Kamis, 05 Mei 2011

21. LARA HATI OLEH - OLEH KUBAWA PULANG

Oleh : Hasbullah Said.-


PAGI menyapa berselimut kabut dingin. Mentari pagi yang biasanya mendung dan suram dibalik tirai gerimis, kini tidak lagi malu-malu mengintip diufuk timur, terjepit diantara celah-celah hutan beton metro Makassar. Bundar telanjang berwarna merah saga, lalu sinarnya sehat menerpa seluruh permukaan bumi. Cakrawala bersih dari awan, tidak ada yang berarak atau bergelayut dan langitpun diam termangu bisu, bukti nyata sekedar untuk menyatakan pagi ini cerah benar.
Semilir pagi berhembus lembut mengelus tubuh kami, sementara Legenda sepeda motorku warna violet tetap kularikan dengan kecepatan tinggi diatas aspal hitam mulus, dari arah utara ke selatan lalu belok ke timur menuju luar kota Makassar. Dari balik kaca spion motorku, kulihat jilbab Waty warna putih bergoyang lembut berkibar-kibar tertiup angin kencang.
“Pelan-pelan aja Kak Udin, biar lambat asal selamat!” pinta Waty di- boncenganku mengingatkan aku dengan nada cemas.
“Ya, sayang.” sahutku mengangguk mengiyakan permintaannya seraya mengundur kecepatan sepeda motorku. Kupikir memang ada benarnya ia berkata demikian, karena perbincangan kami tidak akan terdengar jelas terbawa oleh kesiur angin kencang, juga malapetaka senantiasa datang mengintai kami dalam perjalanan jauh seperti ini.
“Pagi ini kita kemana?” tanya Waty di belakangku dengan nada lembut.
“Mana-mana kamu suka, Malino, Tope Jawa, Tanjung Bira, atau kita ke Permandian Alam Birta Ria Kassi, aku akan ikut bersamamu kemana kau mau pergi, karena kau sendiri minta padaku ditemani ke tempat rekreasi untuk menghilangkan kepenatan yang mendera sehabis KKN berbulan-bulan lamanya dipedesaan.” sahutku menawarkan beberapa tempat rekreasi padanya. Waty bingung memutuskan pilihannya dimana tempat rekreasi yang ideal dan cocok buat kami berdua. Sejenak kami diam, hanya suara mesin sepeda motorku terdengar menderu-deru diatas aspal mulus dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi, terus menuju kearah timur melewati kota Sungguminasa.
“Kita Ke Birta Ria saja!” kata Waty mantap menetapkan pilihannya. Hari ini minggu ramai anak muda berkunjung kesana, karena sejak diserahkan pengelolaannya dari Pemda setempat ke pihak sawsta maka permandian Birta Ria sekarang jauh lebih indah, karena telah tertata apik dengan berbagai fasilitas umum sehingga menambah panoramanya semakin cantik. Lanjut Waty sekali lagi meyakinkan aku seraya ia berpegang erat melingkar dipinggangku.
“Terserahlah.” sahutku singkat sambil kularikan sepeda motorku lebih laju dari semula, agar kami tidak tertangkap panas matahari siang.
***
Girimis tipis dicakrawala melahirkan pelangi indah dikaki langit. Seekor burung balam terbang rendah karena ia kelelahan lalu hinggap diranggas dahan basah, mengoyang-goyangkan sayapnya menghalau air lengket dibadannya.
Dibawahnya terdapat laut lepas dengan sepuas mata memandang, pada pinggirannya berbingkai pasir putih kemilau diterpa mentari siang seolah berdendang ria mengikuti alunan irama gelombang laut berlarian ketepian menghempaskan dirinya kedinding tebing karang. Percikannya melambung tinggi, lalu jatuh membasahi jilbab putih Waty disampingku.
Yuk, kita pindah disini dik, khawatir kau basah kuyup, sedang kamu tidak membawa pakaian ganti.” pintaku sambil bangkit membimbing tangan Waty menghindari percikan air laut yang semakin deras menghantam dinding bukit karang, bernaung dibawah pohon jati tumbuh tak jauh dari bibir pantai.
Panorama laut sangat indah dan menawan hati, namun semua itu bukanlah suatu pemandangan yang terlalu mengasyikkan bagiku, kecuali Waty karena ia merasa dirinya tengah berada di kampung halamannya sendiri, ia terlahir dari keluarga nelayan asal pulau Muna Sulawesi Tenggara.
“Kamu sangat senang dengan laut ya, Waty?” tanyaku sesaat setelah kami duduk diatas onggokan pasir putih dibawah teduhnya pohon jati menghadap kearah bawah laut. Waty mengangguk senyum, lalu berujar :
“Aku cinta laut, karena aku “ Anak Nelayan.”
“Akupun demikian, karena aku lahir dari lingkungan keluarga nelayan.” balasku berkelakar.
“Akh, kamu bohong mana ada laut di Sidrap.” bantah Waty dengan nada protes, lalu ia mencubit punggungku. Aku berpura-pura meringis kesakitan, walaupun sesungguhnya aku senang dan geli diperlakukan seperti itu.
“Ehem, … ada harimau betina mencakarku, kukunya sangat tajam membuat aku meringis kesakitan.” kataku bercanda.
“Mana, …. ?” tanya Waty seolah kebingungan.
“Disampingku, pakai jilbab.”
“Mungkin harimau jadi-jadian.” balas Waty bergurau.
“Maafkan aku Udin.” sambungnya sambil menjabat tanganku dengan erat.
Semilir pantai berhembus perlahan menggoyang dahan pohon jati membuat satu, dua daunnya yang kekuningan jatuh berguguran disekitar kami. Matahari siang perlahan lamban bergerak naik membakar ubun-ubun. Kami tak turun mandi karena tak membawa serta pakaian ganti, lagi pula kami lebih senang duduk santai menghirup udara pantai sambil ngobrol seputar kegiatan kampus.
Berbagai macam kegiatan Mahasiswa di lakukan sehabis ujian semester dan juga saat sekarang ini sedang ramainya demonstrasi dilakukan oleh segenap elemen mahasiswa menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, TDL dan Telepon, semua itu dilakukan dengan menutup sebahagian badan jalan membuat kemacetan arus lalu lintas tak terelakkan.
Aku kenal Waty sejak tiga bulan lalu, ketika kami satu kelompok KKN di- pedesaan. Walaupun aku tidak se-Fakultas dengannya, namun se-Perguruan Tinggi Swasta yang sama. Aku memilih jurusan Kehumasan pada Fakultas Ilmu Komunikasi dan Waty memilih Jurusan Hukum Perdata pada Fakultas Hukum.
Aku sangat mengagumi Waty, karena banyak kelebihan yang ia miliki. Tutur bahasanya lemah lembut, cara berpakaiannya sangat sederhana dengan jilbab yang tak pernah lepas bergeser menutupi seluruh permukaan rambutnya, itulah yang membuat aku sangat mengaguminya.
Sudah satu tahun lebih sehabis aku di wisuda, namun selama itu pula aku belum punya pekerjaan tetap. Hanya satu-satunya kegiatanku adalah menulis, aku menulis dan terus menulis, apa saja. Aku menulis karena disanalah kutemukan kehidupanku yang sebenarnya. Ada kepuasan bathin tersendiri yang kuperoleh dari menulis. Aku mengabadikan setiap kenangan dan mimpi-mimpi yang kupunyai, walaupun hanya sebatas angan-angan belaka yang takkan pernah terwujud. Aku bisa melakukan apa saja dalam tulisanku.
Ternyata semua itu tak pernah membuat aku merasa puas. Kecuali Waty, ia lebih senang memutuskan pulang kekampung halamannya, dengan membawa sejuta kegagalan membuncah didadanya. Kecewa, gagal dalam seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, hanya karena ketidak mampuannya menyetor uang sejumlah puluhan juta rupiah.
Ia tak lebih dari seorang anak nelayan yang hidup pas-pasan di kampung halamannya, tidak seperti dengan anak orang berduit lainnya dengan mudahnya lulus seleksi tanpa susah payah, karena seleksi hanyalah sekedar formalitas baginya. Uang adalah segala-galanya.
Entah, bagaimana caranya ia harus membayar utang orang tuanya di- kampung halamanya sebagai biaya semasa ia kuliah. Uang berbunga dari juragan tempat ayahnya bekerja. Entah kini sudah lunas atau belum.
Tak terhitung berapa banyak untaian doa dan air mata orang tuanya seusai sholat, semuanya di peruntukkan baginya. Kini ia balik ke kampung halamannya dengan tangan hampa. Semua itu adalah takdir yang telah di tentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Lambaian tangan perpisahan Waty sangat mengoyak relung hatiku, ketika dia diatas kridor dek 3 KM. Tilong Kabila, hendak bertolak meninggalkan dermaga Sukarno-Hatta menuju Bau-Bau dan Muna semakin lama semakin jauh, dan akhirnya hilang lenyap dipandanganku terlindung dibalik pulau Khayangan. “ Selamat jalan Waty, Sayangku,......................! Sampai jumpa lagi.“ (*)


Makassar, 12 Januari 2003

Harian Radar Bandung, 14 Januari 2007
Harian Radar Bulukumba, 01 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar