Rabu, 04 Mei 2011

33. SELENDANG SUTERA UNGU

Oleh : Hasbullah Said.-


AKU yakin, kalau cerita ini sempat pula kamu membacanya, karena aku tahu, minat bacamu begitu besar, kegemaranmu sejak dulu senang membaca buku cerita Novel, Esai dan Cerpen. Sangat kamu gemari dari pada buku pelajaran ketika kita masih duduk di bangku SMP dulu.
Aku bukanlah seorang pengarang atau penyair kenamaan, pandai merangkai kata seindah mungkin, menggiring membawa hanyut para pembacanya ikut bersedih hati atau sebaliknya, hanya karena kehebatan pengarangnya berimajinasi mem-permainkan kata-kata indah.
Namun kamu pernah juga menyanjungku, memujiku, mengakui, kepiawaianku sebagai pengarang, karena setiap lomba mengarang yang di adakan di sekolah kita dulu, selalu jatuh kepadaku sebagai juara pertama. Bukan kamu saja seorang memujiku, akan tetapi hampir seluruh siswa atau teman-teman kita di sekolah, bahkan siswa sekolah lainnyapun juga mengagumiku sebagai pengarang yang berbakat.
***
Kedatanganku didesa ini, yang aku tinggalkan kurang lebih sepuluh tahun lamanya atau mungkin lebih lama lagi dari itu. Desa ini kutinggalkan pergi kekota menuntut ilmu, dan sejak itu pula kita pisah tidak pernah ketemu lagi hingga tulisanku ini sempat kamu membacanya.
Kedatanganku memberi inspirasi yang sangat kuat padaku, memaksakan untuk menulis yang aku sendiri tidak tahu apa namanya. Sebuah laporan, reportase perjalanan, atau mungkin sebuah catatan Nostalgia di SMP, entahlah, ......... Menguak dari dalam benakku bagai rekaman video klips, menyodorkan gambar-gambar yang sangat jelas, sepertinya hikayat lama terungkap kembali muncul dalam benakku.
Suatu kesyukuran karena tugas baktiku sebagai seorang prajurit di mutasikan di sebuah kota yang jaraknya tak jauh dari desa kita ini, berarti aku balik kandang setelah bertahun-tahun lamanya bertugas dirantau orang, berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota lainnya bahkan sampai ke daerah pelosok pedesaan yang jauh terpencil. Kesempatan yang baik kugunakan berkunjung ke desaku, juga desamu, tempat aku di lahirkan dan dibesarkan juga kesempatan untuk mensiarahi kuburan kedua orang tuaku yang telah lama meninggal.
Kenangan lamapun datang bertubi-tubi dalam ingatanku, ketika melewati sebuah gedung sekolah, SMP Negeri 1. Tulisan itu samar-samar hampir tak terbaca karena perjalanan waktu begitu panjang. Di situ masih nampak dua, tiga, pohon mahoni, tumbuh kokoh berdiri tegak dengan angkuhnya dibelakang dekat kebun sekolah, tempat kita bernaung dibawahnya, ketika jam istrahat tiba.
Kusempatkan diri singgah sebentar untuk mengenang masa lalu kita sekalipun tak kudapati siapa-siapa disitu, karena hari itu kebetulan liburan sekolah, kecuali bujang/penjaga sekolah datang menghampiriku, lalu kusalami dia memperkenalkan diriku, bahwa aku pernah sekolah disini dan sempat tamat beberapa tahun silam.
Dari raut wajah lelaki paruh baya itu kulihat sangat senang dan bahagia, karena pertama kalinya dikunjungi oleh seorang Perwira Militer tamatan dari sekolah ini. Sekiranya bukan liburan sekolah aku datang ke sini, tentu guru-guru kita dulu yang masih aktif mengajar merasa bangga dan bahagia melihat anak didiknya berhasil.
Kudekati pohon mahoni yang menyimpan banyak kenangan, dan di situ kutemukan masih nampak bekas tanganmu yang jahil dibatang pohon mahoni itu, bekas kerukan benda tajam dari serpihan pecah beling, tertulis : Budi dan Yuli, sekalipun tulisan itu hampir pupus nyaris tak terbaca akibat ditelan usia panjang seiring pertumbuhan cambiun mahoni yang kian membesar.
Memoriku semakin tajam mengingat-ingat beberapa peristiwa silam, ketika kita masih duduk di bangku SMP, berseragam putih biru, dengan lencana di saku baju kita masing-masing. Bernaung di bawah pohon mahoni, ketika jam istrahat tiba kita bercanda, bertutur kata menikmati irama alunan nada cinta yang polos lugu.
Waktu itu kamu lebih banyak bercerita tentang cita-cita setelah kita tamat nanti di SMP, karena ujian akhir tidak lama lagi berlangsung. Kau tanya padaku, setelah tamat kemana nantinya kamu lanjut? Lalu kujawab, SMA dan setelah tamat disitu, aku bercita-cita masuk AKABRI. Kamu senyum manis menatapku mendengar ucapku. Kemudian balik aku bertanya padamu dan spontan kau jawab.
“ Sekolah Perawat.”
“Motivasimu apa?” tanyaku lagi. Akan kurawat petugas keamanan yang terluka kena lemparan batu ketika terjadi bentrokan dengan para pengunjuk rasa “
“Selain itu, siapa lagi?” tanyaku mencecar membuat kamu kelabakan tak dapat menjawab dengan segera. Kamu diam tak memberi jawaban padaku. Tidak adil, kataku lagi protes dengan nada kesal mendengar pernyataan sikapmu itu. Juru rawat harus berlaku adil dan netral terhadap siapapun juga, tidak pilih-pilih kasih hanya petugas keamanan saja.
Masih kamu diam membisu, lalu sesaat menengadah menatap langit yang tengah berhiaskan awan putih berarak. Kulihat ekspresi wajahmu sepertinya ada penyesalan lahir tiba-tiba dari lubuk hatimu paling dalam, dengan mata sayu kamu balik menatapku lekat-lekat, kemudian mengulurkan tanganmu menyalami aku sembari berujar.
“Maafkan aku Budi!” lalu kamu lanjut bicara padaku.
“Termasuk pengunjuk rasa yang terluka kena tembakan peluru karet oleh petugas keamanan, akan kurawat dengan baik. Aku berjanji, bahkan bersumpah Demi Tuhan akan kutepati janjiku nanti.”
Itu yang benar, kamu telah berlaku adil dan netral. Kamu seorang juru rawat yang berhati mulia. Begitu ujarku memuji sembari meremas-remas jemarimu yang halus mulus.
Sejenak perbincangan kita terhenti ketika lonceng sekolah berdentang bertalu-talu pertanda jam istrahat telah usai. Semua siswa berhamburan berlarian masuk menuju ruang kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
Masih dalam bayang-bayang ingatan masa lalu, masa kanak-kanak kita yang penuh keceriaan, lucu, polos dan lugu, mandi bersama di pancuran air di bawah kaki bukit, di situ ada air yang mengalir dari atas bukit tak henti-hentinya sepanjang masa. Warnanya bening, sebening pancaran matamu yang lahir dari lubuk hatimu yang polos.
Sepulang dari sekolah kita sama-sama belajar ngaji di surau beserta teman-teman lainnya. Pernah kamu distraf oleh guru ngaji kita, gara-gara tidak membawa serta mukena perlengkapan sholat kesurau tempat kita belajar ngaji, alasanmu sedang dicuci dan belum sempat kering di jemuran.
Waktu itu kamu disuruh duduk sendirian di shaf paling belakang tidak ikut sholat Ashar berjamaah, menunggu teman usai agar kamu dapat pinjam mukenanya lalu kamu sholat sendirian. Guru ngaji kita sangat marah padamu. Menghukum kamu disuruh mengisi air dua buah gentongan besar hingga penuh yang kebetulan kosong untuk dipakai berudhu. Nafasmu tersengal-sengal kecapaian, menimbah air sumur sedalam kurang lebih 20 meter. Aku sangat kasihan melihatmu. Aku ingin membantumu, namun guru ngaji kita melarangku. Sempat kulihat matamu sembab, menahan kepedihan hatimu yang kamu pendam.
Sesudah itu kamu tak pernah lagi lalai membawa perlengkapan sholat ke surau karena kamu sudah jera dan takut distraf. Sepulang sekolah kala musim hujan tiba, kita berpayung daun pisang berdua, karena satu-satunya alat yang mudah didapat di desa kita sebagai pengganti payung yang sulit diperoleh. Sialnya dalam perjalanan pulang tiba-tiba datang angin kencang menerjang mengoyak-ngoyak daun pisang itu, akhirnya kita tiba dirumah masing-masing dengan pakaian basah kuyub.
Keesokan harinya kamu sakit dan tidak masuk sekolah. Seminggu lamanya baru kamu sembuh dari sakitmu. Aku merasa kesunyian selama itu, karena pulang pergi sekolah tanpa bersamamu.
Ujian akhir SMP usai sudah, kita berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan, bahkan sangat memuaskan karena aku berhasil keluar sebagai rangking umum dan kamu peringkat ketiga, walau kamu kalah tipis oleh Putri yang menjadi saingan beratmu sejak duduk di kelas satu SMP.
Perpisahan sekolah ditetapkan di suatu tempat perbukitan yang ramai dikunjungi orang karena udaranya sejuk. Jaraknya kurang lebih 10 km dari sekolah kita. Teman-teman sebagian naik bendi, sebagian naik sepeda, karena waktu itu kendaraan roda empat belum begitu banyak di desa kita. Kamu mengendarai sepeda kumbang metalik warna biru yang baru saja kamu dibelikan oleh ayahmu sebagai hadiah untukmu karena kamu lulus dengan nilai memuaskan.
Sepulang dari acara perpisahan kita berombongan naik sepeda menapaki jalan yang berliku-liku, dan ketika tiba di penurunan dekat tikungan tajam itu, sepeda yang kamu kendarai ban depannya slip terpeleset dan kamu jatuh terpental di atas jalan bebatuan. Jidatmu membentur krikil tajam yang berserakan banyak di sepanjang jalan. Seketika darah segar mengucur dari jidatmu membasahi hampir seluruh pakaianmu. Teman-teman kita pada panik melihatmu. Tak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menolongmu lalu aku ingat, ketika ibuku dulu, jari tangannya tersayat pisau dapur hanya kulit kayu cina diperas airnya kemudian diteteskan di atas lukanya dan seketika itu pula darahnya berhenti mengucur.
Hal serupa kulakukan sebagai upaya pertolongan pertama padamu, dan kayu cina tak sulit diperoleh karena tumbuh banyak di sepanjang jalan pedesaan. Rupanya suatu upaya pertolongan pertama yang cukup berhasil kulakukan. Akhirnya kita berboncengan pulang ke rumahmu untuk selanjutnya ke Puskesmas mengobati lukamu. Kamu senyum menatapku sembari berujar terima kasih, semoga cobaan ini ada hikmah dibaliknya.
***
Dalam angan-angan panjang kubayangkan seorang wanita muda berseragam putih-putih bertutup kepala putih bersih ditengah bagian depan terdapat logo palang merah nampak jelas dipandang dari jauh. Sibuk dalam kesehariannya sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit, di sela-sela maraknya aksi unjuk rasa yang terjadi dimana-mana hampir setiap saat. Jarum suntik ditangannya tak pernah lepas sambil berlari-lari kecil menuju ruang UGD, di mana seorang pasien petugas keamanan sedang terbaring lemah diatas kereta dorong terluka serius pada bagian kepalanya akibat kena lemparan batu, ketika terjadi bentrokan dengan pengunjuk rasa, memprotes kebijakan pemerintah kota menggusur seluruh bangunan liar milik pedagang kaki lima di sepanjang jalan protokol menuju Bandara dengan alasan sangat jorok mengganggu keindahan kota. Mereka melakukan perlawanan dan tetap bertahan berusaha menghalang-halangi petugas keamanan, dengan alasan tindakan mereka tidak manusiawi bahkan ada diantara mereka melempar batu kearah petugas. Korban berjatuhan kedua belah pihak tak terelakkan. Mobil ambulance meraung-raung disepanjang ruas jalan menuju rumah sakit terdekat.
Sesudahnya perempuan juru rawat itu berpindah tempat ke ruang lainnya di mana terdapat beberapa orang pengunjuk rasa dirawat, terluka kena tembakan peluru karet dari petugas keamanan. Dengan sabar dan penuh rasa tanggung jawab perempuan itu merawat korban kedua belah pihak tanpa pilih kasih. Perempuan juru rawat itu tak lain adalah Suster Yulianti, perempuan cantik berwibawa memakai seragam putih-putih.
Dia telah buktikan janjinya ketika ia masih sekolah di SMP dulu, bercita-cita ingin menjadi perawat yang baik, merawat siapa saja tanpa pilih kasih, aku sangat kagum melihatnya. Jika apa yang kubayangkan ini betul-betul terjadi, berarti doamu terkabul dari Yang Maha Kuasa karena kutahu kamu perempuan soleha rajin dan taat beribadah kepada-Nya. Sebaliknya apabila tidak demikian, hal tersebut wajar-wajar saja, karena tidak semua impian jadi kenyataan.

***
Diterminal kecil dan tua itu. Kita berkemas untuk segera berangkat menuju kota yang berbeda. Kamu rencana lanjut sekolah perawat sesuai cita-citamu yang kamu impikan selalu, dan aku lanjut ke SMA juga sesuai keinginanku sejak dulu.
Sayangnya, sekolah yang masing-masing kita pilih tidak satu kota yang sama, keduanya saling berjauhan jaraknya. Pagi itu, untuk pertama kalinya kulihat kamu peminim sangat dewasa mengenakan jilbab membungkus rapat rambutmu yang hitam mengkilap.
Aku sangat senang melihatmu, karena kamu telah laksanakan dengan konsekwen salah satu syariat Islam yaitu agama yang sama kita anut. Aku yakin, kamu mengenakan jilbab bukan karena ikut-ikutan mode yang trend, akan tetapi atas kesadaranmu sendiri tanpa paksaan dari siapapun lahir dari dalam hatimu yang tulus ikhlas. Dan aku tahu kamu terlahir dari lingkungan keluarga religius taat beribadah dan sangat dihormati oleh masyarakat di desamu.
Detik-detik keberangkatan kita, berat nian rasanya engkau melepas aku pergi. Kamu pegang erat-erat tanganku diiringi deraian air mata yang mengucur dari kelopak matamu yang bening.
Sesaat kemudian dari dalam tas sandangmu, kamu keluarkan sehelai selendang sutera ungu, warna favoritmu yang sangat kamu senangi sejak dulu. Kemudian melalui tanganmu yang halus, kamu kalungkan melingkar dileherku sembari berujar dengan nada lirih :
“Kenangan abadi buatmu sebagai pengganti diriku kala kamu kesunyian. ”
Aku hanya mampu menganggukkan kepala sebagai isyarat tanda terima kasihku padamu, sambil berjalan meninggalkanmu menuju mobil yang segera akan berangkat membawaku pergi. Aku berangkat lebih awal karena kota yang akan kutuju lebih jauh jaraknya. Kamu sesunggukan terisak berdiri terpaku dekat pintu keluar terminal sambil melambaikan tanganmu padaku.
Kamu usap air matamu dengan lenso yang kamu bawa selalu. Kubalas lambaian tanganmu itu, dan tak lama kemudian kamu telah menghilang lenyap dari pandanganku, karena mobil yang aku tumpangi telah melaju dengan cepatnya diatas aspal licin menuju kota tujuan. Selamat berpisah sampai jumpa lagi.(*)


Makassar, 15 Agustus 2005

Harian Pedoman Rakyat, 30 Oktober 2005
Harian Radar Bulukumba, 25 Juli 2009
Mingguan Inti Berita, 07 Pebruari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar