Selasa, 03 Mei 2011

39. SENANDUNG LARA DI TEPI DANAU TONDANO

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA berlalu, menyisakan bayang-bayang merah menerpa diatas puncak gunung Lokon yang berdiri kokoh, seolah mengulum senyum menjemput malam yang kian mendekat.
Udara dingin kota Tomohon membuatku malas keluar malam, sekalipun teman-teman datang bergantian mengajakku jalan-jalan sekadar refreshing setelah seminggu lamanya bertugas mengamat jalannya pelaksanaan Ujian Negara bagi Perguruan Tinggi Swasta yang ada dikota itu, namun aku menolaknya dengan alasan bahwa aku tak tahan udara malam yang dingin karena takut penyakit reumatik yang aku derita kambuh kembali.
Aku lebih senang memilih tinggal sendirian dikamar hotel tempat kami nginap, baca koran atau nonton TV. tayangan sinetron akhir pekan. Aku tak tahu kemana mereka habiskan malam panjangnya yang begitu indah. Kecuali Minggu esok, mereka rencana mengundang kami rekreasi ke danau Tondano sebagai acara perpisahan, karena hari Senin lusa kami Tim Pengamat Ujian telah harus balik ke Makassar, setelah usai melaksanakan tugas kami sebagai pengamat.
Tomohon kota kecil cantik lagi sejuk, terletak dibawah kaki gunung Lokon, sangat indah dipandang dari jauh membuat banyak wisatawan senang datang berkunjung kesini.
Dari balik puncak gunung perlahan lamban purnama malam menampakkan dirinya memancarkan cahayanya temaram menerpa ke seluruh penjuru kota, membuat suasana malam itu semakin indah.
“Ah, menyesal aku tidak turut serta bersama mereka.” begitu desisku perlahan sendirian dalam kamarku bagai orang sedang ngigau. Tentunya aku akan menikmati indahnya kota Tomohon di malam hari, sekalipun aku harus memakai jaket tebal penangkal dinginnya malam mengelus kulit ari tubuhku yang kurus. Sesaat kemudian terdengar bunyi sandal diseret mendekati kamarku dan tak lama kemudian daun pintu kamarku digedor orang dari luar.
“Selamat malam Moneer.” suara perempuan terdengar lembut dari luar kamar.
“Selamat malam.” balasku sambil bangkit berjalan membuka pintu kemudian mempersilahkannya duduk dikursi tamu. Laura, bersama dua orang perempuan temannya duduk diam dikursi tamu, sepertinya enggan membuka bicara padaku, karena kutahu mereka adalah mahasiswa peserta ujian yang baru saja berakhir sore tadi.
“Barangkali ada yang perlu aku bantu.” begitu tanyaku mulai bicara padanya.
“Ya Moneer, kami adalah mahasiswa peserta ujian mewakili teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum dan Ekonomi mengundang Moneer beserta seluruh anggota Tim Pengamat Ujian Negara dari Makassar untuk turut serta bersama kami berekreasi ke danau Tondano besok pagi, karena kebetulan besok hari Minggu, semoga saja Moneer senang hati menerima ajakan kami.”
“Terima kasih, aku sangat senang, tadi sore Pak Nico dosen Fakultas Hukum telah menyampaikan pula padaku lebih awal, dan aku ingin sekali turut serta karena untuk pertama kalinya aku kesana menyaksikan keindahan panorama danau Tondano.”
“Kalau demikian kami mohon pamit, besok pagi-pagi betul kami akan jemput Moneer ramai-ramai kesini.” begitu ucapnya dengan nada sangat mengharapkanku.
“Oke.” ucapku disertai anggukan kepala.
***
Hari masih pagi, suasana disekitar danau Tondano perlahan-lahan ramai dipadati oleh pengunjungnya, dari berbagai penjuru kota. Mereka sengaja pilih tempat yang agak jauh terpencil dari pengunjung lainnya dibawah teduhnya pepohonan yang rindang terletak diatas sedikit ketinggian agar mata kami bebas memandang kearah bawah danau disertai dengan hembusan angin dingin dari arah pegunungan.
Laura, gadis cantik yang datang malam tadi di tempat penginapan kami hadir lebih awal bersama beberapa orang teman mahasiswa lainnya. Suasana didanau itu terlihat mulai ramai oleh pengunjungnya. Udara sejuk berhembus perlahan dari arah pegunungan dan matahari pagi mulai beranjak perlahan naik menerpa di atas pucuk-pucuk pepohonan.
Suasana semakin semarak ketika anak-anak mahasiswa bergantian melantunkan lagu pilihan mereka didiringi organ tunggal. Nyanyian yang mereka bawakan didominasi lagu Pop daerah Sulawesi Utara. Terakhir Laura melantunkan lagu daerah Minahasa, arti dan maksud sangat sulit kumaknai, namun nada dan liriknya sangat aku senangi, bahkan sangat menyentuh perasaanku. Tiba-tiba acara berubah menjadi nyanyi berantai, tak satupun yang hadir luput untuk tidak menyumbangkan suaranya.
Terakhir tinggal aku satu-satunya yang belum, karena aku lari menghindar bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan, akan tetapi mereka terus memaksaku. Akhirnya untuk tidak mengecewakan mereka terpaksa akupun turut melantunkan sebuah tembang kenangan, Kemesraan, kendati nada dan iramanya kurang pas dengan alat pengiringnya. Seusai, ramai tepuk tangan aplous dari hadirin memuji kebolehanku membawakan tembang kenangan. Setelah acara nyanyi selesai, masing-masing disibuki oleh acara sendiri-sendiri yaitu acara bebas. Ada yang pilih mandi, naik perahu ke tengah danau dan ada pula yang jalan santai di seputar pinggiran danau itu.
Disana, dibawah teduhnya sebuah pohon, kulihat Laura tengah duduk sendirian dengan pandangan mata hampa menatap ketengah danau. Riak-riak kecil keperakan terlihat begitu indah tertimpa oleh terik matahari siang. Aku berjalan perlahan menuju tempatnya dia duduk.
“Selamat pagi, Laura!” ujarku memberi salam padanya.
“Selamat pagi Moneer.” balasnya sambil menantapku senyum.
“Kamu bikin apa disitu sendirian?” tegurku padanya sambil duduk disampingnya diatas rumput hijau.
“Duduk santai, Moneer.”
“Boleh tidak, aku duduk menemanimu?” pintaku padanya.
“Ah, boleh saja Moneer, silahkan!” sahutnya mempersilahkanku duduk di sampingnya.
“Eh, Laura lagu apa yang kamu bawakan tadi?”
“Memangnya kenapa Moneer?”
“Aku sangat senang mendengarnya, bahkan aku sempat terbawa arus emosi kepedihan yang sangat menyentuh hatiku.”
Laura sedikit kaget mendengar pernyataanku. Lalu seketika dia tertunduk diam. Lama sekali, kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.
“Terima kasih, terima kasih Moneer, tapi tidakkah pujian Moneer itu terlalu berlebihan?” tanyanya ragu.
“Oh, tidak, sama sekali tidak.”
“Terima kasih sekali lagi Moneer.”
“Jangan engkau panggil aku Moneer.”
“Sebaiknya aku panggil apa?”
“Kutaksir usia kita tak jauh beda, mungkin lebih tepat bila kau panggil aku anda atau,....kakak.”
“ Iya, khan.”
“Benar kak.” sahut Laura senyum.
“Ya, begitu dong.”
“Eh, hampir aku lupa, lagu apa itu tadi kamu bawakan?” tanyaku ulang mengingatkannya. Kembali Laura diam mendengar tanyaku, sepertinya ada ganjalan berat dihatinya untuk dia ungkapkan.
“Senandung Lara, dari seorang perempuan yang kerap mengalami kegagalan.” begitu jawabnya sedikit puistis. Mendengar ucapnya aku diam sejenak, tak tahu apa maksudnya, kemudian kucoba untuk memancing emosinya.
“Ehem, gagal dalam bercinta mungkin?” begitu kataku bercanda.
“Boleh ya, boleh tidak.” jawabnya berdiplomasi.
Matahari siang bersinar redup, tertutup kabut putih bergelayut dipuncak gunung Lokon. Perlahan-lahan bergeser ke arah barat dibalik perbukitan. Angin berhembus perlahan semakin sejuk terasa menjemput senja yang kian mendekat.
“Laura, boleh aku tahu apa maksudmu?” kembali aku bertanya padanya sembari memegangi pundaknya, setelah sesaat kami diam bersama.
“Baik, dengarlah ceritaku kak.” ucapnya lirih kemudian terhenti sesaat, sembari menerawang menatap langit yang tertutup kabut putih, sepertinya memusatkan perhatiannya pada suatu peristiwa lalu.
Nasib mujur belum juga berpihak kepadaku karena ujian kali ini, aku gagal lagi lulus dalam mata pelajaran Hukum Perdata yang menjadi mata pelajaran momok bagi para peserta ujian. Begitu ujarnya mulai bicara padaku. Kutahu pasti karena kemarin aku tertangkap basah oleh pengamat ujian ketika aku sedang membuka catatan alias nyontek.
Hal itu nekat kulakukan karena untuk kesekian kalinya mata kuliah itu kuulangi selalu, namun tak pernah berhasil lulus. Ujian Negara pada periode I tahun lalu, aku gagal karena konsentrasiku terganggu akibat perhatianku terpusat pada musibah yang menimpa keluarga kami.
Saat ujian sementara berlangsung, aku dikejutkan oleh penyampaian Panitia Ujian bahwa ayah kami yang tersayang telah dipanggil menghadap oleh Yang Maha Kuasa, setelah sempat dirawat di rumah sakit beberapa bulan lamanya.
Akibatnya saat itu, kertas jawaban ujianku kutinggalkan begitu saja diatas meja tanpa terselesaikan. Aku anak sulung dari tiga bersaudara, semuanya perempuan. Ayahku pensiunan TNI-AD berpangkat terakhir Letda. Satu-satunya harapan orang tuaku hanyalah padaku seorang, yang dapat kelak membantu kelangsungan hidup keluarga kami, termasuk kedua adik perempuanku.
Kini musibah serupa terulang kembali menimpa keluargaku. Dua minggu yang lalu sebelum Ujian Negara periode II dilaksanakan, tiba-tiba ibunda yang kami cintai menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa lama dirawat dirumah sakit akibat penyakit stroke yang dideritanya.
Tinggallah kami bertiga bersama adik perempuanku yang masih membutuhkan banyak biaya demi kelangsungan hidup kami. Aku bertekat untuk secepatnya menyelesaikan studiku agar secepatnya pula mendapatkan pekerjaan.
Namun semua itu hanyalah sebatas angan-angan belaka karena tak semudah membalikan telapak tangan. Sirnalah segala harapanku, kandaslah segala cita-citaku.
Begitu Laura mengakhiri ceritanya dengan nada lirih sembari mengusap air matanya menggelinding membasahi wajahnya yang putih bersih.
“Sudahlah dik Laura, semoga saja ada hikmah dibaliknya.” kataku menyabarkan dia.
Matahari telah jauh condong ke barat, suasana disekitar danau itu telah berangsur sepi dari pengunjungnya.
“Mari kita pulang, hari telah hampir malam, teman-teman telah lama menunggu kepulangan kita.” ujarku, sambil beranjak bersama Laura berjalan menuju tempat mereka berkumpul yang sementara berkemas untuk segera berangkat meninggalkan danau itu. Selamat tinggal danau Tondano, kenangan bersama akan kubawa selalu. Kenangan lara hati seorang gadis yang dihempas badai kehidupan yang sangat menyiksa dirinya sebagai insan lemah.(*)


Makassar, 10 Januari 2007

Tabloid Cerdas Kopertis IX, 05 Juli 2007
Harian Radar Bulukumba, 05 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar