Selasa, 03 Mei 2011

42. NOSTALGIA DI KAMPUS MERAH

Oleh : Hasbullah Said.-


KEJADIANNYA ditahun sembilan puluhan. Di kampus lama nan Merah itu. Waktunya memang sudah cukup lama, namun kini masih tetap terukir abadi diatas batu pualam hatiku.
Aku berjalan di atas vaping block melintas di halaman depan bekas gedung Fakultas Hukum tempat dimana aku kuliah dulu. Di halaman depan gedung berlantai dua itu, disitu, kini masih tetap tumbuh pohon kelapa yang tinggal satu-satunya jadi saksi bisu bagiku. Seandainya dia bisa bicara seperti aku, maka tentunya dia akan bercerita banyak tentang kejadian yang pernah aku alami dimasa laluku.
Melihat pohon kelapa itu memori hardistku bagaikan komputer bekerja keras mengola data diriku membentuk sebuah gambar-gambar yang sangat jelas di layar monitor benakku. Jika kuhitung mundur jauh ke belakang, maka peristiwa itu telah berlalu beberapa puluh tahun silam .......!
***
Perempuan itu turun dari atas sebuah mobil yang mengantarnya, kemudian ia melangkah sambil menyandang tasnya yang berisi buku catatan kuliahnya berjalan masuk ke ruangan dimana tempat kuliah perdana diadakan bagi mahasiswa baru.
Pagi itu, ia mengenakan baju kaos warna pink menyala digandengkan dengan celana panjang Blue Jeans warna biru keabu-abuan. Sungguh sangat serasi dengan warna kulitnya yang sawo matang serta bentuk tubuhnya yang padat berisi, membuat pagi itu kelihatannya dia jauh lebih cantik dari hari-hari sebelumnya.
Aku bersama beberapa teman mahasiswa baru lainnya masih saja setia duduk disitu, diatas sebuah bangku-bangku panjang ngobrol bercerita banyak tentang pengalaman kami masing-masing selama MAPRAM*) berlangsung, sebagai pengisi waktu lowong, sambil menunggu Dosen yang akan memberikan kuliah perdana pagi itu. Dengan langkah perlahan Santi nama perempuan itu, berjalan sambil menebar senyum pada kami.
“Selamat pagi Bu Hakim.” candaku menegur dia memberi salam.
“Selamat pagi juga Pak Jaksa.” balasnya pula bercanda padaku sambil berjalan bareng masuk keruangan kuliah.
Setiba di dalam, kami pilih tempat duduk paling depan agar kuliah dapat kami tangkap dengan jelas.
Jam pertama usai sudah, Dosen mata kuliah Pancasila segera meninggalkan ruang kuliah. Hari itu kami hanya mendapat satu mata kuliah saja, yang seharusnya jam berikutnya diisi mata kuliah Hukum Dagang, namun Dosen yang bersangkutan berhalangan hadir dengan alasan yang kurang jelas. Mahasiswa pada berhamburan keluar ruangan untuk bergegas pulang ke rumahnya masing-masing.
Waktu itu, pergi pulang kuliah aku mengendarai sepeda kumbang merek Sim-King warna merah, pemberian pamanku yang bekerja di Balikpapan Kalimantan Timur sebagai hadiah untuku dihari ulang tahunku yang ke-18. Sepeda merek Sim-King ketika itu sangat digemari anak-anak muda kendati di kampus tempatku kuliah masih belum begitu banyak mahasiswa yang memilikinya.
“Mul, dengan siapa kamu temani pulang?” tanya Santi padaku ketika aku buru-buru bergegas hendak pulang kerumah.
“Tanpa pengawalpun aku tak takut pulang sendirian.” begitu kataku bergurau.
“Boleh tidak aku numpang?”
“Maaf tidak menerima penumpang liar.” lagi aku bergurau, berpura-pura menolaknya.
“Hanya daku seorang dong, biar di pinggir asal tidak disambang kayu **), .........” begitu ucapnya berkelakar sambil meloncat naik diatas boncenganku. Perlahan-lahan sepedaku kukayuh menelusuri jalan kampus menuju jalan raya bersama Santi di boncenganku. Kemilau warna metalic sepedaku terlihat menyilaukan mata tertimpa oleh teriknya sinar matahari siang.
Bocah kecil yang kutemui berpapasan di jalan berteriak gembira menegurku, “Cok, sepeda specil” (sepeda cicilan), Cok, sepeda Sim-King begitu teriak mereka dengan girangnya. Aku hanya membalasnya senyum, sambil kukayuh lagi sepedaku menelusuri Jalan Gunung Bulusaraung. Hatiku di dalam berbunga-bunga karena baru kali ini aku berhasil pulang bersama Santi, sekalipun teman-teman kuliahku berlomba menarik simpatik terhadapnya, menawarkan jasa baiknya untuk mengantar pulang kerumahnya, namun Santi menolaknya dengan secara halus dan sopan. Santi dikenal di Fakultas kami primadona Cami yang berpenampilan sangat menarik dengan nama samaran Putri Duyung, disaat Mapram diadakan. Dia memperoleh harga lelang tertinggi dari kakak senior kami di antara sekian banyak Cami.
Sementara sepedaku terus kukayuh perlahan di atas aspal panas membara membuat peluhku mengalir membasahi hampir sekujur tubuhku.
“Mari kita istirahat sebentar Santi.” pintaku sambil berjalan menuju sebuah kantin yang berada tepat di pinggir jalan. Kupesan dua gelas es kelapa muda sekedar penyejuk haus dahaga yang menggerogoti kerongkonganku. Kios itu ramai dipadati pengunjungnya, karena mereka kehausan didera teriknya matahari siang di bulan Agustus. Es kelapa muda ditangan Santi perlahan-lahan habis disedot dari dalam gelas, hingga rasa haus yang menderanya berangsur hilang.
“Silahkan tambah.” tawarku padanya.
“Sudah, sudah cukup.”
Masih terbayang olehku tadi di kampus, banyak teman-teman mahasiswa baru yang menawarkan jasa baiknya untuk mengantar Santi pulang ke rumah bersamanya, bahkan kakak senior kamipun tak kalah bersaing dengan kami mahasiswa baru, bagai ajang lomba menarik simpatik dari Santi.
“Santi!” panggilku setelah usai kami meneguk es kelapa muda yang menyejukkan kerongkongan kami.
“Ada apa?” tanya Santi.
“Apa tidak ada orang yang merasa cemburu melihat kita berdua pulang bersama?”
“Cemburu?”
“Ya, karena kamu memperoleh harga lelang tertinggi di antara sekian banyak Cami disaat malam pertama Mapram diadakan, tentunya banyak teman-teman kita, terutama kakak senior yang selalu mengejar-ngejarmu.” Santi diam sesaat, lalu memperbaiki letak duduknya diatas kursi kios, kemudian ia menjawab tanyaku.
“Boleh ya, boleh tidak.”
“Maksudmu?” balik aku bertanya padanya, kemudian aku diam sesaat mendengar jawabnya membuat aku jadi penasaran.
“Apa maksudmu?” tanyaku ulang.
“Yah, soal lumrah.”
Aku tidak menanggapi serius kata-kata Santi. Kami segera beranjak bersamanya meninggalkan kios itu. Kini kembali sepedaku kukayuh menari-nari di atas aspal licin melahirkan suara khas oleh gesekan bannya bersentuhan dengan jalan aspal yang begitu panas.
“Bolehkah kita singgah sebentar di Kantor Pos?”
“Untuk apa?”
“Kirim surat buat tanteku di Surabaya.”
“Ke ujung duniapun aku bersedia mengantarmu, kemanapun kamu mau pergi.” kataku mencoba merajut hatinya. Mendengar ucapku Santi senyum, lalu sebuah cubitan mesra mendarat di punggungku.
“Gombal, dasar lelaki.” katanya manja. Setiba di rumah Santi, waktu telah menunjukkan pukul 11.30 siang. Kutemui ibunya sedang duduk santai diteras rumahnya menghalau gerah udara siang yang mendera-dera dirinya.
“Mari masuk nak.” pintanya padaku mempersilahkanku duduk.
“Terima kasih Bu.” jawabku dengan hormat kepadanya.
“Permisi Santi, permisi Bu.” ucapku sembari berlalu meninggalkan mereka. Keesokan paginya aku datang lagi ke rumah Santi menjemputnya. Pergi pulang kuliah aku tak pernah pisah dengannya, bahkan belajar bersama bergantian diadakan di rumahnya atau dirumahku.
Setiba di kampus, sebelum atau sesudah kuliah diadakan, kami selalu berada di bawah teduhnya pohon kelapa itu, duduk santai diatas sebuah bangku-bangku sambil menunggu Dosen yang akan memberikan kuliah.
Bila malam Minggu tiba Santi kuajak keluar jalan-jalan dengan mengendarai sepeda Sim-King milikku menelususri sepanjang Jalan Penghibur. Perlahan lamban sepedaku kukayuh dikeheningan malam berjalan melewati tepat depan Benteng Rotterdam, sementara Santi diboncenganku duduk santai berpegang erat setengah lingkar di pinggangku.
“Kita istrahat disini Mul.” katanya sambil turun dari atas boncenganku berjalan menuju sebuah bangku beton yang berada di sudut taman. Taman itu nampak asri dan romantis tertimpa lampu-lampu yang nyalanya redup samar-samar.
“Aku senang berada di tempat ini Mul.”
“Akupun demikian.”
“Kalau gitu sama-sama senang.” katanya mengulum senyum padaku.
Angin malam berhembus perlahan dari arah laut, terasa sejuk mengelus tubuh kami membuat betah berlamaan di situ.
“Apa prioritas utama dalam program kerjamu nanti setelah kamu jadi Hakim?” tanyaku setelah sejenak kami terdiam.
“Eh, jadi Hakim, mana mungkin sekarang saja kita khan masih tingkat persiapan.”
“Tapi apa sih salahnya jika kita buat suatu program kerja lebih awal untuk jangka panjang jauh kedepan.”
“Jadi PNS saja sangat susah, apalagi mau jadi Hakim atau Jaksa.” kata Santi dengan nada pessimist.
“Ini khan kita hanya sekedar berandai-andai misalnya, andaikan aku Hakim maka prioritas utama yang akan aku lakukan.......” begitu ulangku menjelaskannya.
“Oh hanya begitu.” ujar Santi sumringah lalu ia lanjutkan bicaranya seraya menatapku senyum.
“Aku bersumpah, kelak bila aku jadi Hakim di Peradilan, maka semua pelaku kejahatan yang disebut Koruptor baik kelas kakap maupun kelas teri akan kujatuhi vonis yang seberat-beratnya bahkan hukuman mati, biar ia mampus.”
“Bagus, bagus sekali, aku sangat setuju dan turut mendukung program kerjanya Bu Hakim.”
“Lalu, bila kamu jadi Jaksa.” balik dia bertanya padaku.
“Pelaku ilegal logging akan kutuntut agar dijatuhi hukuman seumur hidup, karena terlalu banyak merugikan Negara yang berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan hidup kita.” kataku tegas.
“Sebagai Hakim dan Jaksa, kita telah sepakat untuk memerangi bersama apa yang disebut korupsi atau semacamnya, kamu setuju khan?”
“Tentu aku sangat setuju Pak Jaksa.”
“Yuk, mari kita pulang, besok diskusi kita lanjutkan di kampus.”
Malam telah hampir larut. Angin dari arah Selat Makassar semakin dingin berhembus perlahan mengelus tubuh kami. Segera kami beranjak meninggalkan taman itu, pulang kerumah berboncengan sepeda dengan Santi dikeheningan malam nan beku.(*)


Makassar, 24 Januari 1969

Mingguan Mapres, 05 Pebruari 1969
Harian Radar Bulukumba, 25 April 2009

**) disambang kayu = asal tidak tersangkut diranting pohon kayu, bhas. daerah Makassae
*) MAPRAM = Masa Pra Mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar