apa yang tersembunyi diam-diam disana. Dan aku terhenyah sesaat, kutemukan sebentuk gelisah pada tangkai mawar yang kukenali juga mekar dihatiku. Mawar cinta kami!!! Tuhan,......Cinta itupun ada padanya. Cinta yang sakit. Cinta yang tumbuh pada waktu yang salah dan tidak tepat!
“Bado, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu malam ini.” tanyaku setelah sekian lama kami terdiam.
“Apa gerangan Karaeng, yang hendak hamba persembahkan kepada junjunganku?” tanya Bado dengan penuh penasaran. Aku tak segera menyahuti tanyanya. Sesaat diam kembali menguasai suasana. Aku diam seribu bahasa dalam pelukan malam yang semakin dingin dibelai angin malam.
“Aku mohon kamu menemaniku untuk pergi jauh?”
“Maksud Karaeng?” tanya I Bado sambil mengernyitkan keningnya penuh penasaran.
“Aku mencintaimu. Dan aku tahu kamupun mencintaiku, Bado. Kamu juga pasti tau bahwa disini tidak ada tempat bagi kita. Dari pada aku tersiksa hidup dalam sangkar emas tapi hatiku menderita didera cintai tak sampai, maka tak ada jalan lain yang bisa kita tempuh. Hanya itu satu-satunya......... Kita tinggalkan saja Kerajaan Bonto Cinde ini menuju Butta Jumpandang dan selanjutnya kita menyeberang menuju Serawak Malaysia, disana nanti kita akan membanguan sebuah mahligai rumah tangga yang bahagia.” kataku lagi setengah berbisik kepadanya.
Mendengar ucapaku, wajah I Bado memerah, seolah ia mendapat sebuah tamparan keras dariku. Dunia serasa runtuh menimpa diatas kepalanya. Dunia dia rasakan kini telah kiamat.
“Sombanna atannu Karaeng*) = permohonan maaf hamba jangan coba-coba lakukan itu!”
“Tidak,......ini sudah keputusanku yang bulat Bado..... ....! Tak dapat lagi ditawar-tawar, esok malam segera kita tinggalkan istana ini. Aku khawatir Kaengku mengetahui rencana kita, karena telanjur aku bisikkan ketelinga Amma Basse dan Amma Cawa, mengatakan bahwa aku akan minggat bersama I Bado.”
“Jangan,.........Karaeng,.........Bukankah ini adalah sebuah perbuatan yang terkutuk dan taruhannya adalah nyawa. Semua tumabuttaya akan mengutuk perbuatan kita, bahkan akan terjadi pertumpahan darah antara tumanyala*) = orang yang mempermalukan dengan tumasiri*) = orang yang dipermalukan dan bahkan seluruh masyarakat Turatea*) = sebuah julukan kota Kabupaten Jeneponto oleh masyarakat setempat, menjadi tumasiri dan akan menangis sedih. Dan kita akan mati tercincang di ujung badik masyarakat Bonto Cinde. Percayalah Karaeng.........!” sahut I Bado dengan nada masygul disertai dengan isakan tangis tipis dibalik bibirnya yang tebal.
“Tidak,........ aku sudah nekad Bado, apapun resikonya sekalipun aku bersamamu mati di ujung badik dari tumabuttaya. Tetap juga akan kulakukan sebagai bentuk protes terhadap Kaengku. Kata I Saintang dengan nada bergetar bergelombang. Seperti gelombang laut disana. Bado diam merunduk. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan bagai terserang penyakit malaria. Keringat dinginnya mengucur perlahan membasahi tubuhnya menyatu dengan bajunya, kendati malam telah menebarkan hawa dingin merangkul bumi Bonto Cinde.
“Bagaimana Bado?” desakku sekali lagi.
Mendadak lahir rasa iba dan kasihan dihati Bado terhadap Saitang Karaeng Kebo membuat ia gegagapan gemetar mengiyakan ajakannya.
Dengan sangat berat, Bado mengangguk perlahan tanda setuju memenuhi harapnya. Walau di dalam bathinnya telah terjadi peperangan yang sangat sengit antara mau dan tidak untuk melakukannya. Akhirnya, setelah ada mufakat merekapun beranjak masuk kekamar tidurnya masing-masing. Sementara malam semakin kelam perlahan menuju titik larutnya, jelang pagi hari yang cerah...............
***
Dua hari sesudahnya. Kamar I Saintang Karaeng Kebo nampak lengang. Tak terlihat ia di dalamnya. Kedua inang pengasuhnya gelisah mencarinya. Akhirnya, keduanya sadar, mengatakan bahwa Saintang Karaeng Kebo telah kabur silariang bersama I Bado. Gemparlah seluruh penghuni istana, setelah mereka mengetahui kepergian I Saintang Karaeng Kebo. Seluruh penduduk kampung Bonto Cinde pada datang ke istana untuk memberi rasa simpati Siri’ napacce*) sebagai dukungan mereka terhadap rajanya. Setelah I Jakkolo Karaeng Temba mengetahui putrinya silariang = minggat maka Sang raja begitu sangat murkah terhadap putrinya I Saintang terlebih I Bado.
“Sangkammai tuni sapui tai rupangku*) = bagai dilumuri kotoran manusia wajahku.” begitu ujar Karaeng Temba didepan massa pendukungnya, dengan deraian air mata mengalir dipelupuk matanya disertai gemertak gigi berderak.
“Tenamo annakku niareng I Saintang*) = tidak ada lagi anakku yang bernama I Saintang, lebbami kulamungan irawangnganna bara tedonga*) = sudah saya kuburkan dibawah kubangan kerbau.” sela I Mulli Karaeng Masayang Karaeng Bainea*) = permaisuri raja dengan nada terisak iba.
“Kupattojengki Karaeng*) = kami benarkan hai Sang Permaisuri.” teriak mereka dengan nada lirih.
“Oh, Karaeng,..........pattujua*) = dukunglah hambamu ini, untuk appaenteng Siri’ Na Pacce = menegakkan keadilan rasa malu disertai dendam. “ kata tu baraniya*) = yaitu hulubalang raja bernama I Mannyingarri Dg.Masiga berteriak lantang sambil menghunuskan badiknya keatas dengan geram disertai hentakkan kakinya diatas tanah.
“Kupattujuku saribattang*) = kami medukungmu saudara.” teriak massa yang berkumpul didepan Istana Balla Lompoa di Bonto Cinde.
Dengan nada perlahan I Jakkolo Karaeng Temba berupaya menenangkan rakyatnya.
“Hai sekalian tumabuttaya, tenanglah,...........! Bersabarlah,...............! Cepat atau lambat keduanya kita akan lakukan pembalasan yang setimpal, paling tidak nipasisa’laki nabaji*) = kita pisahkan mereka. Pulanglah kalian kerumah masing-masing dengan tenang!, jangan coba-coba ada yang bertindak sesuatu tanpa sepengetahuan saya.” demikian himbauan I Jakkolo Karaeng Temba kepada rakyatnya dengan nada bijak.
“Iyyo, Karaeng,.........!” sahut mereka serempak sambil beranjak pergi meninggalkan istana Balla Lompoa menuju rumahnya masing-masing dengan tenang
dan tertib.
***
Demikianlah, kisah I Saintang sebuah kenangan masa lalu yang terekam kembali lewat hayalnya masa lalu yang begitu tragis......... Kini ia menjalani hidupnya yang terbuang*) dirantau orang = atau tunipela*) dari lingkungan keluarga besarnya. Dengan menyandang status abadi sebagai tu manyala sipulianna lino*) dari seluruh sanak keluarga serta kerabatnya di kampung halamannya Bonto Cinde, bahkan seluruh penduduk Butta Turatea yang merasa sebagai tumasiri’.
Appala baji*) = permintaan damai, sebuah harapan dipenantian yang panjang tetap dalam angan I Saintang, kendati hanya sebuah mimpi diatas mimpi yang kandas tak akan kunjung terwujud.
I Saintang menghela nafas panjang. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit di hati. Dibuangnya pandangan keluar jendela. Disana diujung cakrawala senja, terbayang lagi wajah-wajah keluarga yang ditinggalkannya jauh di Butta Turatea. Tanpa kuasa mencegah sebutir air matanya jatuh menggelinding dipipinya yang tirus tapi masih menyisakan kecantikannya di masa muda. Sementara lagu Makassar dari rumah tetangga sebelah masih mengalun lembut tapi mengiris.
“Manna na bosi sarro, manna na anging barubu, aule anta’le tonja ka- ilalangi pacinikku.............” (*)

Butta Turatea, 01 April 2010

Mingguan Inti Berita, 18 April 2010
Harian Radar Bulukumba, 24 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar