Rabu, 04 Mei 2011

36. TUNGGU AKU DI PANTAI LOSARI

Oleh : Hasbullah Said.-

LAUT semua sama, ada ombaknya, ikannya, pasirnya, dan ada juga nyiur melambai, di sepanjang pesisir pantainya, kenapa kamu masih juga rindukan lautmu Fera, laut Indonesiamu, padahal di sini juga ada laut. Laut kadang berlaku kejam, bahkan ganas membawa malapetaka bagi umat manusia, seperti gelombang pasang atau tsunami.
“Tak sama, jauh beda bila Abang tak ada di sampingku, kayaknya panorama laut tak begitu indah dan tak punya arti apa-apa bagiku.” ujar Fera sambil menatap laut di hadapan kami yang begitu indah menawan hati.
“Kamu cengeng.” kataku pada Fera ketika aku dan dia berada di pantai Lumut Malaysia, suatu tempat rekreasi yang sangat indah dan cantik panoramanya, katanya kurang lebih sama dengan Pantai Losari Makassar cerita Fera ketika ia awal mula tiba disini.
“Hanya bedanya, Pantai Losari di Makassar sana memiliki meja terpanjang di dunia yang berfungsi sebagai restoran massal.” sahut Fera bersemangat menyebut kota Makassar tempat asalnya.
“Ah, kamu bohong, mana mungkin ada meja panjang di pinggir pantai seperti ini.“ kataku kurang percaya padanya.
“Betul Bang.” lanjut Fera meyakinkan aku.
“Lalu, bahannya terbuat dari apa?” tanyaku ingin tahu.
“Janji dulu dong, apa hadiahnya baru aku beri tahu.” kelakar Fera sembari mengangkat jari telunjuknya padaku menunggu jawaban dariku.
“Ayo cepat jawab!” desaknya sekali lagi padaku.
Sejenak aku berpikir, menatap kearah bentangan laut dengan ombaknya berkejaran berlarian berlomba menggapai bibir dermaga keciprak airnya tepat membasahi baju Fera.
“Terbuat dari kayu bayam atau kayu ulin agar tahan air dan tak mudah lapuk.” begitu jawabku setelah lama terdiam.
“Ah, salah!” bantah Fera dengan tawa cekikikan sembari menepuk pangkal lenganku.
“Namanya tanggul, terbuat dari campuran semen, pasir dan kerikil fungsinya untuk menahan ombak agar tidak terjadi abrasi, juga berfungsi sebagai meja terpanjang di dunia tempat makan dan minum bagi anak-anak muda pada sore hari hingga larut malam.”
“Oke, aku kalah sayang.” kataku sambil memegang dagunya yang lancip sembari menatap wajahnya dengan senyum.
“Hadiahnya, minggu depan kita rekreasi kepulau Penang, tempatnya jauh lebih indah dan cantik dari pada Lumut sini, di Penang ombaknya tenang, berpasir putih nan lembut, ramai dikunjungi oleh wisatawan asing dan domestik.”
“Kamu setuju toh Fera?” Fera mengangguk senyum tanda setuju.
“Ya, kebetulan minggu depan, aku ada liburan semester.”
“Yuk, kita jalan Bang!” ajak Fera sembari beranjak memegang tanganku berjalan mengitari seputar Pantai Lumut.
Matahari mulai condong ke barat, sebentar lagi hendak bergulir jatuh ke dasar laut menyisakan bias kuning menerpa di atas bentangan laut biru. Fera merasa senang melihat panorama laut Pantai Lumut, karena sepertinya ia tengah berada di negerinya sendiri, Makassar, dengan pantai Losari yang tak jauh beda suasananya seperti di sini. Lama kami berjalan mengitari sepanjang Pantai Lumut, hingga tak terasa oleh kami hampir mencapai pinggiran paling utara pantai itu.
“Kulihat kamu telah penat.”
“Fera, mari kita istirahat!” tegurku sambil duduk bersama di atas dermaga, menghadap kearah laut menatap mentari senja yang sebentar lagi hendak tenggelam kedasar laut. Di sepanjang pantai terdapat banyak makanan berbagai jenis dijual orang. Kupesan dua piring nasi lemak untuk kami berdua.
“Kita makan yuk!” kataku mempersilahkan Fera.
“Apa nama makanan ini?” tanya Fera ingin tahu sembari mengangkat tangannya perlahan menyuap nasi ke dalam mulutnya.
“Nasi lemak, ini makanan khas orang Malayu.” kataku perkenalkan padanya.
“Di Makassar sana apa namanya?” lagi aku bertanya.
“Nasi santan, kalau diberi sedikit lengkuas dan kunyit secukupnya namanya nasi kuning.”
“Kalau makanan khasnya?” tanyaku lagi.
“Banyak Bang, seperti coto Makassar, pisang epe, pisang ijo, dan banyak lagi.”
“Enak ya, aku ingin mencicipinya.” kataku berpura-pura ngiler menelan air liur.
Fera senyum bahagia, seolah makanan khas daerah Makassar betul-betul telah aku cicipi. Fera telah hampir dua tahun menetap di Kuala Lumpur Malaysia, lanjut kuliah pada jenjang S2 program Tehnik Arsitektur pada salah satu Perguruan Tinggi di Malaysia, tentunya sedikit demi sedikit ia telah paham akan budaya orang Malayu.
Hari telah hampir malam, udara dingin membuat Fera di sampingku kedinginan.
“Ayo, kita pulang!” pintaku sembari sama-sama beranjak pergi meninggalkan Pantai Lumut.
***
Pulau Penang dan Malaysia daratan dipisahkan oleh laut yang dihubungkan dengan bentangan jembatan panjang bermil-mil jauhnya, sehingga kapal-kapal berbobot ukuran besar bebas berlalu lalang di bawahnya tanpa ada hambatan. Pulau Penang dengan panorama lautnya sama dengan Pantai Kuta Bali, memang sangat indah dan sangat menawan hati bagi wisatawan asing dan domestik, sehingga banyak orang yang berkunjung kemari.
Sepanjang jalan menuju pulau Penang sangat padat dilalui kendaraan pengunjung apa lagi pada waktu-waktu tertentu seperti hari raya atau liburan Sabtu petang jelang malam, hampir semua ruas jalan macet total, sekalipun ada jalan alternatif melalui penyeberangan kapal feri yang memakan waktu hanya kurang lebih 30 menit telah tiba di seberang. Sepertinya pulau itu nyaris tenggelam oleh padatnya pengunjung ditambah dengan bangunan-bangunan hotel berbintang pencakar langit menjulang tinggi tempat peristirahatan yang bertebaran dimana-mana.
“Kamu tengok apa Fera, begitu lama tak bergeming menatap laut saja terus?” tanyaku ketika kami berdua tengah duduk di atas pasir putih bernaung di bawah pohon rindang.
“Banyak Bang, ombaknya yang gemulai seolah melagu syahdu menyanyikan lagu rindu, pasirnya putih nan lembut dan banyak lagi aku kagumi, sayangnya tak ada perahu layar atau phinisi yang melintas disini.”
“Ah, disini tak ada perahu, yang ada hanya kapal-kapal nelayan penangkap ikan yang serba canggih dan modern, dulu memang pernah ada, perahu layar saudagar asal Bugis-Makassar sering kemari berniaga, itu menurut penuturan orang tua-tua dulu.”
Orang Bugis-Makassar memang sangat terkenal pelaut ulung, gagah berani mengarungi lautan luas, itu ayahku pernah cerita padaku, bahwa buyut nenek moyangnya berasal dari keturunan suku Bugis Kerajaan Luwu ketika zaman keemasan pemerintahan Sawerigading, betul atau tidak entah, aku tak tahu. Raja-raja di Malaysia sini dari kerajaan Selangor, Trenggano, Perak, Perlis, Kedah dan Malaka dahulu kala pernah menjalin hubungan kerja sama yang baik dibidang perekonomian perdagangan dengan Raja-raja Bugis–Makassar seperti kerajaan Bone, Luwu, Wajo dan Gowa.
Bandar–bandar niaga di Malaysia dahulu sangat ramai dikunjungi oleh saudagar asal Bugis-Makassar dengan menggunakan perahu layar yang disebut phinisi. Sayangnya setelah VOC datang berkuasa di Indonesia dengan politik dagang monopoli, maka saudagar Bugis-Makassar berangsur-angsur berkurang dan akhirnya sama sekali tidak ada lagi yang datang kemari karena dilarang dan diancam akan dibunuh oleh serdadu Belanda.
Namun masih ada diantaranya saudagar keturunan raja-raja Bugis-Makassar yang menetap tinggal disini karena tidak mau kerjasama dengan Belanda yang sampai saat ini sudah bercucu beranak-pinak campuran darah Melayu dengan Bugis–Makassar. Itu cerita ayahku dulu, karena beliau rajin mendengar penuturan kakeknya semasa ia masih hidup, tentang silsilah asal mula Raja-raja Malaysia turunan Bugis-Makassar.
“Sayang Bang, kita tidak terlalu lama menjalin hubungan kerjasama yang baik, seperti apa yang telah dilakukan oleh Raja-raja Malaysia dulu dengan Raja-raja Bugis–Makassar.“ potong Fera tiba-tiba dengan suara lirih.
“Ada apa Fera?“ tanyaku kaget padanya. Sejenak aku terperangah.
“Mungkin tak lama lagi aku berada disini.“
“Kamu mau kemana?”
“Pulang ke Makassar dan mungkin aku tak akan balik lagi kemari.”
“Pulang?“ tanyaku heran mengulangi.
“Ya, terpaksa.“
“Bila?” lanjutku lagi bertanya.
“Mungkin minggu depan.“ jawab Fera dengan nada sedih. Mendengar jawabnya aku diam menatap wajahnya lekat-lekat. Lahir suatu tanda tanya di hatiku, kenapa ia tiba-tiba memutuskan untuk pulang.
“Apa itu sudah keputusanmu Fera?”
“Ya, aku harus segera pulang karena sudah dua hari berturut-turut orang tuaku memanggilku pulang lewat telepon.”
“Lalu, kuliahmu bagaimana?“ tanyaku lagi. Fera diam tak menyahut, ia merunduk memandangi pasir putih sembari mencakarkan kakinya diatas pasir putih menulis sesuatu huruf yang kurang jelas tak dapat dimaknai.
“Katakanlah Fera, ada apa membuat kau buru-buru harus pulang.“ desakku sekali lagi bertanya padanya. Dan dengan perlahan Fera mengangkat wajahnya menatapku.
Mata kami berbenturan, nampak jelas kulihat butiran-butiran air bening jatuh perlahan satu-persatu meleleh membasahi wajahnya yang cantik, kemudian ia bicara padaku dengan suara serak hampir tak terdengar olehku.
“Aku terpaksa pulang, karena ketiadaan biaya untuk melanjutkan kuliahku, sudah dua bulan aku tidak mendapat kiriman uang dari kedua orang tuaku, karena tidak mampu lagi membiayaiku, jadi kuliahku untuk sementara terpaksa berhenti.”
“Suatu musibah besar menimpa keluarga kami di Makassar.” Fera berhenti sejenak bicara, ia sesunggukan tak mampu menahan emosi kepedihan hatinya. Lalu ia lanjut bicara padaku dengan nada terputus-putus.
“Ayahku kini,..... sementara dalam proses pemeriksaan intensif oleh pihak berwajib, karena ia sebagai pemimpin proyek harus bertanggung jawab atas tuduhan keterlibatannya dalam penyalahgunaan Anggaran Pembangunan Daerah, kendati itu baru merupakan praduga tak bersalah, belum dibuktikan oleh suatu ketetapan hukum dipengadilan Negeri.”
“Maaf Bang, sebenarnya malu aku mengatakan kepadamu, tapi apa boleh buat, karena abang mendesakku terus.“
“Bagaimana kalau kamu tak usah pulang, semua biaya–biayamu disini termasuk biaya kuliahmu aku yang tanggung.“ Fera diam, lalu menggeleng kepala tanda tak setuju.
“Apa kata kedua orang tuaku nanti, bila aku tidak pulang-pulangg, namun aku tak lupa ucapkan terima kasih kepadamu Bang, atas segala perhatianmu padaku.“
“Walau aku masih dalam kesulitan mencari tambahan uang untuk pembeli tiket pulang, karena simpananku tak seberapa lagi.“ lanjut Fera dengan suara lirih.
Kami berdua kembali diam, sementara udara siang terasa sejuk berembus perlahan dari arah selat Malaka dan mentari nampak cerah memancarkan cahayanya keperakan menerpa diatas bentangan laut biru. Riak–riak kecil berlarian berlomba menggapai bibir pantai menghempaskan dirinya, percikannya tepat mengenai baju Fera. Dari dalam saku celana blue jeansku, kukeluarkan lembaran uang seribu ringgit Malaysia.
“Ini, sekadar tambahan biayamu pulang Fera.” kataku sembari kusodorkan padanya.
“Tak usah Bang, jangan repot-repot.” tolak Fera.
“Tak apa-apa, dan ini tak seberapa jumlahnya.”
“Terima kasih Bang, terima kasih.” ujarnya berulang-ulang kali, dengan nada haru.
“Mungkin aku akan menyusulmu ke Makassar nanti, bila aku ada cuti besar, dan aku ingin sekali menyaksikan langsung meja panjang di pinggir pantai Losari seperti apa yang kamu ceritakan padaku dan, …. tunggu aku disana di Pantai Losari, kamu bersedia dan tidak keberatan toh, Fera?” Fera senyum, namun ia tak kuasa menyahut, ia hanya mampu mengangguk tanda setuju. Kemudian perlahan-lahan ia menyeka air matanya yang berlelehan membasahi wajahnya.
Matahari telah jauh condong ke barat, sebentar lagi hendak bergulir jatuh menceburkan dirinya ke dasar laut selat Malaka. Burung camar riuh beterbangan menyambar menggapai laut menuju sarangnya karena seperti takut tertangkap malam.
Tinggal kenangan manis dalam angan, selamat jalan Fera, sampai sua kembali besok, atau lusa dan entah kapan? Nantikan saja aku di Pantai Losari.(*)


Makassar, 01 Maret 2000

Harian Pedoman Rakyat, 16 April 2000
Harian Radar Bulukumba, 12 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar