Selasa, 03 Mei 2011

65. KUGAPAI CINTAMU LEWAT HP- KU

Oleh : Hasbullah Said.-


ADA galau dihatiku lagi gamang, karena kesalahan fatal yang kulakukan, ketika suratnya kubalas. Naskah cerpen yang dikirim Diash padaku, dialamatkan disekolahku sesuai permintaanku, bukan alamat rumahku.
Padahal, sudah kupastikan aku akan menerimanya dengan aman bila di alamatkan dirumahku kendati aku sedikit kesal, karena setiap ada surat yang datang dari teman priaku, sering disensor lebih dulu dengan ketat oleh Akangku yaiu kakak laki-lakiku, karena khawatir aku terjerumus dalam pergaulan bebas.
Sungguh, betapa aku menyesal, karena surat itu lebih duluan diterima oleh teman-teman sekolahku, sebelum tiba ditanganku. Mereka membuka sampulnya kemudian membacanya ramai-ramai setelah jam istirahat kedua berlangsung, dibawah teduhnya pohon harumanis yang tumbuh rimbun dibelakang gedung sekolahku.
Mereka sering melakukan hal yang serupa, bila ada surat yang diantar oleh pegawai Pos ketika teman kelasku kebetulan tidak masuk sekolah. Walau sering diprotes keras oleh penerimanya, namun tetap juga mereka melakukannya dengan alasan itu hanya sekadar iseng. Perlakuan seperti itu sudah jelas-jelas suatu tindakan yang tak terpuji menjurus kearah kenakalan remaja yang tak dapat ditolerer.
Naskah cerpen itu telah lusuh sebelum tiba ditanganku, karena mereka berebutan berlomba ingin membacanya. Untung, karena masih dapat terbaca olehku, walau sebahagian kalimatnya sudah ada yang hilang terpenggal karena sobek.
Diluar dugaan mereka, bahwa isi surat yang dikirimkan Diash kepadaku hanyalah sebaris kalimat ringkas tertulis diatas secarik kertas terselip dibalik naskah cerpen itu : “Kukirim sebuah kisah untukmu“ Salam manis dariku. Diash Asmara Dhara. Mereka kagum dan mengaku betapa hebatnya seorang penulis bernama Diash yang dapat menulis cerita pendek dengan untaian kata begitu indah dan menarik sehingga sepertinya tak mau berhenti membacanya. Bertemakan sebuah kisah nyata sepasang remaja yang saling menyintai walau dipisahkan oleh lautan yang begitu luas.
Seusai mereka baca, ada rasa cemburu dihati sebahagian teman-temanku me-
lahirkan suatu tanda tanya yang tak terjawab. Mety itu kenal penulisnya dimana?
Disaat surat itu tiba, kebetulan aku tak masuk sekolah karena sakit. Tanpa setahuku cerpen yang dikirim oleh Diash telah dicopy oleh orang yang tidak bertanggung jawab, kemudian disebar luaskan kemana-mana dibaca oleh hampir semua teman-teman sekolahku. Ironisnya, cerpen yang ia tulis itu pelakunya adalah aku sendiri dan Diash penulisnya dengan judul : “Kuingin Bertemu Denganmu” Pada sisi bagian belakang sampul suratnya itu tertulis dengan jelas nama serta alamat lengkap pengirimnya : Diash Asmara Dhara, Perumahan BTN Bukit Antah Brantah Jln. Cempaka Putih No.B.29 Makassar Sulawesi-Selatan HP. No. 0813 54881xxx.
Seusai membaca cerpen itu, mereka memperebutkan sampulnya karena disitu tertulis alamat lengkap tempat tinggal pengirimnya dengan maksud ingin mengenal sosok pribadinya lebih dekat, karena mereka tahu bahwa Diash itu adalah seorang penulis yang cukup tenar, dikenal banyak oleh kalangan remaja utamanya teman-teman sekolahku. Tulisannya berupa cerpen sering dimuat diberbagai media cetak lokal, maupun nasional, sehingga mereka berlomba memperebutkan alamat tempat tinggal beserta nomor HP-nya.
Kukenal Diash, lewat temanmya yang tinggal bertetangga denganku bernama, Eka Nastiar pendatang baru dari Kota Makassar mengikuti kakak sulungnya yang bekerja dikota Ternate sini sebagai kontraktor bangunan. Dia mengenalkan padaku dengan memberi nomor HP-nya, katanya Diash itu orangnya baik, teman sekolahnya dulu di SMA Makassar sangat akrab dengannya hingga kini.
Perkenalan kami diawali dengan saling berkirim-kiriman SMS, walau kami bertempat tinggal berjauhan nun jauh diseberang sana. Sesekali dia meneleponku bercerita banyak tentang pengalaman kami masing-masing dan menanyakan kegiatan apa yang sedang dilakukan disekolahku. Beberapa hari sesudahnya se- pulang aku dari sekolah, dering HP disaku bajuku terdengar bising dengan ringtone yang sudah kuhafal betul karena sengaja kuberi nada khusus pada nomor HP milik Diash.
“Halo apa kabar, Mety?” begitu suaranya lembut samar-samar terdengar dari seberang sana.
“Ya, baik-baik saja kak Diash.” balasku dengan suara sedikit keras agar dapat ia tangkap dengan jelas.
“Apa kamu sudah terima kirimanku?” lanjutnya lagi menanyakan cerpen yang ia kirim lewat sekolahku beberapa hari lalu.
“Cerpen itu?” balasku bertanya.
“Sudah,....tapi,......tapi.” ujarku lagi dengan nada terbata-bata.
“Tapi, ada apa Mety?” potongnya bertanya ragu.
“Sebelum cerpen itu tiba ditanganku teman-teman sekolahku lebih awal membacanya, karena mereka menerimanya disaat aku tidak masuk sekolah karena sakit.”
“Jadi,.......?”
“Ya, aku malu dan grogi dibuatnya.”
“Kenapa mesti malu?” tanyanya lagi.
“Karena skenario cerita kau dan aku sebagai pelakunya, jadi mereka sudah tahu tentang hubungan kita berdua.” kataku menjelaskan padanya.
Sesaat hubungan pembicaraan kami terputus, entah, aku tak tahu apakah dia sengaja memutuskannya atau mungkin juga sinyal tiba-tiba menghilang. Begitu pikirku dihati. Lama aku duduk diatas sebuah balai-balai dihalaman depan rumahku dibawah rimbunnya sebuah pohon mangga menunggu pembicaraannya lebih lanjut, dan tak lama kemudian HP ditanganku kembali berdering panjang.
“Halo Mety, maaf perbincangan kita sedikit terganggu karena sinyal tiba-tiba menghilang.“
“Benar, karena disini tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dari arah laut Seram, mungkin itu penyebabnya.”
“Ya, mungkin juga.“ ujarnya membenarkan kataku.
“Begini Mety.” lanjutnya lagi kemudian sesaat ia berhenti bicara padaku sepertinya ia sedang berpikir. Agak lama. Akupun diam termangu menunggu lanjutan bicaranya. Angin siang kembali berhembus lembut terasa sejuk dari arah pantai. Riak-riak gelombang air laut terlihat keperakan tertimpa matahari siang sangat indah suasananya. Angin bernyanyi, melantunkan tembang asmara mendayu-dayu terdengar begitu syahdu didua insan remaja yang tengah kasmaran. Gunung Gamalama nampak ke biru-biruan berselimut kabut putih sangat cantik kelihatannya dipandang dari jauh.
“Kalau semua orang tahu tentang hubungan kita itu wajar-wajar saja malah lebih bagus.” lanjutnya lagi bicara padaku setelah sekian lama kami terdiam.
“Alasanmu?” tanyaku heran tak mengerti.
“Setelah mereka baca cerpenku itu, tentu teman-teman dekat di sekolahmu utamanya teman priamu tidak bakalan mengganggumu lagi karena mereka tahu bahwa kamu telah dipunyai oleh seorang lelaki bernama Diash berasal dari kota Makassar.”
“Iya khan, Mety?”
Aku diam tak menyahuti tanyanya. Lama aku termangu diam diatas balai-balai itu. Mendengar pernyataannya, sepertinya aku berada dalam kebingungan. Mulutku bagaikan terkunci rapat. Benarkah itu ucapnya? Timbul seribu tanya dalam benakku. Walau dalam hatiku bergelut antara percaya atau tidak.
“Bukankah cerpen yang kau tulis itu hanya hayalan belaka alias fiksi?” tanyaku berpura-pura memancing dia.
“Tidak, sekiranya itu semuanya fiksi tidak mungkin aku tulis namamu Mety
dan Diash sebagai pelakunya, tentu aku pakai nama lain karena kutulis itu benar-benar kisah nyata yang kini sedang terjadi antara kau dan aku.”
“Terserahlah dari kak Diash.” sahutku perlahan, walau dihatiku berbunga-bunga mendengar ucapnya.
“Percayalah aku dik Mety, walau kita saling berjauhan namun dekat dihati selalu, HP milikku dan yang kau punyai itu sebagai saksi bisu akan hubungan kita berdua, cinta putih yang tulus suci walau dipisahkan oleh laut Seram yang begitu luas.” pernyataannya begitu serius meyakinkan aku namun suaranya terdengar lirih.
“Terima kasih.” balasku haru dengan wajah sumringah lalu hubungan telepon kami terputus.
Beberapa hari sesudahnya, kembali lagi ia menelponku mengatakan bahwa akhir-akhir ini sering menerima SMS dari teman-teman sekolahku, mengaku mereka adalah penggemarnya ingin kenal dengannya secara langsung. Bahkan ada diantara mereka menelponnya berharap agar Diash bersedia datang ke Ternate, untuk mengadakan lepas kangen bagi para penggemarnya dengan segala biaya perjalanan serta pemondokan ditanggung bersama secara patungan. Tapi Diash tidak menanggapinya serius, namun tak lupa ia ucapkan terima kasih banyak atas segala perhatiaanya, suatu waktu pasti kita akan bertemu nanti. Begitu ucapnya dengan nada santun.
“Bagaimana kalau aku yang mengundangmu, maukah kamu datang?” tanyaku bercanda disuatu siang lewat HP-ku.
“Ya tentu, aku akan datang, sedalam-dalamnya laut Banda dan Seram tetap akan kuseberangi, setinggi-tingginya gunung Gamalama tetap akan kudaki, pasti aku datang bila kau yang mengundangku, sekali gus aku akan,................ melamarmu.” begitu suaranya kudengar sayup-sayup dari balik HP-ku.
Aku terperangah mendengar ucapnya. Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Bagaikan aku dalam alam mimpi. Aku menatap langit biru. Disana kulihat awan hitam bergelayut lalu berarak berkejaran menandakan sebentar lagi hujan lebat akan turun.
“Jangan bercanda, apakah keputusanmu ini tidak terlalu tergesa-gesa?”
“Tidak Mety,......jauh hari sebelumnya aku telah mempertimbangkan dengan semasak-masaknya dan telah didukung pula oleh seluruh kerabat keluargaku yang ada di Makassar!” ujarnya sekali lagi meyakinkan aku.
“Tapi,...........tapi,...........!”
“Tapi, ada apa lagi Mety?“ potongnya bertanya.
“Ada satu syarat.”
“Syaratnya apa, coba katakan!” cegahnya.
“Sebelum kau melamarku, terlebih dahulu engkau harus datang di Ternate menemuiku, karena aku tak ingin,..........membeli kucing dalam karung dan pula aku
takut terulang kembali kisah cinta kelabu masa laluku. ” kataku lirih penuh harap.
“Akupun tak rela,............. jadi kucing garong yang menyantap ikan kakap merah diatas meja makan tanpa seizin pemiliknya dan sekali lagi,............ aku pasti datang menemuimu, percayalah sayang!” balasnya dengan nada sungguhan.
“Pastinya kapan?” ulangku lagi bertanya serius.
“Kapan saja, jemput aku di Bandara Sultan Babullah besok, atau lusa, entah-
kapan?” begitu jawabnya bersemangat sambil mengakhiri pembicaraanya padaku.
Pandanganku luruh menatap laut. Disana kulihat gemuruh ombak berkejaran berlomba berlarian hendak menggapai tepian pantai. Angin berhembus lembut dari arah laut Seram, mengelus ari kulit tubuhku dibalik baju seragam sekolahku yang belum sempat kuganti. Kemudian segera aku beranjak dari atas tempat dudukku, berlari masuk menuju kamarku lalu berbaring diatas tempat tidurku sambil mengenang dia, Diash.(*)

Makassar, 15 Oktober 2008

Harian Radar Bulukumba, 17 Maret 2009
Harian Cermin Reformasi Ternate, 04 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar