Kamis, 05 Mei 2011

02. KISAH KASIH DI SEKOLAH

Oleh : Hasbullah Said.-

DERU ombak mendendangkan lagu syahdu, menjilat-jilat lalu meng- hempaskan dirinya kedinding bukit karang. Percikannya membubung tinggi lalu jatuh perlahan membasahi segala apa yang ada disekitarnya. Begitupun Lisa, tak luput dari gapaian percikan air laut membasahi ujung-ujung kaki celana jeansnya.
Terasa sejuk menyentuh kulit ari kakinya yang telanjang. Panorama laut sangat indah dihari itu, sebebas-bebas mata memandang kearah bawah dari atas ketinggian ditumbuhi rumput gajah kehijauan. Bila air surut, pantai nan landai dengan bentangan pasir putih nampak keperakan tertimpah oleh terik mentari siang. Pantai selatan berbatasan dengan laut Jawa. Sebuah permandian alam dengan segala keindahannya.
Disinilah Lisa duduk sendirian diatas bukit karang menatap laut dengan sorot mata sayu. Gelombang laut datang dan pergi silih berganti lalu hilang lenyap tanpa bekas.
Bagaikan dirinya yang dipermainkan oleh ombak gemulung lalu dihempaskan ke dinding bukit karang. Sirnalah segala harapannya kandas di penantian yang tak kunjung datang.
Dengan langkah tertatih-tatih ia mencoba berjalan diantara keramaian orang-orang yang sedang mandi dilaut. Terasa dingin kakinya yang telanjang bersentuhan dengan pasir putih nan lembut. Berjalan terus, …… tanpa arah, dilihatnya sehelai daun ketapang telah kekuning-kuningan terapung berayun-ayun dipermainkan ombak.
Terhenyak sesaat, lalu ia teringat olehnya ketika dulu masih duduk dibangku sekolah SMA, beberapa pohon ketapang rindang tumbuh di belakang tak jauh dari gedung sekolahnya. Disini banyak menyimpan kisah kasih darinya, seolah bertutur kata dengan gaya bahasa aku.
***
Suatu hari, ketika jam istirahat pertama tiba, aku keluar dari ruang kelas sambil menenteng Silverquen makanan ringan kesukaanku sejak dulu, dan tepat depan pintu masuk aku berpapasan dengannya, lalu ia menyapaku minta untuk dibagikan kepadanya sembari mengulurkan tangannya kepadaku. Kurasakan hatiku bahagia mendapat perlakuan seperti itu, bak gayung bersambut, itulah awal benih kasih bersemi dalam lubuk hatiku yang kupendam selama ini.
Hari-hari berikutnya, hampir setiap jam istirahat kuhabiskan bersama Diazh bernaung dibawah pohon ketapang rindang, tumbuh tak jauh di belakang gedung sekolah kami. Istirahat sambil bincang-bincang tentang berbagai hal aktual terkini, termasuk mata-mata pelajaran kami disekolah, kadang pembicaraan kami ngelantur karena sudah kehabisan bahan. Dan terakhir diluar dugaanku tiba-tiba ia mengutarakan isi hatinya mengatakan ia sayang dan cinta padaku. Aku merasa kaget mendengar pernyataanya itu, rupanya selama ini ia juga diam-diam memperhatikanku, dan dengan perasaan bahagia kubalas pula dengan ucapan akupun cinta padamu!”
Sesudahnya itu, banyak teman-teman cewek sekelasku merasa cemburu dan iri padaku bahkan kadang mereka menyindirku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hatiku, namun aku cuek saja pada mereka, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengan Diazh. Namun dibalik itu kadang ada juga teman siswa lainnya memuji hubungan kami berdua dengan julukan bagaikan Romie dan Yuliet pasangan yang ideal sangat serasi.
Aku merasa bangga dan bahagia berhasil menggaet Diazh yang banyak di perebutkan oleh cewek teman sekolahku. Kami selalu berjalan beriringan pulang pergi sekolah bersamanya, bahkan kami belajar satu kelompok beserta teman lainnya, bergantian diadakan dirumahnya atau dirumahku sehingga semua keluarga termasuk kedua orang tuaku telah mengetahui hubungan kami berdua, namun mereka selalu memperingatkanku bahwa kami sementara duduk dibangku sekolah menuntut ilmu.
Ujian tahap akhir sekolah kami telah berada diambang pintu, tak lama lagi akan berlangsung, sementara kami berdua kembali berada dibawah pohon ketapang ketika jam istrahat tiba, ia mengutarakan banyak hal padaku, termasuk cita-citanya nanti setelah lulus dalam Ebtanas yang akan datang. Ia merasa terpanggil untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang prajurit kesatria yang berpihak kepada rakyat kecil, lemah dan tak berdaya.
“Kamu setuju tokh Lisa, bila aku masuk AKABRI.” tanya Diazh padaku tiba-tiba memecah keheningan sesaat.
“Tentu dong, dan kamu tampak akan lebih ganteng bila mengenakan seragam tentara.” sahutku memuji sambil menatap wajahnya yang berseri.
“Terima kasih.” ujarnya dengan wajah sumringah.
Udara siang berhembus sejuk menerpa tubuh kami, membuat betah tinggal berlamaan dibawah pohon itu. Angin berhembus agak deras menerbangkan sekian banyak daunnya yang kering berhamburan disekitar kami, dan tanpa setahunya sehelai hinggap bertengger tepat diatas bahu Diazh.
“Lapor, ada paket bom aku temukan Pak Kapten.” kataku berkelakar berpura-pura serius.
“Dimana Lis?” tanya Diazh dengan mata nanar, mengamati kesetiap sudut ruang..
“Ah, jangan main-main Lisa, isyu bom sekarang santer lho.” ujar Diash sambil menatap paras cantik dihadapannya.
“Aku tidak main-main, aku serius!”
“Kalau begitu tunjukkan padaku dimana bomnya?”
“Ini,.....” sahutku sambil meraih daun kering yang luruh pas dibahu Diazh.
“Ah, kamu bikin kaget aku.”
“Seorang prajurit tidak boleh kaget.”
“Kamu ada-ada saja.”
“Tuh, kan cuma mau lihat sejauh mana kesiapan mental seorang calon prajurit.”
Perbincangan kami berlanjut terus seputar cita-cita setelah lulus Ebtanas. Diazh balik bertanya padaku ingin tahu kemana nantinya lanjut setelah lulus. Aku termenung sejenak, lalu sekilas pandanganku kuarahkan keatas menatap langit biru yang tengah dihiasi awan berarak, lalu aku jawab singkat seadanya.
“Perawat.”
“Lalu motivasimu apa?”
“Tentunya pengabdian …….. !”
“Dan akan kurawat prajurit yang terluka ketika terjadi benturan dengan para pengunjuk rasa.” lanjutku dengan suara mantap.
“Hanya prajurit?” tanya Diazh dengan nada protes padaku.
“Termasuk pengunjuk rasa yang terluka kena pentungan petugas.” jawabku tegas meyakinkan Diazh.
“Itu baru adil, kamu Srikandi yang berhati mulia.” puji Diazh acung jempol padaku sembari mengelus rambutku yang kuurai panjang.
Lonceng sekolah berdentang bertalu-talu menyadarkan kami bahwa jam istrahat telah usai. Kami bangkit buru-buru menuju ruang kelas sambil menepis pasir yang melengket diujung rok berwarna abu-abu yang kukenakan. Keesokan harinya saat jam istahat tiba, Diazh lebih awal berada dibawah pohon itu. Diam-diam aku mendekatinya lalu menyapanya.
“Lapor Pak Kapten, mohon petunjuk apa yang harus kulakukan terhadap siswa yang tawuran.” kataku melapor sepertinya betul sungguhan terjadi.
“Eh, apa-apaan ini, sedikit-sedikit lapor, minta petunjuk segala, kamu kira aku ini pejabat Era ORDE BARU?” bentak Diazh padaku.
“Benar Pak Kapten, bukankah melapor juga namanya loyal, kalau tidak demikian terpaksa aku harus menanggung risiko untuk ditindaki, betul Kapten dan ini sudah sangat meresahkan!” ulangku lagi meyakinkan dia. Diazh bungkam, sejenak ia menatap keatas pohon ketapang sementara dahannya bergoyang tertiup angin lalu membuat daunnya yang kekuningan jatuh berhamburan disekitar kami.
“Begini Lisa.” kata Diazh setelah ia diam sejenak sambil menepuk pundakku. “Bagaimana sebaiknya Pak Kapten?” tanyaku lagi tak sabar.
“Tegas saja …… kalau perlu tembak ditempat jangan ragu-ragu bertindak, bagi siapa saja yang ingin coba-coba berbuat makar dan anarhis mengganggu stabilitas keamanan Negara kita!” perintah Diazh tegas.
“Tapi, …… tapi, …… “ jawabku gugup terbata-bata.
“Tidak ada, tapi-tapian.” bentak Diazh sekali lagi padaku.
“Tapi,........ aku hanya seorang perawat biasa, tak lebih dari itu, Pak Kapten.” kataku lirih dengan nada memelas memohon padanya.
“Oh, maaf suster, aku baru ingat.”
“Aku pula mohon maaf Pak Kapten.”
Sama-sama kami saling memaafkan sambil berpelukan dengan mesra sekali, tak sadar bahwa kami diperhatikan oleh sekian banyak teman-teman sekelasku yang berada disekitar kami. Merah rona wajahku menahan rasa malu, dan segera kami beranjak meninggalkan tempat itu menuju ruang kelas.
Hari bergulir begitu cepat, Ebtanas usai sudah, aku dan Diazh berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tiga minggu kemudian, tiba-tiba aku menerima surat yang dikirim Diazh melalui POS yang isinya seperti demikian :.
LISA yang baik hati !
LISA, begitu aku terima surat panggilan dari panitia penerimaan calon Taruna AKABRI, begitu pula aku bergegas berangkat menuju Jakarta, karena diharapkan paling lambat satu minggu setelah diterimanya panggilan ini semua calon Taruna sudah harus melapor ke panitia untuk selanjutnya diadakan seleksi atau test tahap kedua. yaitu seleksi berkas. Kelak bila aku berhasil lulus seleksi tahap berikutnya, maka hampir pasti kamu panggil Kapten betulan padaku, bukan lagi Kapten bohong-bohongan seperti dulu, sekalipun kita sadar bahwa berkata bohong itu tidak baik, namun semua itu kuanggap suatu motivasi bagiku.
Lisa, perlu kamu catat, bahwa bencana atau melapetaka krisis berkepanjangan disegala bidang melanda bangsa kita hanyalah gara-gara kebohongan belaka, begitu banyak orang-orang berkata bohong membohongi orang-orang yang tidak pernah berkata bohong yang pada gilirannya rakyat kecil kena imbasnya. Hingga disini saja dulu pertemuan kita Lisa, mohon maaf karena aku tidak sempat pamit denganmu, berhubung karena keberangkatanku begitu tergesa-gesa dikejar waktu. Doamu kutunggu selalu.
Salam dariku,
Diash Asmara Dhara
Setelah selesai kubaca, surat itu kulipat kembali sebagaimana semula lalu kumasukkan dalam tas punggungku, kemana saja aku pergi surat itu kubawa selalu begitu gembiranya hatiku menerima kabar darinya.
Hari-hari begitu cepat berlalu, hari berganti bulan bergulir terus dari tahun ketahun berita dari Diazh tak kunjung juga kuterima. Menghitung hari dipenantian lama dengan lelehan air mata yang tak pernah kering. Kini Diazh tak tahu lagi kemana rimbanya. Jejaknya tak terbaca olehku.
Berjalan aku melintasi gedung sekolahku dulu, nampak kini masih tetap kokoh berdiri tegak dengan angkuhnya dan di belakangnya pula masih tetap tumbuh beberapa pohon ketapang rindang sebagai saksi bisu seolah berkata bahwa disini dulu ada dua insan remaja tengah memadu kasih bersumpah setia untuk sehidup semati bersedia membela kebenaran, berpihak kepada rakyat kecil dengan dedikasi pengabdian yang tinggi tanpa pamrih.
Pulanglah Diazhku, Kaptenku, aku menunggumu selalu hingga akhir hayatku.(*)

Makassar, 25 Pebruari 2002
Harian Pedoman Rakyat, 12 Mei 2002
Harian Radar Bulukumba, 17 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar