Rabu, 04 Mei 2011

35. MENANTI TERWUJUDNYA SEBUAH HARAPAN

Oleh : Hasbullah Said.-

HUJAN gerimis pagi itu, tak menyurutkan langkahnya bagi perempuan yang mengenakan seragam batik PGRI, melangkah perlahan keluar dari pekarangan rumahnya berjalan menerobos gerimis hujan yang dingin. Menapaki lorong sempit berliku-liku terbuat dari vaping blok menuju jalan aspal yang nampak masih sepi, tak jauh dari kediamannya.
Kemudian ia berdiri tegak ditepi jalan menunggu mikrolet angkutan kota melintas yang akan ditumpanginya menuju Sekolah Dasar tempatnya mengajar. Perempuan itu lebih awal berangkat dari biasanya, karena setiap hari Senin di-sekolah tempatnya mengajar rutin diadakan upacara bendera, khawatir terlambat tiba ditempat tujuannya, seperti hari-hari sebelumnya.
Dia tak ingin lagi mendapat teguran dari Kepala Sekolahnya hanya gara-gara selalu terlambat masuk mengajar. Perjalanan dari rumahnya menuju sekolah tempatnya mengajar cukup memakan waktu lama, karena perjalanan ditempuh tiga kali ganti kendaraan angkutan kota baru bisa sampai di tempat tujuannya. Sekalipun dia harus rela mengeluarkan biaya transport belasan ribu rupiah perharinya.
Fenomena semacam itu di kota-kota besar seperti ini, hal yang biasa-biasa saja, dimana kita harus menerimanya dengan lapang dada, karena kehidupan di kota besar kian hari semakin sulit, padat dan sumpek akibat pertambahan penduduk seiring perkembangan teknologi yang semakin canggiih. Begitu pikirnya terlintas dalam benaknya sambil melangkah menaiki mikrolet tujuan Sentral untuk selanjutnya ke Jalan Perintis Kemerdekaan dan terakhir lanjut lagi ke Perumnas Antang.
Perempuan itu bertekat untuk tidak mengulangi lagi kebiasaannya terlambat masuk mengajar, karena merasa risih dan malu sering ditegur oleh Kepala Sekolahnya. Masih membekas di hatinya, kata-kata ibu Rina Kepala Sekolahnya ketika kemarin mendapat teguran. “ Sekarang sudah pukul berapa Bu Jum.“ begitu tegurnya.
Lonceng sekolah berdentang bertalu-talu dipukul oleh bujang sekolah menandakan jam keluar main pertama telah tiba. Sorak-sorai suara murid-murid terdengar riuh sambil berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing-masing menuju halaman sekolah untuk bermain. Titien seorang murid kelas lima datang menghampiri ibu Jumriah guru kelas enam, menyampaikan padanya bahwa ibu Kepala Sekolah sedang menunggunya di ruang kantornya.
“Ibu Jum, diharap datang menemui ibu Kepala Sekolah di ruangannya!” ujar Titien kepada Jum.
“Sekarang jugakah?” tanya Jum.
“Ya Bu, sekarang juga.” sahut anak itu kemudian berlari meninggalkan Jum, menuju ke halaman sekolah untuk bermain bersama teman-temannya.
Dengan langkah perlahan Jum segera menemui ibu Rina Kepala Sekolah yang sedang menunggunya di ruang kantornya.
“Selamat pagi Bu.” ucap Jumriah memberi salam kepada ibu Rina.
“Selamat pagi.” sahutnya sambil mempersilahkan duduk di atas kursi tamu.
“Begini ibu Jum.” katanya memulai bicara sambil bangkit duduk bersamanya di atas kursi tamu.
“Ya Bu.” sahutnya sambil menundukkan kepalanya, karena dia sadar akan kesalahan yang ia lakukan sehingga ia dipanggil menghadap.
“Akhir-akhir ini, ibu Jum saya lihat sering terlambat masuk mengajar, sehingga murid-murid kelas enam mengeluhkan keterlambatan ibu Jum, bahkan persoalan ini, telah sampai kepada orang tua mereka. Saya ingin tahu apa alasan dan penyebabnya sehingga terjadi demikian?” tanya ibu Rina, sambil menatap wajahnya lekat-lekat. Jumriah diam tertunduk, tak kuasa menantang wajah ibu Rina, lama ia tak menjawab pertanyaannya.
“Tolong jawablah pertanyaan saya ini, Bu Jum!” desak sekali lagi ibu Rina setelah sekian lama Jum diam tak memberikan jawaban, kemudian ibu Rina lanjutkan kembali bicaranya.
“Jum, tahukah kamu bahwa seorang guru sekolah seperti kita semua disini, tak semudah apa yang kita bayangkan sangat jauh berbeda dengan karyawan atau pegawai di sebuah kantor, mereka bila tidak masuk kerja seharian tidak apa-apa, paling tidak setumpuk kertas menunggu penyelesaiannya, dan dapat di selesaikan pada hari berikutnya tanpa suatu beban atau risiko yang terlalu berat, akan tetapi seorang guru kelas seperti kita disini, jangankan sehari, satu jam pun tugas mengajarnya ditinggalkan, maka akibatnya sangat fatal.
Memang sangat riskan mengajar di Sekolah Dasar. Tak jarang kita jumpai, sering terjadi perkelahian antara sesama murid, hanya gara-gara guru kelasnya meninggalkan ruang kelas, walaupun hanya sebentar saja.
Fenomena seperti ini, sering kita mendapat sorotan tajam dari orang tua murid, menyesalkan bahwa itu akibat kelalaian guru. Sekalipun berulang-ulang kali saya katakan dalam pertemuan para anggota Komite bahwa di sekolah ini sangat terbatas tenaga guru, karena tidak tersedia guru honor, atau guru ambulance yang sering kita istilahkan, dimana guru honor tersebut dapat menggantikan guru yang terlambat masuk atau sewaktu-waktu tidak mengajar karena sesuatu hal yang tak terelakkan.
Memang, tanggung jawab seorang guru sangat berat, karena guru adalah cerminan atau suri tauladan yang baik bagi anak didik kita, sehingga lahir pameo mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Guru tidak hanya bertanggung jawab memberinya ilmu, akan tetapi juga keselamatan jiwa anak selama mereka belajar dalam lingkup sekolah kita.
“Bukankah begitu tokh, Bu Jum?” tanya ibu Rina menutup pembicaraannya.
“Ya Bu.” sahut Jum membenarkan kata-kata ibu Rina, dan dengan perlahan Jum mengangkat wajahnya, kemudian berujar menyampaikan alasannya mengapa ia sering terlambat masuk mengajar.
Dengan nada yang tersendat-sendat menahan kepedihan hatinya, ia mulai bicara.
“Begini Bu, jujur saya katakan bahwa sejak meninggalnya suami saya setahun
yang lalu, akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpanya ketika hendak menuju sekolah dasar tempatnya ia mengajar sebagai guru kontrak.”
“Mungkin ibu Rina masih ingat kan?” tanya Jum, lalu berhenti sejenak bicara mengingatkan ibu Rina.
“Ya, saya masih ingat.” jawab ibu Rina membenarkan disertai anggukan kepala.
Atas kematiannya, lanjut ibu Jum bicara setelah sesaat berhenti. Kami sekeluarga sangat terpukul lahir bathin, terutama ketiga anak saya, yang masih kecil-kecil membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Saya tak dapat berbuat banyak, karena suami saya, semasa hidupnya hanya berstatus sebagai guru kontrak di salah satu sekolah dasar dikota ini, sementara kami butuh biaya. demi kelangsungan hidup keluarga kami.
Otomatis dia belum berhak untuk memperoleh jaminan dari pihak pemerintah seperti Taspen, gaji pensiun dan semacamnya. Beban hidup kami dari hari ke hari berat terasa bagi kelangsungan hidup kami sekeluarga, terpaksa saya banting tulang mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan, karena gaji yang saya peroleh sebagai guru sekolah dasar, belum banyak diharap dapat membantu sepenuhnya untuk kelangsungan hidup keluarga kami” Jum berhenti bicara sejenak, lalu menyeka air matanya yang keluar dari kelopak matanya yang cekung, kemudian ia lanjutkan bicaranya.
“Pada malam harinya Bu, saya beserta kedua anak perempuanku, kecuali anak bungsu saya yang masih kecil, sibuk membuat makanan dan kue-kue, seperti nasi kuning, jalangkote, pisang goreng dan lain-lain, untuk dijajakan pada keesokan paginya oleh kedua anak saya, sebelum mereka berangkat ke sekolah. Kalau ada pesanan khusus, kami terpaksa bekerja ekstra hingga larut malam jelang pagi. Itulah sebabnya saya sering terlambat masuk mengajar karena sering kesiangan, dan semua itu saya lakukan karena saya anggap pekerjaan itu halal.”
“Atas kesalahan saya Bu, mohon di maafkan, dan saya berjanji mulai besok akan masuk mengajar jauh lebih awal, Insya Allah.” katanya berjanji mengakhiri bicaranya.
Sesaat dalam ruang kepala sekolah sunyi, tak ada suara terdengar, baik Jumriah maupun ibu Rina. Mendengar semua pembicaraan Jum, ibu Rina ikut pula terharu dan prihatin terhadapnya. Berharap pemerintah lebih banyak memberikan perhatian terhadap nasib guru, dengan kesejahteraan yang layak agar tidak terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh Jumriah yang pada gilirannya anak didik kita yang dirugikan. Dan saya yakin masih banyak lagi guru-guru yang bernasib sama seperti Jumriah.
Mengharapkan pada masa-masa mendatang pihak pemerintah secepatnya merealisasikan RUU tentang Guru dan Dosen serta sertifikasi guru agar kesejahteraan guru dan dosen secepatnya pula terwujud, pikir ibu Rina dalam hati.
“Terima kasih Bu Jum.” ujar Ibu Kepala Sekolah memberi semangat sembari menyalami tangan Jumriah.
Lonceng sekolah kembali berdentang-dentang menandakan jam istirahat keluar main pertama telah usai. Murid-murid sekolah berlarian masuk ke ruang kelasnya masing-masing dengan tertib untuk menerima pelajaran berikutnya.
Keesokan harinya, Jumriah tiba di sekolah lebih awal dari hari kemarin, ibu kepala sekolah sangat gembira melihatnya.
“Selamat pagi Bu Jum.” sapa ibu Rina padanya.
“Selamat pagi Bu.” balasnya sambil melempar senyum kepada ibu Rina kepala sekolah.
“Kita berdoa Bu Jum, semoga Undang-Undang Guru dan Dosen serta sertifikasi secepatnya terlaksana agar nasib guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, secepatnya pula terwujud.”
“Semoga Bu.” sahut Jum lalu menyahuti pula anak muridnya yang memberi salam hormat padanya.
“Selamat pagi Bu guru!” teriak mereka serempak.
“Selamat pagi anak-anakku.” balas Jumriah sembari melempar senyum kepada mereka.(*)

Makassar, 04 April 2006

Harian Radar Bulukumba, 23 April 2009
Mingguan Inti Berita, 12 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar