Selasa, 03 Mei 2011

63. DI BAWAH TEDUHNYA POHON CEMPAKA

Oleh : Hasbullah Said.-


LANGIT menurunkan warna merah jingga menerpa bumi, sangat mempesonakanku senja ini. Kepuasan bathinku sangat meluap-luap, hatikupun sejingga suasana yang kurasakan. Detik ini aku merasa sangat senang. Betapa tidak telah hampir seminggu matahari tak menampakkan cahayanya yang bening, terhalang oleh hujan berkepanjangan berhari-hari sangat membosankan.
Genangan air begitu mengganggu bagi siapa saja yang lewat dijalan buntu lagi sempit. Karena harus menggulung ujung kaki celananya khawatir basah kena air. Mungkin orang lain, kejadian yang kurasakan seperti ini biasa-biasa saja. Tapi aku yakin tentu ada juga yang berperasaan sama sepertiku.
Bagiku, suasana seperti saat ini sesuatu yang sangat berharga untukku. Karena aku baru saja tiba didesa tempat kelahiranku setelah sekian lama aku tinggalkan merantau kenegeri orang. Bertahun-tahun aku tinggalkan kampung halamanku.
. Berarti aku akan terbebas tanpa terhalang oleh hujan untuk berkeliling melihat keadaan kampung halamanku yang begitu lama aku tinggalkan. Disitu, disudut persimpangan jalan tak terlalu jauh dari tempat kediamanku terdapat sebuah pohon cempaka berdaun rimbun, biasa orang gunakan bernaung dibawahnya kala musim hujan tiba ataupun musim kemarau panjang.
Entah, ketika kulihat pohon itu kenapa kenangan lama tiba-tiba muncul perlahan dibenakku seolah terbongkar dari sebuah gudang yang sangat misterius. Sepertinya bertutur kata kepadaku bagai rekaman vidio klip yang sangat jelas dipenglihatanku. Padahal sebelumnya aku sudah berupaya untuk melupakan segalanya.
***
Sepuluh tahun. Atau mungkin lebih lama dari itu. Selama itu pula kita tidak pernah bertemu lagi. Pohon cempaka yang selalu kita singgahi istirahat kala kita pulang dari sekolah berpakaian seragam putih biru dengan sebuah lencana disaku baju kita masing-masing. Pertemuan kita terakhir kalinya kala diambang senja dibawah teduhnya pohon cempaka berdaun rimbun. Kini masih tampak segar berdiri kokoh dengan segala keteduhannya yang menyejukkan.
Disini, lama kita berbincang tentang berbagai hal. Terutama tentang kemana nantinya lanjut sekolah setamat di SMP. Seingatku, kala itu kau pamit padaku ingin lanjut di SMA disebuah kota, sesudahnya itu kau bercita-cita ingin lanjut di STPDN karena orang tuamu mampu membiayaimu sekolah yang lebih tinggi di kota. Sementara aku tinggal di desa bergelut dengan segala keluguannya.
Orang tuaku hanya mampu membiayaiku hingga tingkat SMP. Akhirnya aku menganggur lama tak lanjut sekolah. Ayahku bilang nanti setelah adikku tamat di SD baru boleh lanjut sekolah karena ketiadaan biaya. Padahal waktu itu aku ingin sekali masuk ke SPG karena ingin jadi guru sekolah.
Tapi Tuhan memang Maha Pengasih, saudara-saudaraku menyayangkan bila aku ngangur tidak sekolah, sehingga mereka sepakat menyekolahkanku dengan biaya patungan dari mereka. Asal saja aku bersedia belajar dengan sungguh-sungguh.
Tiga tahun kemudian aku tamat di SPG dengan nilai yang amat memuaskan sehingga ayahku yang hadir mendampingiku dalam penerimaan ijazah sebagai wali siswa yang terbaik sangat terharu mendapat pujian dari para guru.
Setamat di SPG aku segera diangkat menjadi guru sekolah namun, ditempatkan disebuah desa terpencil jauh kepedalaman karena sekolah itu sangat membutuhkan tenaga guru. Walau sangat berat hati aku terpaksa menerimanya karena aku berkeinginan keras untuk menjadi guru.
Menurutku profesi guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dibanding dengan profesi lainnya. Kehadiranku ditengah-tengah mereka disambut dengan rasa terima kasih setinggi-tinginya terutama Pak Kepala Desa karena kekurangan guru di sekolah itu telah dapat teratasi.
Sementara kamu, kudengar berita dari pihak keluargamu, setamat di SMA kamu berhasil lulus masuk di STPDN sesuai dengan cita-citamu sejak dulu, dan beberapa tahun kemudian berita gembira telah pula kuterima bahwa kamu telah diangkat menjadi Camat di sebuah kota. Bukannya aku saja merasa bahagia mendengar berita itu, akan tetapi pasti guru-guru disekolah kita dulu merasa bangga bila mereka megetahuinya, karena anak didiknya telah berhasil. Mereka tidak pernah bayangkan kalau salah seorang anak didiknya telah berhasil menjadi Camat. Apalagi kamu seorang perempuan.
Akhirnya, kamu dimutasikan ke kantor Gubernur karena meraih banyak prestasi yang sangat gemilang selama menjabat sebagai camat dan ditempatmu yang baru kamu diberi suatu jabatan penting. Entah apa nama jabatan itu, hingga kini aku tak mengetahuinya, karena kurangnya informasi yang kuperoleh dari pihak kelurgamu.
***
Beberapa tahun kemudian. Proses belajar mengajar ditempatku bertugas kini berjalan dengan lancar. Tak ada hambatan yang berarti, kecuali sarana dan prsarana yang sangat terbatas, maklum sebuah desa terpencil jarang disentuh atau dikunjungi oleh pihak terkait karena membutuhkan waktu dan tenaga baru bisa mencapai desa itu.
Bayangkan, beberapa buah sungai yang sangat luas harus diseberangi dengan menggunakan perahu kecil seadanya serta jalan yang berliku-liku lagi sangat terjal kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri semak belukar baru bisa mencapai desa itu. Kadang bila musim hujan tiba sungai meluap dan airnya sangat deras tak memungkinkan untuk diseberangi, maka terpaksa anak murid sekolah kami liburkan. Kondisi seperti ini adalah sebuah ponemena alam merupakan tantangan berat bagi kami dipedesaan.
Suatu waktu, Desa itu diguyur hujun lebat terus-menerus sepanjang hari dan malam disertai angin kencang mengakibatkan terjadinya tanah longsor. Beberapa buah rumah penduduk serta gedung sekolah kami rusak parah tak dapat difungsikan lagi karena hancur berantakan tertimbun tanah longsor karena lokasinya persis tepar dikaki bukit yang sangat terjal.
Suatu keuntungan karena kejadiannya dimalam hari disaat warga desa terlelap dari tidurnya sehingga anak sekolah kami terhindar dari reruntuhan bangunan sekolah. Tidak ada korban jiwa dalam musibah itu, namun kerugian yang diderita ditaksir puluhan juta rupiah. Untuk sementara, anak murid kami terpaksa belajar dibawah kolom rumah warga dan sebahagian belajar ditenda-tenda darurat dengan peralatan seadanya.
Oleh kejadian itu, Kepala Desa setempat segera melaporkannya ke Pemerintah Daerah Kabupaten dan tembusannya dikirimkan ke Pemerintah Daerah Provinsi. Dan tak lama sesudahnya, rombongan Tim Tanggap Darurat Pe-nanggulangan Bencana Alam dari kantor Bupati dan Gubernur datang ketempat kejadian untuk mengadakan peninjauan lokasi bencana alam serta memberi bantuan kemanusiaan berupa sembako kepada penduduk desa yang tertimpa bencana tanah longsor.
Aku terpaku bengong di Balai Desa setelah kutahu kau ikut serta dalam rombongan Tim itu. Tak terbayangkan olehku bahwa kau ikut serta bersama Tim Tanggap Darirat. Kau masih mengenaliku. Dari jauh kau melempar senyum padaku, lalu kau berteriak ditengah galau suara yang riuh memanggilku.
Aku mengingat-ingat nada suara dan raut wajahmu. Sebelum dengan ragu akhirnya aku masih mengenali semuanya. Kini kau memakai pakaian seragam lengkap dengan atribut kebesaranmu sebagai pejabat Pemda. Kulihat kau peminim sama seperti dulu hanya kini kau lebih anggun sangat berwibawa.
“Bagaimana kabar?” begitu tanyamu sambil mengulurkan tanganmu menyalami aku. Ternyata kau masih benar-benar mengenaliku. Aku segera membalas tanyamu.
“Baik-baik saja.” begitu ujarku sedikit bergetar dengan nada suara agak ber-gelombang seperti gelombang laut disana.
Kutahu pasti dihatimu kini timbul tanda tanya kenapa tiba-tiba aku berada didesa yang jauh terpencil ini. Tapi aku lebih duluan menjelaskan kepadamu sebelum kau bertanya padaku mengatakan aku terangkat menjadi guru Sekolah Dasar sesuai cita-citaku sejak dulu ketika kita masih sama-sama duduk dibangku SMP bahwa aku berkeinginan jadi guru sekolah. Raut wajahmu nampak berseri-seri mendengar ucapku merasa bangga aku menjadi guru, Oemar Bakri, pahlawan tanpa tanda jasa.
“Aku sangat kagum melihatmu menjadi seorang guru yang sangat mulia itu.”
Begitu ujarmu memuji aku. Aku merasa bangga mendapat pujian yang lahir dari da-
lam lubuk hatimu yang paling tulus.
“Aku lebih-lebih mengagumimu sebagai seorang pejabat yang memiliki kepekaan serta kepedulian yang sangat tinggi terhadap masyarakat yang tengah dilanda bencana.” balasku memuji sembari menatapmu. Kulihat diwajahmu masih terdapat lesung pipi serta mata sayu sama yang kau miliki seperti dulu semasih duduk dibangku SMP.
Teman-teman kita dulu disekolah menjulukimu si mata sayu berlesung pipi. Lahir keteduhan hati ketika usai hujan gerimis disuatu senja bila aku memandangmu. Aku ingin bercerita banyak tentang nostalgia lama, akan tetapi waktu sangat terbatas, karena rombongan segera akan berangkat meninggalkan balai desa.
Sebelum kita berpisah kau sempat tanyakan alamat tempat tinggalku. Dan dari dalam tas sandangmu kau memberiku sebuah kartu nama yang sangat cantik bentuknya tercetak : HJ. NURLAILA AKHMAD, S. STP. Alamat Graha Bukit Pemda Jln. Meranti Blok A5/19X.
Berkali-kali aku membaca alamat itu sebelum aku masukkan kedalam dompet saku celanaku. Kamu berharap agar suatu waktu aku sudi berkunjung kerumahmu bila aku ke kota. Aku mengangguk senyum menerima tawaranmu lalu kujawab, terima kasih banyak.
Akhirnya, rombongan Pemda perlahan-lahan meninggalkan balai desa menuju kota. Kembali aku terpaku bisu diatas kedua belahan kakiku sepertinya berat terasa melepasmu pergi, sambil melambaikan tangan kepadamu sebagai isyarat perpisahan dengan harapan kelak disuatu waktu kita bertemu kembali.
Kau membalas lambaian tanganku dari jauh dan akhirnya perlahan-lahan kau menghilang lenyap dipandanganku dibalik semak belukar menapaki jalan setapak yang berliku panjang. Selamat jalan sampai jumpa lagi, begitu gumamku sembari beranjak meninggalkan balai desa.(*)

Makassar, 27 Juli 2008
Harian Radar Bulukumba, 13 Maret 2009
Harian Palopo Pos, 29 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar