Kamis, 05 Mei 2011

08. PENELEPON ITU

Oleh : Hasbullah Said.-

RUANG tunggu dokter praktek Melky, masih saja dipadati oleh pasien, sekalipun waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Satu persatu pasien dipanggil masuk oleh suster pembantunya ke ruang periksa, dan aku masih menunggu giliran jauh keurutan paling belakang karena aku terlambat datang.
Antri. Suatu budaya yang patut kita hargai, junjung tinggi, pelihara dan lestarikan karena terhindar dari rasa kecemburuan sosial.
Dengan sabar aku duduk diatas bangku-bangku panjang bercat putih bersih itu bersama pasien lainnya menunggu giliran sambil membaca koran sebagai pengisi waktu lowong.
Aku datang periksakan diri ke dokter karena semua orang mengatakan aku sakit. Walaupun sesungguhnya perasaanku biasa-biasa saja, tak ada suatu keluhan atau rasa sakit yang aku rasakan. Kata orang wajahku pucat, mataku kuyu, badanku semakin hari semakin kurus. Itu sebabnya mareka sangka aku sakit dan tak satupun orang yang luput dari prasangka itu.
Pertanyaan bertubi-tubi datang bukannya dari teman-teman dekatku saja, akan tetapi juga dari teman sekantorku selalu bertanya demikian.
“Kamu sakit Rus, kenapa badanmu semakin kurus?” Sungguh suatu pertanyaan yang menyakitkan hati, sulit untuk aku jawab. Makanya aku datang kemari ke dokter Melky, periksakan diri mungkin betul juga ada suatu penyakit tersembunyi pada diriku, akan tetapi aku tak menyadarinya.
Kenyataanya hasil diagnosa dokter Melky mengatakan kondisi tubuhku sehat-sehat saja, tidak ada indikasi aku terserang oleh suatu penyakit yang serius, hanya tekanan darahku sedikit rendah, mungkin karena akhir-akhir ini tidurku sangat kurang. Tidak tahu, kenapa bila malam tiba aku tersiksa, gelisah, sangat sulit tidur, bahkan kadang kala semalam suntuk aku begadang karena biji mataku tak dapat aku picingkan, pada siang harinya pun juga demikian.
Kesempatan seperti itu kugunakan banyak menulis di malam hari. Berbagai macam tulisan mulai menulis artikel, cerita bersambung, cerita pendek atau apa saja, yang penting memenuhi syarat untuk dimuat diberbagai media cetak di kota ini.
Maka tak heran bila namaku sangat populer dikalangan remaja penggemarku karena karya tulisku sangat menarik untuk dibaca.
Sebagai penulis lepas, tentunya aku merasa bangga karena akhir-akhir ini prestasiku dibidang penulisan ada peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Itu terlihat dari banyaknya karya tulisku yang dimuat hampir di semua media cetak di kota ini.
Itulah barangkali teman-teman dekatku sering menjuluki aku seniman sinting, entah mengapa, aku tidak tahu mungkin karena karya tulisku dengan pembawaanku bertentangan banyak dengan karakter kepribadianku.
Badanku kurus, lagi cambang brewok, rambutku gondrong acak-acakan tak karuan, memang ada benarnya bila kesan orang mengatakan aku sinting alias gila.
Berbagai macam sindiran atau cibiran dilontarkan padaku, ada yang mengatakan sinyiur melambai, siangin sepoi basah, ah,…....macam-macam saja, itu mungkin karena mereka baca dari tulisanku di koran yang sering menggunakan kata-kata atau bahasa personifikasi alam sebagai ilustrasi atau bumbu kayak penyedap masakan.
Semua itu aku terima dengan rasa tegar hati, walaupun sesungguhnya sangat menyakitkanku. Memang bukan tidak beralasan, mereka cuma melihat realita lahiriyah, pada hakekatnya tidaklah demikian.
Seperti terlihat tas sandang yang aku pakai terbuat dari kain blue jeans yang sudah lusuh, kubawa serta kemana aku pergi, tas itu sangat berjasa bagiku sebagai tempat menyimpan naskah cerita yang aku buat. Pada semua ujung-ujung resliting tasku terlihat begitu banyak koleksi aksesoris gantungan kunci dari berbagai jenis bentuk ukuran dan warna, sehingga nampak begitu marak, mulai dari Akademi, Sekolah Tinggi dan Universitas, serta gantungan kunci dari berbagai type dan merk promosi perusahaan ramai sekali melahirkan suatu suara khas bila berbenturan antara satu dengan lainnya.
Aku sadar bahwa itu akan mengundang gelak tawa bagi siapa saja yang melihatnya karena katanya aku bukan lagi anak T.K, namun aku tak acuh sama sekali karena itu merupakan kesenanganku, kepuasan bathin tersendiri yang tak ternilai bagiku.
Darah seni sudah lama mengalir dalam tubuhku yang sangat susah untuk berpisah denganku. Itu lahir sejak aku masih remaja hingga kini. Makanya aku tak mengerti bila ada orang yang sinis melihatku.
Kadang aku menangis sesunggukan dalam kamarku, menyesali nasib yang ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa lahir sebagai seniman. Kadang pula bathinku di dalam berontak, menantang atau melawan anggapan itu, tapi kata hatiku kembali sadar, cair seperti es yang kena panas mengatakan seniman itu membutuhkan ketabahan menerima segala cobaan.
Hanya satu keberuntungan dari semua derita yang kualami kompensasi tidak mudah larut terbawa ke hal-hal yang bersifat negatif, sebagai pelarian, seperti ke tempat-tempat hiburan malam, karaoke, diskotik, lebih-lebih menkomsumsi narkoba dan obat-obat terlarang lainnya.
Suatu tekat dalam diriku bersumpah untuk tidak melakukannya. Bahkan sebaliknya aku semakin mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan jalan memperbanyak ibadah kepada-Nya, seperti puasa senin kamis, serta ibadah-ibadah lainnya. Akan tetapi tidaklah pula semua orang bersikap sinis padaku, kadang ada satu dua orang merasa kasihan dan simpatik melihatku setelah membaca tulisanku di koran.
Mungkin karena tema atau alur ceritanya terkesan kebetulan sama dengan apa yang dialaminya. Maka tak heran bila setiap hari ada saja yang mengirimkan kartu ucapan selamat kepadaku. Kadang ada pula penelpon yang ingin bicara langsung denganku untuk menyampaikan rasa simpatinya dengan ucapan selamat.
Ironisnya, Rina istriku sepertinya tidak mau mengerti akan keberadaanku sebagai penulis. Telepon yang masuk diangkatnya buru-buru lalu ia jawab dengan na-
da yang kurang bersahabat.
“Halo,… boleh bicara dengan kak Rusli?” suara perempuan terdengar lembut dari balik gagang telepon.
“Ini dengan siapa aku bicara.”
“Lisa penggemar tulisan kak Rusli yang dimuat dikoran sangat tertarik aku membacanya.” suara lembut balasan terdengar dari seberang sana.
“Eh, enak aja kamu panggil kakak, memangnya kamu ini adik kandungnya atau kamu adik iparku.”
“Ibu,…!” terdengar suara terputus terbata-bata lalu ia lanjutkan bicaranya.
“Aku mohon maaf ibu, aku tidak bermaksud lain terhadap kak Rusli, kecuali hanya sekedar untuk menyampaikan ucapan selamat padanya, lain itu tidak, percayalah bu!” terdengar suara halus kayak memelas meyakinkan Rina.
“Lisa,” potongnya dengan suara agak tinggi.
“Umurmu berapa, siapa tahu kamu jauh lebih tua dari Rusli suamiku.”
“Delapan belas tahun bu.“
“Pantas, apa kamu yakin Rusli itu usianya muda belia sehingga kau terlalu manja memanggilnya kakak?”
“Oh, anu….bu…dari tulisannya dikoran aku tahu pasti dia masih remaja.“ balasnya bicara dengan suara yang terputus-putus.
“Anu…., anu…. kamu bohong memangnya anak gadis sekarang tidak beres, sepantasnya kamu panggil saja bapak, atau mungkin lebih tepat kamu panggil kakek padanya karena ia telah mempunyai banyak anak bahkan telah bercucu, kamu ngerti ” begitu bentaknya sembari meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya semula.
Hubungan pembicaraan telepon terputus. Rina menghela nafas panjang menahan emosinya. Dengan langkah tertatih-tatih ia berjalan menuju kamar samping dimana tempat aku biasa menulis, sebuah kamar yang tak seberapa luasnya, di dalamnya terdapat sebuah meja tulis dan sebuah kursi tempat duduk diterangi oleh lampu pijar berkekuatan 40 watt. Rina berjalan mendekatiku lalu bicara padaku dengan sedikit emosi.
“Pak, lebih baik kamu berhenti saja menulis karena tidak ada sesuatu yang dapat diharapkan dari tulisanmu itu, bahkan sebaliknya akan membuat saja keretakan dalam rumah tangga kita.”
“Eh, ada apa lagi ma, kenapa kamu berkata begitu.” tanyaku heran padanya.
“Uh, tadi penelepon itu.”
“Ada apa dengan penelepon itu?” tanyaku heran.
“Seenaknya panggil kakak padamu, memangnya dia itu adik kandungmu dan Lisa itu siapa?”
“Ma, sabar dulu dengar bicaraku, jangan kamu bersikap begitu, tidak baik!”
“Memangnya kenapa?” potong Rina emosi.
“Lisa itu perempuan, sama dengan kamu berperasaan halus lembut hatinya, sekalipun sebelumnya tidak pernah aku kenal, tapi ia tulus ikhlas menyampaikan ucapan selamat padaku.“
Rina termenung sejenak mendengar bicaraku lalu dilemparkan pandangannya keluar lewat jendela kamarku. Hujan deras baru saja usai mengguyur segala apa yang ada dibumi, menyisakan pelangi indah di kaki langit. Aku lanjutkan bicara meyakinkan Rina. Semua orang yang bersimpati pada kita harus kita hargai sekalipun hanya ucapan terima kasih, syukur kamu bersuamikan seorang penulis yang begitu banyak penggemarnya menaruh perhatian padaku. Bukankah ini juga suatu rahmat dari Yang Maha Kuasa yang patut kita syukuri, iya toh ma?” Rina tertunduk sedih, seperti ada penyesalan yang lahir tiba-tiba dari dalam hatinya.
Hujan rintik-rintik kembali menerpa atap pondok kami menimbulkan suara riuh memecah keheningan senja.
Malam telah hampir tiba dan udara dingin di luar menyusup masuk perlahan lewat jendela ruang tamu. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara adzan di masjid-masjid pertanda bahwa waktu sholat magrib telah masuk.
“Sudahlah ma, mari kita sholat mahgrib berjamaah!” pintaku pada Rina sambil menepuk pundaknya lalu kami bangkit barengan masuk ke kamar tempat sholat. Setelah selesai sholat berjamaah, tiba-tiba dari ruang tengah terdengar kembali suara telepon berdering panjang. Rina bergegas mengangkatnya dan sejenak kemudian terdengar suara dari seberang sana.
“Halo, selamat malam, boleh bicara dengan Pak Rusli?”
“Dari mana ini pak?” balas Rina bertanya.
“Pemimpin redaksi salah satu Harian dikota ini.”
“Tunggu aku panggilkan.“ sahut Rina sembari meletakkan gagangnya di atas meja kemudian berlari kecil menemuiku. Gagang telepon kuangkat lalu aku bicara,
“Halo betul sekali pak, Rusli di sini.”
“Pemimpin redaksi beserta staf mengucapkan selamat kepada anda.”
“Ini ada apa pak?“ tanyaku heran.
“Besok anda ke kantor redaksi untuk menerima hadiah sebagai penulis cerpen terbaik yang diselenggarakan oleh media cetak kerjasama dengan pemimpin perusahaan.
“Tapi, aku rasa tidak pernah ikut lomba pak.” kataku ragu.
“Iya betul, setiap ulang tahun koran kami yaitu tepatnya hari Senin besok diadakan upacara penyerahan hadiah kepada tiga orang pemenang penulis cerpen terbaik dengan memperoleh hadiah TABANAS senilai satu juta rupiah. Hal tersebut diselenggarakan dengan pertimbangan memberikan motivasi kepada para penulis yang setiap tahunnya terlihat ada peningkatan. Untuk itu diminta kepada anda hadir bersama nyonya besok pagi di kantor kami.”
“Kalau begitu saya ucapkan terima kasih banyak pak.” jawabku kemudian gagang telepon kuletakkan kembali pada tempatnya semula.
“Ma, besok pagi kita diundang ke kantor redaksi Harian yang biasa tempat aku menulis, untuk menerima hadiah.“ kataku gembira pada Rina.
“Hadiahnya apa pak?“ tanya Rina bersemangat.
“TABANAS, Uang satu juta rupiah, lumayan kan.“
“Kalau begitu, menulis lagi pak, biar kita dapat hadiah lebih banyak lagi.“ pinta Rina padaku dengan nada riang.
“Iya dong.“ balasku senyum sembari merangkul Rina dengan penuh rasa bahagia.
Dari kejauhan terdengar kokok ayam bersahutan pertanda malam telah larut menuju hari besok yang lebih cerah (*)

Makassar, 20 Mei 2000

Harian Pedoman Rakyat, 30 Juli 2000
Harian Radar Bulukumba, 25 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar