Selasa, 03 Mei 2011

60. PEREMPUAN BERKERUDUNG PUTIH

Oleh : Hasbullah Said.-


HUJAN perlahan reda. Kendati gerimis tipis masih menyanyi diatas ranggas dahan basah. Membentuk tirai panjang menjulur kebawah dari atas langit sana. Dinding kota basah kuyup. Desir angin resah membawa rasa dingin menggeligis mengelus ari kulit tubuhku. Kurapatkan jaket kedadaku mencari kehangatan namun gagal, masih saja aku menggigil kedinginan. Entah. Mungkin karena perawakan tubuhku yang sedikit kurus membuat dingin mudah merasuki pori kulitku.
Perjalanan senja terasa agak cepat dari biasanya menuju malam panjang yang kian mendekat. Mungkin karena hujan sepanjang hari yang membosankan membuat waktu begitu cepat bergulir.
Masih saja aku enggan beranjak didepan emperan pertokoan yang berderet panjang. Padahal ancaman basah kuyup kupastikan sudah tak ada lagi. Kendati tirai gerimis masih nampak menjulur dari atas langit melahirkan pelangi indah warna-warni dicakrawala. Tapi tirainya masih dapat ditembus dengan berjalan kaki, tanpa khawatir lagi basah, karena matahari petang mulai nampak bersinar terang dibalik tirai gerimis diarah barat.
Entah, kenapa aku masih betah berdiri disitu, enggan beranjak disudut kota Puchong Perdana. Sebuah kawasan permukiman padat penduduk yang dikenal ideal di Bandar Raya Kuala Lumpur Malaysia. Padahal sisa berapa meter lagi melangkah sudah tiba ditempat taman kota dengan sebuah tasik*) buatan yang ada ditengahnya.
Taman itu sangat indah pemandangannya karena lengkap dengan sarana dan fasilitas bermain didalamnya. Pada sisi bagian utara taman itu terdapat sebuah Masjid berdiri kokoh dengan sangat megahnya.
Sesuai janji Elya Sazwani padaku beberapa hari lalu, Gadis Kerudung Putih asal Kota Bharu Klantan, kita ketemu nanti ditaman ini pada malam minggu mendatang. Begitu janjinya padaku, membuat aku betah menunggunya disini.
“Bang, Bang, Usman……!”
Sesaat, sebuah suara memanggil namaku. Terdengar halus namun sangat lembut.Kutahu pasti itu suara perempuan. Aku menoleh dari mana asalnya suara itu. Kulihat dari sudut pertokoan itu Elya Sazwani berjalan pelan mengayunkan langkahnya menuju arahku. Dia mengenakan baju kurung bermotifkan kembang-kembang kecil dasar warna krem dipadu dengan kerudung putih bersih. Sangat serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Aku sangat kagum melihatnya.
“Sudah lama Bang?” begitu sapanya mengulum senyum padaku. Senyum khas gadis Melayu dikenal ramah namun lembut.
“Ya, lumayan “ sahutku sambil membalas senyumnya.
“Tentu gara-gara hujan yang membosankan itu.”
“Hujan adalah juga rahmat Tuhan.” kataku menyesalkan hujatnya.
“Tapi karena hujan itu membuat janji kita nyaris batal.” balasnya lagi.
“Tak baik cakap demikian, bukankah hujan itu adalah rahmat atau anugerah dari Tuhan buat semua mahluknya diatas permukaan bumi ini utamanya tumbuh-tumbuhan.
Sama halnya awal pertemuan kita dulu siapa yang duga bahwa kita berbeda bangsa dan ras namun serumpun. Aku suku Makassar dan kamu orang Melayu akan tetapi kita saling kenal bahkan kita saling menyayangi dan saling menyintai bukankah itu juga suatu anugerah dari Tuhan?” lanjutku lagi seolah memberi khotbah padanya.
“Ya,…maafkan aku Bang!” pintanya lirih menyesali dirinya berkata demikian sembari menatapku pelan.
“Kamu mohon maaf pada yang ada diatas sana.” kataku sambil menunjuk ke arah langit, maksudku Tuhan Yang Maha Pengampun.
“Maafkan hamba-Mu Ya, Robbi.” ucapnya lagi sambil menengadahkan wajahnya kelangit lalu mengusapnya dengan kedua belahan tangannya.
“Itu yang benar, Tuhan Maha Pengampun Pengasih lagi Penyayang.” begitu ujarku sambil menepuk bahunya.
“Sudahlah dik Elya, tak usah risau Tuhan pasti mengabulkan doamu, mari kita ketaman.” pintaku menyabarkan dia sambil melangkah berjalan bersamanya me-
nuju taman itu.
Ditaman, berangsur ramai dipadati oleh pengunjungnya berdatangan dari berbagai penjuru bandar*). Budak-budak*) kecil ramai berkejaran bermain ditaman. Sementara aku berjalan bersama Elya sambil bersandar didadaku berpusing*) mengitari tasik yang tak seberapa luasnya. Setelah penat, kami rehat duduk diatas stelan kursi pramanen terbuat dari beton disudut taman menghadap kearah tasik dibawah teduhnya sebuah pokok kayu.
Bercakap bercerita banyak tentang budaya dan bahasa masing-masing didua negara serumpun. Sesaat kemudian lampu taman menyala terang. Bias cahayanya temaram kemilau menerpa diatas air tasik, membuat suasana semakin indah dan romantis. Kesiur angin malam menerpa pucuk pepehonan menyanyi syahdu mendayu-dayu. Nyanyian balada cinta didua insan tengah dimabuk asmara.
“Elya,..!” panggilku pelan lembut.
“Ya, Bang. “ sahutnya lebih pelan lagi bagai bisikan halus dipendengaranku.
“Coba kamu tengok burung balam itu.” kataku sambil menunjuk kearah bawah tasik itu yang tengah kemilau tertimpa cahaya lampu taman.
“Ada apa dengan burung balam itu Bang?”
“Aku cemburu melihat tingkahnya bermesraan berdua sambil bercumbu-rayu berenang lalu mereka menyelam kedalam air tasik kelihatannya seperti sepasang kekasih tengah dilanda asmara. “
“Ehem, cemburu ya.“
“Oh, betapa bahagianya sekiranya kita seperti itu.”
“Itu namanya cemburu buta.“ Elya mencibir. Lalu ia diam. Kami diam bersama. Kesiur angin malam semakin kencang menerpa pucuk-pucuk pohon pinus tumbuh berderet panjang dipinggiran taman. Dilangit tak ada awan bergelayut. Sementara purnama malam perlahan lamban muncul menyelinap dibalik celah rumah susun.
“Bang,….!” panggil Elya perlahan.
“Ada apa dik.” tanyaku seolah kaget.
“Kalau burung balam itu sepasang suami istri maka tentunya sudah pasti mereka adalah sepasang mahluk Tuhan yang paling berbahagia karena semuanya itu-
adalah sebuah rahmat anugerah suci dari-Nya.”
“Tapi kalau mereka sepasang kekasih?” potongku bertanya sambil mengernyitkan keningku berpura-pura seolah kurang kumengerti apa yang dia maksud. Elya kembali diam. Lalu sekilas pandangannya dilempar jauh ketengah tasik itu. Lama ia menatapnya tanpa mengedipkan mata. Entah apa penyebabnya. Mungkin ada kata-kataku keseleo tanpa kusadari membuat ia tersinggung.
“Maafkan aku Elya.” kataku datar dengan nada memelas.
“Kukira tak ada yang perlu dimaafkan.” balasnya sambil menatapku lekat.
“Abang minta maaf pada burung balam itu!”
“Kenapa mesti kepada burung balam itu, tidak denganmu?”
”Karena burung balam itu sepasang suami istri, bukan sepasang kekasih jadi -
wajarlah saja kalau mereka bermesraan, walau ditempat umum lalu mereka mandi berenang bersamanya ditasik itu.”
“Kecuali mereka sepasang kekasih yang bukan muhrimnya berarti itu suatu perbuatan dosa besar mereka lakukan.” lanjutnya lagi menyadarkan aku.
Mendengar ucapnya aku mengangguk, lalu aku diam. Lama sekali. Kemudian aku menatatap langit biru. Kulihat ada awan hitam bergelayut disana, menandakan sebentar lagi hujan lebat akan turun.
Perlahan aku sadar, bahwa Elya gadis Klantan Negara bagian kerajaan Malaysia penduduknya dikenal pembangkan*) mayoritas pemeluk agama Islam yang taat lagi fanatik menegakkan syariat Islam secara jujur dan konsekwen.
Malam perlahan dipagut sepi. Berjalan mendekati ambang larut. Bulan purnama cahayanya redup berselimut awan hitam, pertanda hujan tak lama lagi turun.
“Aku tak lama lagi disini, mungkin lusa aku telah balik ke Makassar.” kataku perlahan mengagetkan Elya setelah sekian lama kami terdiam.
“Kenapa begitu cepat Bang?” tanya Elya masygul.
“Enam bulan aku disini, bukan waktu yang singkat.”
“Penelitianku telah hampir rampung, sebuah penelitian tentang bahasa dan budaya didua negara serumpun yaitu Malaysia dan Indonesia, negara tetangga yang bersahabat punya banyak kesamaan utamanya bahasa.”
Elya baru sadar bahwa aku peneliti. Tanpa setahunya, dia responden terakhir yang banyak membantu dalam proses penyelesaian penelitianku.
“Terima kasih dik Elya, atas segala perhatiannya selama aku ada disini, selamat berpisah sampai jumpa lagi dilain waktu.” kataku sambil menyalaminya. Kulihat matanya sembab menahan sedih. Ada butiran air bening mengalir perlahan diwajahnya yang kuning langsat.
“Selamat jalan Bang, semoga tiba dengan selamat ditempat tujuannya.” ujarnya lirih dengan suara serak tertahan ditonggorokannya, sembari mengusap air matanya yang meleleh dengan punggung tangannya.
Malam terus bergulir. Diatas, langit sana masih bergelayut awan hitam menandakan sebentar lagi hujan lebat akan turun. Elya beranjak lalu mengayunkan langkah lunglai. Terasa berat ia melangkah meninggalkan aku dengan hati yang lara.
Perlahan-lahan bayangannya menghilang lenyap dipandanganku, tertelan oleh remang-remang malam nan beku. Hujanpun turun dengan amat derasnya membasahi bumi, seiring deras air mata Elya mengalir dari pelupuk matanya yang bening.
“Selamat tinggal Elya, sampai jumpa lagi...……..…….........!” gumamku sambil kuberanjak mengayunkan langkah lesu meninggalkan taman itu.(*)


Makassar, 05 Mei 2008

Harian Radar Bulukumba, 27 Pebruari 2009
Mingguan Inti Berita, 27 Juli 2009


*) Tasik = danau
*) Budak-budak = anak kecil
*) Pembangkan = oposisi terhadap kebijakan kerajaan/pemerintah
*) Berpusing = berkeliling
*) Bandar = kota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar