Kamis, 05 Mei 2011

03.SURAT DARI MALAYSIA

Oleh : Hasbullah Said.-

SENJA temaram, dan mentari mulai condong kebarat. Udara rada dingin terasa sehabis hujan deras. Hanya sesekali hembusan angin senja menerpa pucuk-pucuk pohon harumanis tumbuh di samping utara rumahnya, membuat daunnya yang kering berguguran bertebaran menimpa atap seng itu melahirkan suara riuh memecah keheningan senja. Perempuan bernama Bungalia tersentak dari lamunnya ketika daun pintu kamarnya terkatub oleh terpaan angin seketika.
Didalam kamarnya itu, ia berbaring bermalasan menatap langit-langit kamarnya terbuat dari kayu lapis bercat putih telah kusam warnanya karena lama tak terawat. Tak ada barang atau perabotan mewah di dalamnya, kecuali sebuah dipan kecil terbuat dari kayu jati berhadapan dengan sebuah buffet berwarna hitam yang di atasnya terpajang foto sepasang pengantin Laila anak sulungnya dari dua bersaudara semuanya perempuan, bersanding di pelaminan dengan seorang perjaka asal Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia. Sungguh tak kuasa hati perempuan itu menatap wajah gambar putrinya yang sudah sekian lama berpisah dengannya mengikuti suaminya di Negeri Jiran Malaysia.
Hatinya di dalam kadang berontak meratap sedih menyesali pernikahan itu yang tega memisahkan dirinya dengan putri kesayangannya yang ia cintai. Pikirannya menerawang jauh, lalu mengembara ke alam khayal mengenang awal pertama kali Laila putrinya dilamar. Butiran-butiran air mata perempuan itu tak terasa mengalir menggelinding perlahan membasahi pipinya yang cekung mengenang masa itu, ……
***
Dari ruang tengah terdengar bunyi telepon berdering panjang dan dengan perlahan diangkat gagangnya, tak lama kemudian terdengar suara halus dari jauh di seberang sana.
“Saya Nanang Khairani, akan melawat ke Makassar di penghujung bulan ini.” ujarnya singkat dengan logat Melayu kental.
Lewat telepon itulah awal perkenalannya dengan anak perempuan Dato’ Haji Shaharudin bin Abd. Rahman, Penasehat Kerajaan Selangor Darul Ekhsan Negara Bagian Malaysia. Sahabat pena suaminya yang ia jalin dengan tulus suci sejak bertahun-tahun lamanya. Sungguh tak percaya ia dan diluar dugaannya bahwa suara itu berasal dari anak perempuan sahabat pena suaminya.
Perempuan itu masih menerawang jauh ketengah khayalnya yang tak bertepi, dan lewat jendela kamarnya dilihatnya awan dilangit semakin gelap yang menandakan sebentar lagi hujan deras akan turun. Dihatinya lahir kebahagiaan yang diliputi rasa haru karena ia akan kedatangan tamu dari Kerajaan Malaysia, dan berita gembira itu segera disampaikan kepada suaminya.
“Daeng, kita akan kedatangan tamu dari Malaysia.”
“Pak Dato’?”
“Ya, beserta anak perempuannya bernama Nanang Khairani.”
“Dimana kamu tahu?” lanjut suaminya bertanya.
“Dia meneleponku.”
“Alhamdulillah.” sahut suaminya dengan nada gembira.
Seminggu kemudian disusulnya lagi lewat telepon menyampaikan bahwa ia akan datang bersama ayahnya Dato’ H. Shaharudin beserta suaminya dan kedua anaknya. Betapa gembira hati Bungalia bersama suaminya mendengar berita itu.
***
Malam telah tiba dan di sekeliling rumah Bungalia mulai gelap gulita, sepi sekali terasa suasana kampung itu karena letaknya berada di pinggiran kota, kecuali bunyi suara kodok bersahut-sahutan di rawa-rawa memecah keheningan malam sehabis hujan deras. Bungalia masih hanyut terbawa oleh arus emosi kepedihan hatinya. Ia bangkit dari tidurnya lalu dinyalakan lampu kamarnya, diraihnya gambar Laila kemudian diciumnya seraya berbisik, bila kau datang anakku, mama telah lama merindukanmu.
Hari berduyun datang pergi silih berganti yang akhirnya setahun lewat tak terasa kedatangan Nanang Khairani sekeluarga dirumah Bungalia telah berlalu, tinggal kenangan manis ketika mereka berkumpul bersama di rumahnya dengan penuh kehangatan, keakraban serta rasa kekeluargaan. Sungguh mati, masa itu suatu kenangan yang tak terlupakan dalam hidupnya untuk selamanya.
Malam ini Bungalia tertidur dibuai mimpi yang indah, dalam tidurnya dilihatnya sebuah rumah adat Bugis-Makassar beratapkan daun nipah berdampingan dengan sebuah rumah adat Melayu dihubungkan dengan anak tangga terbuat dari kayu hitam berukirkan relief aksara lontarak, namun sayangnya mimpinya itu buyar karena ia terjaga dari tidurnya ketika terdengar sayup-sayup sampai alunan suara adzan disurau pertanda waktu Sholat Subuh telah tiba, sehingga berakhirlah sudah mimpinya yang indah.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 13.00 siang, cuaca amat gerah ketika itu, Bungalia baru saja pulang dari tugasnya mengajar, didepan pintu masuk diatas kursi teras ditemuinya sepucuk surat yang pengirimnya beralamat :
No.22 Jln. S.S. 14/6-475000 Subang Jaya
Selangor Darul Ekhsan - Malaysia.
Dengan tak sabar dibukanya sampul surat itu kemudian segera dibacanya yang isinya demikian.

Kepada Yth.
Ibu Bungalia Dg. Puji Sekeluarga di Makassar.
Dalam masa sekejap, akan saya utus ke Makassar, duta untuk pertautan Bugis-Makassar dengan Melayu, agar lebih mempererat tali silaturahim kita maksudnya, sudilah dipertautkan adik bungsu saya bernama Zulkarnaen, bersama putri sulung Bungalia yang bernama Laila. Seandainya tak ada jodoh, tetaplah kita menjalin persahabatan yang suci. Maaf kecerobohan saya melalui warkah yang sangat menyimpang dari adat kebiasaan suku Bugis-Makassar.


Salam dari saya,
ttd.
Nanang Khairani
dan keluarga

Setelah selesai membaca surat itu dilipatnya kembali kemudian dimasukkan ke dalam sampulnya seperti semula. Bungalia tertegun lama sehabis membaca surat itu, isinya singkat dan ia paham akan segala maksudnya. Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan perlahan menuju samping rumahnya bernaung di bawah pohon harumanis duduk di atas balai-balai bambu, di rasakannya begitu sejuk angin siang berhembus perlahan mengelus tubuhnya yang kegerahan.
Dari atas dahan harumanis bertengger sepasang burung murai berkicau dengan girangnya menyambut siang hari yang cerah. Seolah nyanyi sunyi anak gembala di tengah padang rumput yang hijau, sepertinya pula nyanyi haru seorang Ibu yang tengah diliputi kebimbangan. Dibacanya kembali surat Nanang Khairani itu sekali lagi, sepertinya ia tak percaya akan isi surat itu.
Ketika suaminya datang disodorkannya lalu dibacanya pula bersama, dan mereka larut dalam keharuan berbaur bahagia. Hal itu disampaikannya pula kepada seluruh sanak famili akan maksud baik keluarga Dato’ Haji Shaharudin dan mufakat pun disetujui gayung bersambut. Tinggal keputusan Laila anaknya yang tengah mengikuti praktek kuliah di pedesaan sebagai pra-syarat dalam penyelesaian studinya dibidang ilmu perikanan.
Dikirimnya surat buat Laila, memanggil ia pulang.
“Bolehkah engkau izin kepada Kordesmu untuk pulang sebentar dalam liburan minggu ini. Mama sangat rindu dan mengharapkan kehadiranmu dirumah.” Demikian antara lain isi suratnya yang singkat memanggil Laila pulang dengan tujuan untuk menyampaikan maksud surat Nanang Khairani yang baru-baru ia terima.
Bungalia duduk berhadap-hadapan dengan Laila didalam kamarnya diatas tempat tidurnya yang sempit, betapa berat rasanya untuk memulai membuka bicara dengannya. Dibelainya rambut Laila yang diurai panjang hingga ke bahu, lalu perlahan hati-hati ia mengutarakan tentang maksud surat Nanang Khairani, dan …., dari balik kamar terdengarlah isak tangis dua insan lemah yang tak berdaya. Dengan suara serak Bungalia melanjutkan bicaranya.
“Aku tak ingin engkau seperti St. Nurbaya dalam novelnya Marah Rusli memaksakan keinginan kedua orang tuanya dan engkau harus mengiya hanya keterpaksaan, karena orang tuanya dalam kesulitan membayar utang-utangnya kepada Datuk Maringgi saudagar kaya tapi bengis, aku tak ingin seperti itu anakku.”
“Yang kuinginkan, engkau setuju dengan segala ketulusan hatimu yang paling dalam lagi ikhlas, sebagai pertanda anak berbakti kepada kedua orang tuanya.” lanjutnya sedih.
Di dalam kamar itu lama tak ada suara kedengaran, Laila merunduk diam seperti patung, lama ia tak menyahut, sepertinya ada yang mengganjal hatinya yang gunda, kecuali butiran-butiran air matanya mengalir deras membasahi tempat tidurnya, tak kuasa ia menantang wajah Bungalia mamanya yang juga dalam keharuan.
“Jawablah anakku.” desaknya sekali lagi.
Keduanya diam, tak ada suara dalam kamar itu, hening seketika, kecuali kesiur angin diluar berhembus perlahan menggoyang pucuk-pucuk harumanis di samping rumah, membuat suasana semakin mencekam sepi. Laila bergeser ke depan kemudian ia menghempaskan tubuhya ke atas pangkuan mamanya sembari berbisik dalam tangisnya yang terisak.
“Kalau itu sudah merupakan keputusan Mama dan Papa, Laila setuju saja, karena selama ini belum ada apa-apa yang Laila berikan sebagai tanda baktiku kepada kedua orang tuaku yang telah bersusah payah membiayaiku dan membesarkanku.”
“Akan ……… tetapi, …………. satu pintaku, Ma.” lanjutnya dengan suara yang terputus-putus diiringi derai air mata membasahi pelupuk matanya laksana butiran-butiran mutiara berjatuhan dari atas ranting kayu. Ujung-ujung jemarinya yang halus menyeka perlahan air matanya, kemudian dia lanjutkan bicaranya.
”Nanti setelah kuliahku usai.” ujarnya lirih.
“Baik, terima kasih anakku.” jawab Bungalia singkat sembari merangkul memeluk anaknya menciumi kedua belah pipinya yang basah penuh dengan air mata tanda keharuan, diiringi isak tangis yang memilukan hati, tangis bahagia ………
***
Hari silih berganti dan tak terasa tiga tahun silam telah lewat peristiwa itu. Laila kini bermukim di Kuala Lumpur Malaysia dalam suasana bahagia bersama Zul Abangnya, dan kini telah melahirkan pula seorang putri pertama yang sangat cantik, lucu lagi lincah, diberinya nama “Aiman Shahirah.”
Di ufuk timur mentari pagi telah memancarkan cahaya merah kekuning-kuningan dan burung murai di atas dahan bernyanyi ria seolah ia menyambut pagi hari yang cerah, dan sebentar lagi Bungalia akan meninggalkan rumah berangkat menuju tempat tugasnya mengajar sebagai guru sekolah.
Terbayang olehnya cucu Shahirah yang lucu itu merengek-rengek kepada Laila mamanya minta dibelikan boneka panda mainannya, seperti kegemaran Laila ketika dulu ia masih kanak-kanak, tapi itu hanyalah khayalan belaka, …………. kecuali dalam hatinya selalu berbisik dan berharap.
“Bilakah kau datang anakku, mama tersiksa dalam belenggu kerinduan.” bisiknya dalam hati sambil menyeka air matanya, lalu ia beranjak pergi meninggalkan rumahnya menuju tempat tugasnya mengajar.
Bayang-bayang peristiwa silam itu perlahan-lahan buyar ketika ia memasuki ruangan kelas tempatnya mengajar disambut oleh anak muridnya dengan suara serempak memberi salam hormat kepadanya.
“Selamat pagi Bu guru.”
“Selamat pagi anak-anakku.” balasnya dengan melempar senyum kepada murid-muridnya.(*)

Makassar, 15 Agustus 1998
Harian Pedoman Rakyat, 11 Oktober 1998
Harian Radar Bulukumba, 06 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar