Selasa, 03 Mei 2011

96. KETIKA SANG CAMAR PUTIH TERBANG JAUH

Oleh : Hasbullah Said.-


HIDUP ini adalah bagaikan misteri yang kekal abadi. Dia mengalir mengikuti sepanjang alur perjalanan hidup manusia. Apa yang terjadi esok harinya sungguh tak dapat di prakirakan pasti. Terus menjadi rahasia yang mengangkang waktu. Tak terpecahkan dan tak akan mungkin. Sangat mustahil. Itu kataku. Tak tahu orang lain atau orang sering menyebutnya paranormal. Padahal manusia punya banyak ke-kurangan dan keterbatasan.
Sama seperti kisahku dengan Sari Miranda. Kisah cinta yang berujung dengan kegagalan. Camar Putih begitu kuberi nama comotan. Aku sendiri yang memberinya. Karena selain dia berkulit putih bersih dia memiliki kening bagai sayap burung camar saling merapat. Sang camar gadis dengan penuh kelembutan yang mempesona.
Dia membawaku dalam angan yang tak berkesudahan. Bagai angan yang tak bertepi. Aku tak pernah henti dan sepertinya aku terpenjara dalam kepungan bayangannya. Akhirnya aku terjaga dalam pesona itu. Dan paling terakhir kudapati adalah benturan realita tak terperih. Yaitu rasa kecewa yang amat dalam.
Begini kisahku,...............................
Aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini aku begitu getol dengan facebook, sejak aku kenal dengan dunia maya. Sepertinya tiada hari tanpa facebook. Siang itu aku membuka facebook via modem Lap Top milikku. Mencoba mencari teman lama di kumparan waktu yang telah tertimbun debu silam. Kuingin menemuinya salah seorang dari mereka sekadar untuk bernostalgia semisal teman sekolah dimasa SMU. Mengulas panjang kenangan lama semasa remaja yang kulewati penuh tawa canda keriangan. Atau mungkin kenangan cinta polos lugu, kayak cinta monyet.
Tapi tidak. Sudah kuutak-atik mouse ditanganku namun tak satupun kawan lama yang kutemukan. Yang mengherankan justru seraut wajah manis dari sebuah –
gambar profil yang muncul dibalik layar monitorku. Sosok menyerupai bidadari yang hendak turun mandi di bawah lengkungan pelangi indah warna-warni di kaki langit. Kontan saja aku jatuh hati melihatnya dengan pesona kening dan wajahnya yang kuning langsat. Makanya kuberi nama Sang Camar Putih.
Rasa penasaranku mengebu-gebu tak terelakkan lagi. Segera saja aku add Sari Miranda, gadis cantik yang mengingatkanku seekor burung camar yang terbang lincah diatas hamparan ombak gemulai mana kala senja telah turun. Aku kagum melihatnya. Percakapanku dengan Sang Camar Putih sebagai berikut :
“Kaca mata hitam yang kamu pakai itu, aku sangat senang melihatnya.” Aku.
“Ehem, ada juga yang memujiku.” Sari.
“Ya, betul, aku tidak main-main.” Aku.
“Eh,.....siapa kamu.” Sari.
“Aku Buyung Anshari. Aku pemuja cewek yang pakai kacamata dengan kulit
putih bersih sama sepertimu. Boleh nggak aku tau kamu orang mana? Aku.
“Tebak sendiri.” Sari.
“O, kalau bukan Manado, pasti kamu blasteran Tinghoa, sayang karena
matamu tak nampak, tertutup kaca mata hitam jadi tak dapat aku pastikan.”
Aku.
“Dua-duanya salah, tidak ada yang benar” Sari
“Kalo gitu aku ampun, kalah deh.” Aku.
“Bandung, kalo kamu?” Sari
“Em, Padang. Pantas, begitu raut wajahmu lembut. Karena semua orang tahu
gadis Bandung cantik-cantik lagi putih bersih. Belum cara ngomong atau
dialeknya sangat memikat. Sayang karena aku belum dengar suaramu. Bagai
dentingan kayak bulu perindu yang melenakanku. Itu pasti.” Aku.
“Gombal ni yeee......!” Sari.
Percakapan perdanaku dengan Sari Miranda terhenti sampai disitu. Aku terbawa hayut dalam lamunan berkepanjangan dalam pantasi liar tak bertepi. Aku sangat memujinya. Memujanya. Mungkin ini adalah sebuah penilaian yang terlalu dini dan berlebihan. Tapi ah, perduli, keinginan itu kadang tak termakan oleh logika.
Pada keesokan harinya percakapanku dengan Sari Miranda berlanjut. Matahari pagi begitu sehat tersembul dari balik kisi-kisi jendela kamarku. Lap Top kembali berada dihadapanku.
“Selamat pagi Sari,..........semoga hari ini baik-baik adanya!” Aku.
“Alhamdulillah, berkat doamu, aku baik-baik aja, amiiin...........” Sari.
“Sari nggak ke kampus ini pagi?” Aku.
“Ya. Ada kuliah pukul sembilan. Tapi karena kamu on line. Maka terpaksa
aku tunda.” Sari.
“Apa itu betul.” Aku.
“Betul. Sumpah deh.” Sari.
“Sumpah apa?” Aku.
“Sumpah pocong...........!” Sari.
“Aku tak membiarkanmu mati kena sumpah, karena aku sayang kamu...........”
Aku.
“Huhhhh. Maunya deh. Eh, apa kamu sadar, ini dunia maya. Mirif dengan
dunia mimpi. Penuh misteri.” Sari.
“Maksudmu?” Aku.
“Masa, kamu nggak tahu.” Sari.
“Aku, tahu. Tapi cinta itu nggak ada yang nggak mungkin. Beberapa pasang
remaja yang cintanya bersemi lewat dunia maya lalu berlanjut dipelaminan
kemudian hidup rukun bahagia dalam membina rumah tangganya.” Aku.
“Sari nggak tau mau bilang apa, tapi tetap ada keraguan................?” Sari.
“Kau ragukan apa, aku kan remaja cakep lho.” Aku.
“Karena kita berhubungan hanya di dunia maya. Kita belum pernah ketemu.
Aku tak ingin beli kucing dalam karung?” Sari.
“Jadi apa yang harus aku lakukan?” Aku.
“Ya, datang lho ke Bandung.” Sari.
“Oke, aku janji.” Aku.
Oh, Sang Camar Putih memang menggemaskan. Amat sangat. Aku terpana tanpa bisa kucegah. Aku terhenyak diam. Diam mematung menghadirkan suatu tanya dihati. Aku diminta datang ke Bandung? Aku berpikir lagi. Bagaimana, ya. Aku sangat suka dengan Sari. Tidak main-main. Dan Sang Camar Putihpun merasakan gejolak rindu yang serupa denganku.
Akhirnya menjelma menjadi benih cinta yang bermekaran direlung hatiku yang paling dalam. Rasa rindu sering datang berdentang-dentang menjemputku tanpa kenal waktu dan situasi. Dan itu terobati bila aku berhubungan dengan Sari, kalau tidak melalui ponselku. Bercerita banyak tentang dunia remaja dan angan-angan.
Seusai, suaranya seolah menyusup masuk kedalam rangga pori kulitku, tak mau hengkang bersembunyi dalam detak jantungku yang berpacu keras tak beraturan. Seolah bergelayut dalam helaan nafasku.
Tiba-tiba isyarat itu datang. Berdengung riuh dalam hayal yang tak berkesudahan. Setiap helaan napas pasti Sari hadir dalam benakku. Isyarat itu mengajakku, bahkan menyuruhku untuk hadir bersua dengannya membawa sofortifitas. Sebuah alamat cantik dikirimkan padaku melalui SMS. Aku datang memenuhi panggilanmu agar keraguan itu enyah darimu. Itu akan kukatakan padanya bila aku sua dengan Sari sebagai awal percakapanku dengannya.
Seminggu sesudahnya, isyarat itu datang lagi membawa tekad yang kuat untuk berangkat ke Bandung. Berangkat dengan hanya berbekal kenekatan. Bus malam yang kutumpangi melaju meliuk-liuk ditikungan jalan yang tajam.
Bagaikan Sang Camar Putih meliuk-liuk dibenakku membuat mataku terpejam hingga tertidur lelap diberanda hatinya, lalu bermimpi melewati hari-hari manis bersamanya. Tentang sebuah rumah mungil kubangun bersamanya diatas lahan rimbun ditumbuhi banyak bunga melati yang menebarkan bau harum disetiap sudut ruang. Tempat anak-anak bermain berlarian berkejaran dengan tawa canda keriangan. Aku ingin bermukim dihatinya hingga akhir usiaku. Dalam irama kasih dengan dentingan melodi cinta yang melenakanku.
Aku terjaga dalam mimpiku yang indah ketika bus malam telah tiba dengan selamat di terminal Kampung Rambutan Jakarta. Perjalanan kulanjutkan menuju Bandung dengan wajah manis terlukis selalu diwajahku.
Matahari sehat menerpa bumi disaat aku tiba di kota Bandung. Kota cantik lagi sejuk yang memiliki banyak tempat-tempat wisata tersebar dimana-mana mempesonakan bagi setiap pengunjungnya. Aku tiba didepan rumah dimana alamat yang telah diberikan Sari kepadaku.
Sebuah rumah mewah dengan pekarangannya yang asri rindang ditumbuhi banyak bunga warna-warni. Tapi betapa kagetnya aku, setelah kulihat rumah dimaksud, pintunya tertutup rapat. Nampak lengang, tak berpenghuni. Pada pintu depannya terdapat segel dengan tulisan : BANGUNAN/RUMAH INI DALAM PENGAWASAN PT. BANK SEJATI. Tbk.
Seorang wanita paruh baya tetangga samping rumahnya, menyongsongku.
“Ada perlu apa Mas?” tanyanya padaku dengan ramah.
“Boleh tanya Bu, apa disini tinggalnya Mbak Sari Miranda?” tanyaku sopan sembari kutunjuk kearah rumah dimaksud.
“Ya, benar sekali Mas, ini rumah keluarga Pak Sumargono ayah Mbak Sari. Tapi tiga hari lalu mereka udah pindah ke Jakarta.”
“Apa tidak meninggalkan alamat barunya di Jakarta sama ibu?” tanyaku ingin tahu.
“Nggak, mereka pindah begitu buru-buru.”
“Oke Bu, terima kasih banyak, permisi.” sahutku sambil kumelangkah pergi meninggalkannya.
Sekuat tenagaku berupaya ingin menemui Sari. Kucoba kuhubungi via ponselnya, namun gagal. Tak ada jawaban darinya. Terpaksa segera kuberangkat meninggalkan kota Bandung menuju Jakarta dengan membawa luka hati yang amat perih. Aku hanya bisa pasrah. Tak ada yang bisa kulakukan.
Melalui face bookku kucoba kuhubungi dia dengan kalimat sebagai berikut :
Maafkan aku Sari, kemarin siang aku datang memenuhi harapmu sesuai janjiku beberapa hari lalu, mengatakan aku akan menemuimu. Tapi betapa kecewanya aku setelah kutiba, kudapati pintu rumahmu tersegel tertutup rapat, tak berpenghuni. Tak satupun keluargamu yang kutemui disana. Melalui tetanggamu kuperoleh informasi mengatakan kamu pindah ke Jakarta tiga hari lalu bersama keluargamu. Terpaksa aku balik ke Padang dengan membawa hati yang kecewa.
Hingga kini aku tak tahu dimana kakimu berpijak. Di belahan bumi mana
kamu berada. Aku menunggumu selalu. Tapi tolong jangan minta aku untuk melupakanmu. Akan kubawa kisah buram ini disetiap langkah yang kulewati.
Aku berharap disuatu waktu kita akan bertemu, sekalipun kamu telah di-persunting seorang lelaki yang baik dan menyayangimu dengan setulus hati. Bukankah cinta itu tidak selamanya harus memiliki.
Sesudahnya itu, hingga kini aku tak berhubungan lagi dengan Sari Miranda. Dia menghilang bersama facebooknya, yang menyimpan kenangan manis bagiku namun memiriskan hati. Kuat dugaanku, dia merasa malu padaku setelah kuketahui rumahnya bermasaalah dengan kredit Bank yang macet.(*)


Makassar, 11 Maret 2010

Mingguan Inti Berita, 11 April 2010
Harian Radar Bulukumba, 28 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar