Selasa, 03 Mei 2011

49. BANDUNG SELATAN DI WAKTU MALAM

Oleh : Hasbullah Said.-
LANTUNAN lagu keroncong mendayu-dayu dibawakan oleh bundaku terdengar lagi olehku. Ketika rumah yang kami tinggali sunyi, hanya kami berdua, bundaku dan aku sendiri. Disaat mentari pagi hendak beranjak naik, sebelum aku berangkat kesekolah, setelah ayahku ke kantor bekerja atau ketika bundaku sedang mencuci piring didapur dan menggosok pakaian kerja ayahku atau dimalam hari jelang aku tertidur. Disela-sela seperti itu, bundaku sering membawakannya. Aku tak tahu mengapa bundaku sangat senang membawakan lagu seperti itu. "Lagu kesayangannya tentu," begitu pikirku di hati. Padahal banyak lagu lainnya yang ia hafal seperti lagu Dangdut atau Pop.
Ketika aku berangkat ke sekolah dan ayah ke kantor tinggal bundaku sendirian dirumah, karena aku terlahir anak tunggal semata wayang. Tentu sunyi senyap selalu datang bertandang menemaninya apalagi rumah tempat tinggal kami terletak jauh dari jalan raya. Dengan menyanyikan lagu keroncong hatinya sedikit terobati sebagai penawar kerinduan akan kampung halamannya nun jauh disana.
Kalau ayahku tugas keluar kota maka tinggal kami berdua dirumah. Lagu itu dilantunkannya berulang-ulang kali membuat aku bosan mendengarnya. Dari indera pendengaranku kutangkap satu bait, Bandung Selatan Diwaktu Malam. Karena keseringan terdengar ditelingaku maka akhirnya lagu itu akupun sangat menyukainya, bahkan bait demi bait aku hafal dan lancar pula membawakannya.
"Aku sudah jadi anak Bandung bunda." ujarku pada bundaku, ketika sedang menggosok pakaian ayahku.
"Maksudmu?" tanya bundaku.
"Karena aku telah hafal Bandung Selatan Diwaktu Malam, bahkan aku sudah bisa menyanyikannya sama seperti bunda." sahutku dengan riang.
"Bagus, bagus sekali anakku." kata bundaku sambil berjalan masuk kedalam kamar tidurnya membawa pakaian ayahku yang sudah digosok kemudian disusunnya dengan rapi di dalam lemari pakaiannya.
"Berarti dalam jiwa anakku sudah tertanam rasa kecintaan terhadap daerah asal leluhurmu."
"Leluhurku?" tanyaku heran sembari mengerutkan keningku. Bundaku berhenti bicara, lalu berjalan masuk kedapur menyiapkan makan malam.
Diluar bulan purnama bergelayut berayun-ayun diatas ranting pohon, memancarkan cahayanya temaram menerpa bumi. Semakin deras ingatan bagi perempuan muda itu ketika diatas kereta api malam tujuan Bandung-Surabaya sempat berkenalan dengan lelaki bernama Mappatoba seorang pengusaha sukses ketika itu, asal Makassar kota Daeng, dimana perkenalannya itu berakhir dikursi pelaminan.
Kini jodoh pernikahan yang memisahkan segalanya, membuat ia terdampar menetap tinggal di kota Daeng, Anging Mammiri mengikuti suaminya. Kini carut-marut ekonomi rumah tangganya akibat usaha suaminya sebagai kontraktor bangkrut gulung tikar sebagai imbas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
"Leluhurku orang apa bunda?" tanyaku lagi mengingatkan dia setelah sekian lama terdiam.
"Sunda, Jawa Barat, tepatnya Bandung." sahut bundaku dengan nada datar.
Mendengar ucapnya aku mengangguk senyum lalu akupun diam. Terkuak sudah teka-teki yang selalu bergelanyut dihatiku. Pantas bundaku keseringan membawakan lagu-lagu keroncong asal Sunda, ketika sunyi senyap datang bertandang menemaninya disaat aku hendak tertidur, atau disaat senja jelang malam sebelum aku ke surau belajar ngaji.
Mengertilah sudah, bahwa bundaku orang Sunda kawin dengan ayahku suku Makassar, bak pepatah mengatakan asam digunung garam dilaut ketemu dalam belanga. Kupandangi wajah bundaku, kulihat masih tersisa guratan keayuan yang ia miliki sebagai mojang Prihyangan. Gadis Bandung dikenal banyak orang cantik-cantik berkulit putih bersih, halus budi pekertinya, ramah tutur bahasanya lembut nan menawan. Aku sangat bersyukur memiliki seorang ibu seperti dia, bijak dan santun terhadap anaknya.
"Bunda, Endang besok akan ikut festival lagu anak tingkat SMP se-Kabupaten." kataku setelah bundaku usai kerja di dapur menyiapkan makan siang buat ayahku.
"Lalu, Endang ikut, tidak?"
"Ikut dong, doakan ya bunda!"
"Lagu apa yang kamu bawakan?" tanya bundaku lagi.
"Satu lagu wajib, bertema lagu perjuangan, dan satunya lagu pilihan, Endang ambil lagu wajib, Halo-Halo Bandung, pilihanku Bandung Selatan Diwaktu Malam." kataku bersemangat.
“Bagus nak, semoga dapat juara, bunda doakan.”
“Terima kasih bunda.”
Pagi harinya aku berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya agar tidak terlambat karena pagi itu baru pengambilan nada. Ketika usai melantunkan lagu pilihanku, ramai tepuk tangan meriah dari penonton yang memadati gedung sekolah itu, memuji kebolehanku membawakan lagu keroncong Bandung Selatan Diwaktu Malam.
Tak lama kemudian setelah selesai lomba, Tim Penilai segera membacakan hasil keputusannya dengan menetapkan aku sebagai juara pertamanya. Kendati sempat terjadi protes dari beberapa peserta, mengatakan lagu pilihan yang aku bawakan tidak masuk kategori lagu anak-anak, akan tetapi pihak Tim Penilai tetap bersikukuh menetapkan aku sebagai pemenang pertamanya, dengan alasan bahwa lagu pilihan yang aku bawakan justru perlu dipertahankan dan dilestarikan karena di khawatirkan pupus ditelan masa. Merupakan peninggalan budaya bangsa yang tak dapat kita lupakan.
Setiba di rumah, ayah dan bundaku menyambutku dengan hati gembira memelukku sembari menciumi kedua belah pipiku.
“Selamat anakku." begitu ucap kedua orang tuaku menyalami aku sembari meneteskan air matanya pertanda haru bahagia. Piala hadiah untukku tak luput pula dari ciumannya berulang-ulang kali kemudian diletakkannya diatas buffet di ruang tamu sebagai kenangan abadi buat keluarga kami.
***
Bandung kini, tak seindah dulu lagi. Sampah-sampah sering terlihat menumpuk disudut-sudut kota berhari-hari tak terangkut ke TPA oleh Dinas Kebersihan Kota. Suatu pemandangan yang jorok melahirkan bau yang tak sedap bagi warga kota yang lalu lalang disitu. Kesejukan Kota Bandung kini pula berangsur-angsur berkurang, akibat banyaknya pembalakan liar. Hutan digunduli oleh pelaku ilegal logging yang tak betanggung jawab berakibat rusaknya kelestarian lingkungan hidup kita. Berdampak bila musim hujan tiba, banyak warga yang mengungsi akibat banjir yang melanda permukiman mereka. Yang terparah adalah Bandung Selatan menjadi langganan tetap setiap tahunnya akibat meluapnya sungai Citarum.
Berhari-hari bahkan berminggu-minggu korban banjir berada di pengungsian menunggu surutnya air baru mereka balik kerumahnya masing-masing. Semua itu dituturkan oleh bundaku disuatu petang jelang malam. Kutanyakan padanya.:

"Dimana bunda tahu, sedang bunda tak pernah lagi mudik ke Bandung." mendengar ucapku, sejenak bundaku terdiam. Tak disangka-sangka pertanyaan seperti itu akan terlontar dari bibirku yang mungil.
"Benarkah itu bunda?" tanyaku lagi serius.
"Makanya rajin-rajinlah membaca koran dan nonton TV, agar semua peristiwa aktual dapat engkau ketahui."
"Tapi lagu yang sering bunda lantunkan tak sesuai lagi dengan kenyataannya seperti apa yang bunda tuturkan." bantah aku dengan nada perlahan.
"Lagu itu lagu dulu, sudah lama sekali."
"Apa bedanya dulu dan sekarang." tanyaku lagi ingin tahu.
"Begini anakku, dulu dan sekarang sudah sangat jauh beda.” kata bundaku sambil duduk di dekatku di atas karpet yang digelar selalu di depan TV, seusai sholat mahgrib.
"Sekarang nilai-nilai kultur budaya kita berangsur-angsur tergusur terpinggirkan oleh derasnya arus globalisasi yang sangat kuat. Buktinya, lagu-Iagu keroncong seperti yang bunda lantunkan selalu, kini telah hampir hilang pupus di pendengaran kita digantikan dengan lagu Rock atau Pop Barat yang menggelegar memekakkan telinga.
Ironisnya, semua siaran TV kita nyaris hampir tak menayangkannya lagi lagu keroncong seperti itu. Bukan berarti bunda anti dengan lagu Barat atau Rock, akan tetapi lagu warisan leluhur yang kita cintai sebagai peninggalan budaya bangsa, seyogianya kita pertahanankan atau kita lestarikan kembali, agar tidak hilang, terpinggirkan.”
“Ya., nakda sangat setuju bunda." sela aku sambil bangkit berjalan masuk ke kamar tidurku, karena malam telah hampir larut hendak beranjak menjemput pagi yang kian mendekat.
"Selamat malam bunda, selamat malam ayah." ujarku.

"Selamat malam, selamat tidur anakku." balasnya serentak sambil menatap senyum padaku.(*)

Makassar, 15 Maret 2007

Harian Radar Bandung, 20 April 2008
Harian Radar Bulukumba, 01 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar