Selasa, 03 Mei 2011

57. KUTULIS HANYA UNTUK MENGENANGMU

Oleh : Hasbullah Said.-


AKU harap kamu dapat membacanya tulisanku ini. Baik disengaja atau tidak, maupun hanya secara kebetulan, karena semua itu tentu ada penyebabnya. Walaupun sebab-sebab itu tak pernah diimpikan sebelumnya. Sama halnya pertemuan kita dulu, di rumah Sakit Haji, dimana tempat aku pernah dirawat.
Siapa yang menduga sebelumnya bahwa kita akan saling kenal. Kendati penyakit bronchitis yang aku derita amat parah kala itu.
Tak habis pikir, dirumah sakit seperti itu kita akan saling kenal, padahal seharusnya hanyalah doa-doa yang selalu kita panjatkan kepada-Nya agar semua pasien lekas sembuh.Tentu pasien lainnyapun termasuk aku berharap sama seperti itu.
Setelah sekian lama kita pisah, tak pernah lagi ketemu. Walaupun aku selalu mengenangmu. Tapi pertemuan yang tidak pernah kita impikan sebelumnya itu, seolah memberiku semangat dan sugesti kepadaku akhirnya membuat aku kini sehat-sehat saja selalu adanya.
Suatu sore, aku berkunjung ke Rumah Sakit Haji, menjenguk Tanteku yang sedang dirawat akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpanya. Tempatnya ia dirawat dikamar 5 perawatan 3 persis tempatku dulu dirawat ketika aku sakit, berdampingan dengan ranjang Om-mu juga dirawat dalam ruang kamar yang sama.
Tiba-tiba lahir kenangan lama. Di benakku melahirkan inspirasi yang sangat kuat mendesak-desak untuk menulisnya. Walau aku bukan pengarang yang kenamaan. Maka kutulislah ini, hanya untuk mengenangmu. Sekalipun aku sendiri bingung tak tahu apa nama judulnya yang akan kutulis.
Saat itu, mungkin kamu sedang membaca tulisanku. Hingga kini aku tak pernah tahu dimana alamat tempat tinggalmu karena ketika itu, kita tak sempat saling tukar menukar alamat. Tapi aku yakin, media cetak tempat kukirimkan tulisanku ini menjadi langganan keluargamu, paling tidak melalui koran milik orang lain dan kamupun akan membacanya. Tentang kamu dan aku. Tentang pertemuan kita yang sederhana, dulu,….sekian tahun yang silam.
Ya,…Tia. Pertemuan kita itu memang sangat sederhana. Kukatakan sederhana karena setiap kali perjumpaan kita yang bicara hanyalah tatapan mata dan senyum. Itu saja.Tak lebih dari itu.
Semuanya berawal ketika aku sedang dalam perawatan dokter di Rumah Sakit Haji, tepatnya dikamar, 5. Entah bagaimana awal prosesnya tiba-tiba saja bronchitis menyerangku begitu kejam tanpa ampun. Padahal aku bukan pecandu rokok berat. Juga bukan penikmat minuman keras.
Hari-hari dirumah sakit itu terasa lama dan melelahkan. Pemandangan yang itu-itu saja terus serta bau obat-obatan yang menyengat sungguh melahirkan rasa bosan yang tak terkirakan.
Ditengah situasi dan kondisi itulah pada suatu sore kamu muncul diambang pintu masuk ruangan. Langkahmu terayun pelan kearah seorang pasien lelaki paroh baya, ternyata Om-mu, persis disamping ranjangku.
Aku tak begitu memperhatikanmu. Karena keluarga pasien yang datang menjenguk begitu banyak silih berganti dan memang bukan kamu saja. Tapi disaat matamu membentur retinaku, tiba-tiba mendadak saja ada yang mendesir lirih dibalik dadaku. Saat itu baru kusadari betapa menariknya dirimu. Aku sangat kagum melihatmu. Entah, aku tak tahu mengapa demikian.
Waktu itu kamu berbusana muslim mengenakan jilbab warna pink, menutupi rapat seluruh permukaan rambutmu, sosok seorang muslimah yang taat akan ajaran-Nya. Sangat serasi dengan baju yang kamu kenakan bermotif kembang-kembang dasar pink. Kamu seorang muslimah yang sholeha ta’at beribadah kepada-Nya.
Karena kulihat kamu didepan mata kepalaku sendiri, shalat lima waktu tak pernah kamu lalai lakukan, sekalipun bersempit-sempit disudut ruang disamping ranjang Om-mu kamu tetap laksanakan shalat, kendati beralaskan kertas koran bekas sebagai pengganti sajadah tempat kamu bersujud. Wajahmu kulihat begitu putih bersih berseri seusai shalat. Dan sorot matamu mengingatkan aku pada keteduhan senja seusai gerimis. Perasaan kagumku lahir menyelimuti hatiku tanpa bisa kucegah.
Dan desiran dibalik dadaku itu semakin terasa bergelora manakala kamu tersenyum padaku. Hampir aku tak percaya, bila kamu tersenyum padaku.
Dari percakapanmu dengan Risna adik sepupumu, orang yang selalu setia menjaga Om-mu itu, kuketahui bahwa namamu Tia.Lengkapnya Nurtia, M.Aku tak tahu M.itu siapa dan apa kepanjangannya. Mungkin inisial ayahmu. Kamu anak kembar, dua-duanya perempuan yang sangat sulit dibedakan. Data terakhir yang berhasil kurekam diam-diam dari percakapan kalian, kamu seorang mahasiswi kuliah di Univ.Satria Makassar. Semester berapa aku tak ingat lagi.
Tia….., pertemuanku denganmu sore itu seperti menghipnotisku. Aku banyak melamunkan dirimu.Wajahmu terbayang terus dalam benakku. Suaramu terngiang seolah tak mau pergi dipendengaranku. Dan tatapan matamu seakan memberiku semangat untuk lekas sembuh. Diam-diam aku membangun harap semoga itu bukan pertemuan kita yang terakhir kalinya.
Dan ternyata harapanku terkabul. Esoknya kamu datang lagi, Tia. Menatapku dengan tatapan yang sama, juga dengan senyum yang sama seperti dihari kemarin.
Hatiku didalam bergetar. Aku ingin menyapamu, tapi aku tak bisa, lidahku terasa kaku, mulutku rasanya terkunci rapat. Yang bisa kulakukan hanyalah membalas senyummu.
Mungkin karena kondisi tubuhku yang masih sangat lemah, mungkin juga aku takut menyapamu. Entahlah.Yang jelas, seperti itulah warna pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Sepertinya kita punya komitmen bahwa diantara kita ada bahasa isyarat hanya senyum dan tatapan mata saja. Tidak lebih dari itu.
Kalau kemudian timbul tanya dalam diriku, maka itu tidaklah berlebihan. Wajarlah saja jika aku mencari jawab apa arti tatapan mata dan senyumanmu.
Seperti apa aku dalam dirimu? Pernakah kamu memikirkanku seperti aku memikirkanmu? Juga adakah rindu dihatimu jika tak bertemu denganku? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab, Tia. Sampai pada suatu hari kamu datang lagi, tidak sendirimu. Tetapi berdua dengan lelaki yang dari sikap dan tindaknya jelas kumaknai kalau kalian adalah sepasang kekasih.
Kamu kembali menatapku, lalu tersenyum padaku. Tapi tatapan mata dan senyumanmu kali ini terasa lain. Ada ragu dan resah bergelayut disana. Untuk sedetik aku terdiam. Tapi detik berikutnya sudah kusadari kalau diriku ternyata sudah ada di persimpangan jalan cinta kalian.
Ada yang luruh dibalik dadaku, yaitu harapan hampa. Mimpi yang baru sesaat kurajut harus lepas terbawa angin lalu. Angin puting-beliung memporak-perandakan jendela hatiku, hancur luluh berkeping-keping. Kamu sudah berdua, Tia. Sebuah realita yang sangat pahit bagiku.
Tak ada pilihan lain bagiku, selain mengeluarkan kamu dalam lingkar harapku.
Kamu sudah bahagia, Tia. Bagiku itu sudah cukup. Tak ingin aku menjadi orang ketiga diantara kalian. Cinta tidak selamanya harus memiliki. Kalau kebahagianmu itu adalah milik kalian berarti aku harus menjauh darimu, maka biarlah kupilih untuk sendiri.
Tapi untuk melupakanmu tidak mudah, Tia. Sangat susah bagiku. Terlebih karena kamu selalu datang membesuk Om-mu. Sampai akhirnya takdirlah yang bicara, Om-mu meninggal dunia.
Dan itu adalah hari terakhir aku melihatmu. Lewat Risna, adik sepupumu kamu hanya sempat menitip surat untukku Isinya sebaris puisi, yang intinya menyatakan bahwa hidup ini penuh liku-liku, cobaan dan tantangan. Jika Tuhan mau, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi,………
Tapi rupanya Tuhan tidak mau mempertemukan kita lagi. Tahun demi tahun silih berganti setelah itu. Dan kamu tak juga kutemukan. Bak ditelan bumi. Jejakmu tak terbaca olehku. Entah dimana kakimu kini berpijak.
Apakah kamu sudah melupakanku, Tia? Dimanakah kamu sekarang berada? Akankah kita bertemu lagi?
Aku disini bersama kenangan itu. Sepi. Seperti sepinya malam mencekam-
kalbu. Aku sendiri dalam kesunyian hati yang menyiksa.(*)

Harian Radar Bulukumba, 11 Pebruari 2009
Mingguan Inti Berita, 03 Agustus 2009 Makassar,19 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar