Kamis, 05 Mei 2011

11. PENAMBANG LIAR

Oleh : Hasbullah Said.-

DI ATAS, cakrawala langit berawan berangsur suram, sebentar lagi senja telah siap menelan mentari yang memerah mewarnai pucuk-pucuk pepohonan nampak semakin kelam. Entah, sebentar bulan bersinar atau tidak, karena awan semakin banyak berarak lalu bergelayut merangkulnya, kecuali bintang-bintang gemerlap kemilauan muncul perlahan satu-satu.
Semua itu bukanlah suatu pemandangan yang mengasyikkan bagiku. Menerawang menatap langit biru, lalu menghitung bintang-bintang yang takkan pernah terselesaikan olehku, sambil membayangkan wajah Hanifa gadis kelahiran Johor Bharu Malaysia.
Aku kenal gadis itu, sekitar dua bulan lalu, sayangnya, karena nanti seminggu setelah rencana kepulanganku ke Makassar baru aku banyak ngobrol dengannya.
Tertarik aku padanya karena banyak hal istimewa yang ia miliki, terutama gaya tutur bahasa Melayunya yang kental lagi lembut, pakaian sederhana baju kurung dipadukan dengan jilbab warna merah muda, juga sangat menarik perhatianku. Setibanya di Makassar, aku lebih banyak melamun membayangkan dirinya yang anggun, apalagi disaat mendengar lagu Semalam di Malaysia hatiku hancur luluh mengenang dia, Hanifa.
“Elok mana bandar Makassar atau Johor Bharu Bang?” tanya Ifa sehari sebelum aku berangkat meninggalkan Johor Bharu.
“Makassar dan Johor Bharu sama saja, keduanya elok, namun tak seelok dan secantik wajahmu sayang.” kataku memuji sambil melempar senyum padanya.
“Jangan bandingkan manusia seperti aku dengan Johor Bharu atau Makassar.“ kata Ifa dengan lantunan nada protes.
“Kenapa?” tanyaku.
“Makassar dan Johor Bharu adalah Bandar (Kota) sedangkan manusia mahluk hidup dapat bicara punya mata, telinga, punya hati dan perasaan.” sahut Ifa dengan -
nada kesal.
“ Maafkan aku sayang.” pintaku sambil menjabat tangannya yang halus.
Purnama malam perlahan mengintip di balik celah pohon akasia taman. Dilangit tak ada bintang berkedip, nyaris habis dilumat oleh temaram purnama malam menerpa bumi.
“Dik Ifa!” panggilku perlahan menghalau rona kesal di wajahnya.
“Ya, Bang?”
“Kamu mau maafkan aku toh?” pintaku sekali lagi dengan nada memelas.
“Ya tentu, manusia pemaaf dikasihani Allah.”
“Terima kasih dik.” ujarku disertai ekspresi wajah penyesalan lahir dari lubuk hatiku yang paling dalam, lalu aku lanjutkan bicara padanya.
“Begini dik Ifa, aku jawab pertanyaanmu tadi dengan sejujurnya, Johor Bharu jauh lebih elok dan cantik dibanding dengan Makassar kotaku, bahkan Malaysia pada umumnya sangat cantik bagaikan gadis pingit memiliki pesona daya tarik yang sangat kuat terhadap siapa saja yang memandangnya, terutama bangsa Indonesia negara tetangga terpikat jatuh hati padanya.”
“Maksudmu?” tanya Ifa dengan mata membelalak menatapku.
“Karena Malaysia negara paling makmur di Asia Tenggara, memiliki begitu banyak tambang ringgit tersebar di seluruh pelosok semenanjung, termasuk Sabah dan Serawak. Sayangnya, dari hari ke hari semakin banyak penambang liar dari luar berdatangan yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan timbulnya masalah baru bagi kedua negara bertetangga."
“Apa Abang ikut menambang?”
“Ya, aku........ penambang liar beserta ribuan orang asal Sulawesi Selatan, maksudku TKI Ilegal yang datang kemari berburu ringgit. Tapi sst,......jangan terlalu keras cakapnya nanti didengar Polisi Kerajaan, aku takut ditangkap lalu dipenjarakan kemudian dicambuk dengan rotan.”
“Aku paham dan mengerti, tapi kenapa bisa terjadi demikian?” tanya Hanifa sekali lagi sambil memperbaiki letak duduknya di atas rumput lalu bersandar ditiang lampu taman.
“Kronologisnya begini.” kataku pelan sambil menghela nafas panjang, lalu sejenak berhenti menelan ludah yang tersendat dikerongkonganku.
Udara taman terasa sejuk mengelus tubuh kami membuat Ifa semakin antusias tak sabar menunggu lanjutan bicaraku.
Sejak beberapa tahun silam, ketika rezim Orde Baru yang berkuasa bertahun-tahun lamanya di Indonesia, tumbang oleh desakan sekian banyak elemen Mahasiswa dan masyarakat, maka sejak itu pula merupakan momentum awal kebangkitan bangsa yang disebut Orde Reformasi menuntut pembaharuan total di segala bidang, namun upaya pemulihan perbaikan dibidang perekonomian belum maksimal dicapai, malah rakyat kecil semakin sengsara dan melarat, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan melanda bangsa Indonesia.
Utang negara semakin menumpuk menjadi beban bagi anak cucu bangsa generasi penerus. Pengangguran semakin hari semakin bertambah banyak dimana-mana, yang berimbas pada perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya. Terjadi pertikian horizontal dan pertikal hampir di semua tempat, upaya pihak aparat keamanan belum mampu meredam gejolak komplik yang berkepanjangan, bahkan terlihat semakin berkobar.
Perekonomian bangsa Indonesia semakin hari semakin terpuruk, akibatnya terjadi gelombang imigran secara besar-besaran ke negara tetangga Malaysia untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan kekerasan yang sering terjadi di negeri mereka, dengan harapan dapat merubah nasib dan menuai ringgit sebanyak mungkin.
Ketika pemerintah kerajaan Malaysia memberlakukan kebijakan undang-undang keimigrasian, tepatnya tanggal 01 Agustus 2002, maka tak sedikit jumlahnya TKI Ilegal dideportasi di pulangkan secara paksa ke negeri asal mereka termasuk aku …........ beserta beberapa orang asal Daerah Sulawesi Selatan lainnya.
Aku berhenti bicara sejenak, lalu menyeka wajahku dengan telapak tanganku sembari menatap bulan yang semakin temaram menyinari bumi.Kemudian aku lanjut-
kan bicaraku.
Mulanya aku tidak tahu bila diluar telah terjadi suatu perobahan Undang-Undang keimigrasian Malaysia, karena aku beserta ribuan pekerja perusahaan perkebunan berada ditengah-tengah hutan belantara, terisolir jauh dari kesibukan dan keramaian kota, lagi pula lokasinya tak mudah dijangkau dalam tempo waktu yang singkat.
Ironisnya, pihak perusahaan tak pernah menyampaikan kepada kami para pekerja, bahwa telah terjadi perobahan Undang-Undang tentang pemberian amnesti bagi TKI ilegal bahkan disinyalir ada unsur kesengajaan disembunyikan agar kami tetap bekerja dengan tenang. Nanti kami sadar, setelah pihak aparat Kepolisian Kerajaan Malaysia mengadakan razia secara besar-besaran terhadap TKI Ilegal, barulah kami panik berhamburan lari terpencar-pencar masuk ke hutan-hutan mencari persembunyian yang lebih aman.
Berhari-hari didalam persembunyian tanpa memperoleh makanan sedikitpun, karena lokasi persembunyian kami sangat sulit dijangkau dan jauh terpencil dari pondokan perusahaan yang di peruntukkan bagi TKI, kalaupun ada makanan yang kami peroleh hanyalah buah-buahan kayu yang ada disekitar kami, dengan air minum yang mengalir sepanjang masa dari atas bukit.
Dalam kesunyian yang mencekam, disertai cuaca dingin yang menyayat mengiris tulang sumsum, tiba-tiba terdengar bunyi derik ranting kayu kering terpijak oleh sesuatu benda agak keras, seperti bunyi derap langkah kaki manusia menuju arah kami. Dari atas ranting kayu aku mencoba mengintip kearah bawah mangamati dari mana datangnya suara itu.
“Siapa…….?” tanyaku dengan suara tergagap gemetar, karena tiba-tiba dihadapan kami telah hadir beberapa orang yang kami tidak kenal.
“Jangan ada yang bergerak, tak usah takut, kami wartawan media elektronik Indonesia, datang kemari untuk meliput tentang perkembangan terakhir TKI yang bermasalah.” begitu ujarnya memperkenalkan diri dengan nada bersahabat. Seorang diantaranya memegang Handycam yang diarahkan kepada kami. Mereka memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan kami satu persatu.
“Kenalkan, aku Iwan pimpinan rombongan dari salah satu media siaran TV swasta Indonesia.” lanjutnya mantap untuk menghilangkan rasa takut dan keraguan kami.
“Terima kasih Pak.” jawab kami serempak.
Mendengar jawabnya tadi, rasa ketakutan dan was-was cemas perlahan-lahan hilang lenyap berganti rasa gembira terlukis diwajah kami masing-masing. Ia mengharapkan kepada kami semua TKI yang bersembunyi di hutan-hutan segera keluar meninggalkan tempat ini, menuju kota Johor Bharu dan bergabung bersama dengan TKI lainnya untuk dipulangkan ke tanah air Indonesia secara baik-baik oleh pihak pemerintah Malaysia melalui pelabuhan Pasir Gudang Johor Bharu, dan selanjutnya menyeberang ke pelabuhan Batu Ampar Pulau Batam.
"Tapi kami mohon Pak, jaminan keamanan dan keselamatan kami dalam perjalanan pulang maksudnya, tidak diobok-obok lagi oleh aparat Kepolisian Diraja Malaysia hingga kami tiba ditanah air dengan selamat!” ujarku sesaat sebelum berangkat meninggalkan tempat itu.
“Tak usah khawatir, kami jamin sepenuhnya karena sebelum berangkat kemari terlebih dahulu kami adakan koordinasi dan kerjasama berbagai pihak seperti Dept. Tenaga Kerja, Dept. Sosial, Kesejahteraan Rakyat, juga pihak Kepolisian dan Imigrasi Kerajaan Malaysia, semua mendukung dan sangat menghargai usaha kami yang bertujuan kemanusiaan oleh kami salah satu perusahaan Swasta sebagai mitra pemerintah Republik Indonesia yang bergerak dibidang penyiaran TV Swasta, terpanggil untuk mewujudkan rasa solidaritas kecintaan nasionalisme yang tinggi. Demikian Pak Iwan menjelaskan kepada kami sesaat sebelum berangkat pulang.
Setibanya kami di Johor Bharu, aku beserta beberapa teman lainnya belum langsung berangkat menuju tanah air berhubung karena masih harus berurusan dengan pihak perusahaan dimana tempat kami bekerja untuk menagih gaji yang belum sempat terbayarkan beberapa bulan lamanya.”
"Bang, ... bagaimana kalau Abang tak usah pulang ke Makassar, tinggal saja disini, nanti aku uruskan Visa tinggalnya serta akan kucarikan pekerjaan yang cocok buat abang." kata Ifa dengan suara lirih penuh harap memotong pembicaraanku tiba-tiba.
"Terima kasih dik, aku tak ingin menyusahkanmu, resikonya terlalu berat bagi siapa saja yang berusaha melindungi TKI Ilegal." kataku memperingatkan dia.
"Tapi, apa tidak ada kemungkinan Abang bisa balik lagi kemari?"
“Ya, mungkin juga, bila keadaan sudah normal kembali dan dokumen syah keimigrasian telah aku kupunyai." kataku meyakinkan.
"Aku harapkan Abang cepat kesini lagi, nanti aku jemput di dermaga pelabuhan Pasir Gudang Johor Bharu, selamat, .... jalan sampai jumpa lagi!" kata Ifa dengan nada iba sambil melambaikan tangannya padaku.
"Selamat tinggal Hanifa, sayangku." sahutku sambil membalas lambaian tangannya dan akhirnya perlahan-lahan hilang lenyap sama sekali dari pan-danganku.(*)

Makassar, 23 September 2002

Harian Pedoman Rakyat, 15 Desember 2002
Harian Radar Bulukumba, 01 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar