Selasa, 03 Mei 2011

51. SELAMAT JALAN PAHLAWANKU

Oleh : Hasbullah Said.-


SEBUAH rumah terletak di ujung jalan buntu. Disamping sebelah utara jalan itu terdapat rawa-rawa ditumbuhi banyak ilalang dan kangkung liar. Di tengahnya ada sebuah kolam yang cukup dalam, airnya tak pernah kering sekalipun musim kemarau tiba. Petang hari ramai anak-anak mandi-mandi sambil berkejar-kejaran ditempat itu.
Penghuni rumah itu seorang kakek tua. Di tangannya sebuah tongkat terbuat dari kayu ulin tak pernah lepas selalu dibawa serta kemanapun ia pergi. Kakek itu sangat sayang dan santun terhadap anak-anak kecil.
Oleh penduduk kampung, kakek itu sering dipanggil Uwak Rawa. Entah apa arti rawa, mungkin karena ia tinggal di rawa-rawa sehingga orang memanggilnya Uwak Rawa. Tak satupun penduduk kampung itu yang mengetahui pasti kapan awal mula kakek tinggal disitu, apalagi asal usulnya dari mana. Konon, dahulu pernah ia berjuang mengusir penjajah Belanda, sehingga ia dikenal orang sebagai anggota Veteran pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa. Ciri-ciri penampilannya sehari-hari nampak jelas karena di kepalanya tak pernah lepas bertengger peci warna keki.
Kakek tua tidak memiliki lagi anggota keluarga, mungkin itulah sebabnya ia sangat bersahaja. Ia jarang keluar rumah, kecuali ada keperluan yang sangat mendesak misalnya ke pasar membeli kebutuhan sehari-harinya.
Ketika senja hari jelang malam, dari dalam rumahnya sering terdengar suara gaduh sepertinya suara aba-aba atau perintah.
“Tembak, …. Dor, … dor, … Merdeka!” kalimat itu diulang-ulanginya selalu dari senja hari hingga larut malam, kemudian disusul kaleng kosong dipukul-pukul melahirkan sebuah suara menyerupai bunyi tembakan.
Suatu petang ketika anak-anak usai bermain di kolam mereka mendengar sepertinya suara aneh, membuat penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di- dalam rumah Uwak Rawa, lalu mereka mengintip ke dalam melalui celah di dinding gamacca yang terbuat dari kulit bambu, mereka tercengang melihat Uwak Rawa dengan tegapnya memakai seragam kain warna keki dengan ikat kepala kain warna merah putih, tengah mondar-mandir mengayunkan langkah tegap sendirian dalam rumahnya, menyandang tongkat yang pada kedua ujungnya sebelah-menyebelah diikat seutas tali rapiah menyerupai senapan laras panjang. Pada sisi ujung tongkatnya diikat percak kain berwarna merah putih, terkibar-kibar ketika ia acungkan ke atas ke bawah disertai pekikan,
“Merdeka, …. Merdeka atau …mati!” begitu pekiknya berulangkali.
Dengan spontan tanpa sadar anak-anak diluar rumahnya berteriak serentak menyahutinya.
“Merdeka …. Merdeka …. Merdeka!”
Mendengar pekikan itu dengan sigapnya Uwak Rawa melompat keluar dari rumahnya ketengah-tengah kerumunan anak-anak sambil mengancungkan kepalan tinjunya dengan penuh semangat berkobar-kobar berujar berulang kali dengan suara lantang, “Merdeka, …. Merdeka, …. Merdeka, …. Merdeka !”
“Hore, … Merdeka, .....!” sekali Merdeka tetap Merdeka Uwak Rawa.”begitu teriak anak-anak itu sekali lagi dengan riuhnya.
“Hei, anak-anakku, … ! Tahukah kalian apa arti itu merdeka?” tanya Uwak Rawa kepada anak-anak yang mengelilinginya dengan penuh semangat.
“Bebas … Uwak!” jawab mereka serempak.
“Ya, betul cucuku, tapi arti sebenarnya merdeka adalah terbebas atau lepas dari belenggu cengkraman tangan penjajah kolonial Belanda” ujar Uwak Rawa kepada anak-anak itu dengan penuh semangat berapi-api sembari mengajak mereka duduk di atas balai-balai bambu bernaung dibawah teduhnya pohon waru yang berdaun rimbun tumbuh dihalaman depan rumahnya.
“Begini cucuku, … “ Uwak Rawa kembali melanjutkan bicaranya setelah sekian lama terhenti bicara sembari menghela nafas panjang, …. dahulu bangsa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda kurang lebih tiga setengah abad lamanya, cukup banyak penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia ketika itu.”
“Tapi Belanda itu baik Uwak.” sela Rudy seorang bocah yang berani memotong pembicaraanya.
“Mana mungkin?” bantah Uwak Rawa dengan nada emosi.
“Betul Uwak.”
“Siapa bilang?” bantah sekali lagi Uwak Rawa dengan sorot mata garang.
“Guruku disekolah.” sahut Rudy sekali lagi meyakinkannya.
“ Mana buktinya?” kembali Uwak Rawa bertanya dengan nada tinggi.
Anak-anak sejenak terdiam menunduk, mereka saling berpandangan, tak berani mereka menatap wajah Uwak Rawa yang nampak memerah berkaca-kaca menahan emosinya.
Dengan tenang Rudy kembali menjawab sembari menggaruk-garuk kepalanya.
“Katanya, bangunan tua seperti gedung Kantor Bupati serta jalanan aspal yang menghubungkan antara Kabupaten dengan Kabupaten lainnya adalah peninggalan Belanda Uwak, itu kata guruku di Sekolah.” jawab Rudy dengan nada terbata-bata.
“Ya, betul tapi itu dikerjakan oleh bangsa kita sendiri dengan cara kerja rodi.”
“Tahukah kalian apa itu rodi?” lanjut Uwak Rawa bertanya.
“Tahu Uwak !” jawab mereka lagi dengan serempak.
“Apa, ….apa, …. coba kalian jawab?” tanya lagi Uwak Rawa tak sabar.
“Kerja ramai-ramai Uwak.”
“Akh, salah, kerja rodi artinya kerja paksa. Tak sedikit jumlahnya rakyat Indonesia yang korban jatuh sakit ketika itu, bahkan banyak yang meninggal karena dipaksa oleh Belanda bekerja tanpa perikemanusiaan.” sahut Uwak Rawa menjelaskan.
“Oh, kalau begitu jahat betul Belanda Uwak!” sela mereka bersamaan.
“Ya, betul anakku.” ujar Uwak Rawa dengan menebar senyum kepada mereka. Hari telah hampir malam, anak-anak bergegas pamit meninggalkan Uwak Rawa sendirian dirumahnya sembari berujar Merdeka!” disambut oleh Uwak Rawa dengan pekikan Merdeka.
Matahari pagi perlahan-lahan menampakkan dirinya dibalik pucuk pepohonan, lagu-lagu perjuangan berkumandang diangkasa lewat RRI dan TVRI. Anak-anak baru sadar bahwa hari ini tepat tanggal 10 Nopember adalah hari Pahlawan. Dengan hati girang mereka berlarian menuju rumah Uwak Rawa dengan maksud mengajaknya bersama-sama ke Balai Desa untuk mengikuti upacara bendera. Pagi itu rumah Uwak Rawa masih tertutup rapat. Rudy mengedor-ngedor dari luar namun tak ada jawaban darinya.
“Mungkin masih tidur.” ujar Imam sambil mencoba mengintip ke dalam lewat lobang kunci pintu samping. Betapa kagetnya ia ketika melihat Uwak Rawa sedang tergeletak kaku diatas pembaringannya. Imam segera berlari menemui teman-temannya sambil berujar.
“Uwak Rawa gugur, … Uwak Rawa gugur, … !” teriak Imam.
“Ah, kamu jangan bercanda, mana mungkin ia gugur sedang ditempat ini tak terjadi peperangan atau pertempuran, gugur itu artinya mati dimedan peperangan mempertahankan hak atau membela negara dari tangan penjajah.” tegur Ichal menggurui Imam.
“Tapi ia tak bergerak-gerak lagi.” sahut Imam terbata-bata dengan mata berkaca-kaca menahan sedih.
“Itu namanya mati atau meninggal bukan gugur, namun kita tetap hormati ia sebagai seorang kesatria atau pahlawan Kusuma Bangsa, karena ia mantan pejuang.”
“Ayo,........! mari kita segera kerumah Pak Desa untuk melaporkan kejadian ini.” ajak Rudy pada teman-temannya.
Seluruh penduduk kampung merasa kehilangan atas berpulangnya Uwak Rawa, termasuk anak-anak itu sangat terpukul atas kematian Uwak Rawa.
”Selamat jalan Uwak Rawa pahlawanku, semoga arwahmu diterima oleh Yang Maha Kuasa.” begitu doa mereka sambil terisak menahan iba.(*)



Makassar 01 September 2004

Harian Radar Bulukumba, 05 Januari 2009
Mingguan Inti Berita, 06 Pebruari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar