Selasa, 03 Mei 2011

44. LANGIT TAK LAGI MENDUNG

Oleh : Hasbullah said.-


SEMULA, aku tak menyangka bila hal ini akan terjadi demikian. Sebenarnya aku tak mengharap lagi akan kehadiran Aldy, setelah tiga tahun lamanya aku berpisah dengannya. Waktu selama itu sudah kubuang jauh untuk melupakan semua kenanganku bersamanya. Kenangan yang tersayat pilu. Pedih perih terasa. Seolah hatiku terkoyak tercabik-cabik oleh seekor binatang buas.
Demikian bila tiba ingatan ini pada hari-hari yang kulewati bersamanya. Khianat dan ingkar janji kuanggap suatu dosa besar yang sulit kumaafkan baginya. Jijik dan muak serta benci aku melihat lelaki seperti Aldy yang menghianati cintaku yang tulus suci.
Hancur luluh, bagaikan kepulan debu-debu kota kala musim kemarau tiba diterbangkan oleh angin kesana kemari berhamburan hilang lenyap tanpa bekas apa-apa. Ya, Tuhan, sungguh mati, betapa rapuhnya hati ini bila terlintas dibenakku akan peristiwa itu.
Hampir saja aku tak percaya bila kehadiran Aldy secara tiba-tiba itu, datang menemuiku dirumah. Sangkaanku semula hanya secara kebetulan saja lelaki itu mirip wajahnya, datang padaku memohon untuk dimaafkan. Kututup erat wajahku dengan kedua belahan telapak tanganku setelah jelas kutahu bahwa lelaki itu benar Aldy yang pernah melukai hatiku, kini tiba-tiba berada dihadapanku.
“Niar,….Niar, aku datang menemuimu agar engkau sudi, memaafkan daku.” begitu pintanya padaku dengan nada memelas, sembari mengulurkan tangannya menyalami aku.
Aku diam tak menyahuti ujarnya, tetap kututup wajahku rapat-rapat dengan kedua belahan telapak tanganku saking bencinya aku padanya.
“Tolonglah Niar, tataplah aku, agar engkau dapat mendengar kataku.” lagi ia berujar dengan nada iba.
“Enyahlah engkau dari sini, aku tak ingin melihatmu lagi sebagai seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab.” kataku dengan nada emosi.
“Dengarlah, baik-baik Niar,……..!” sekali lagi ia memohon padaku dengan suara serak tertahan di tonggorokannya.
“Aku datang kemari hanya untuk memohon maaf karena merasa aku telah berdosa besar terhadapmu, serta akan kujelaskan sebaik-baiknya duduk persoalan yang sebenarnya kepadamu.“ ujarnya lagi sambil menatap wajahku lekat-lekat.
“Mohon maaf?”
“Enak saja, dosamu terlalu besar untuk bisa dimaafkan!” balasku dengan nada tinggi.
“Tuhan saja bisa memaafkan hamba-Nya yang bersalah, mengapa manusia tidak?” ujarnya dengan suara lirih dan ekpresi wajah yang melahirkan iba dihatiku, perlahan mampu memadamkan bara dalam dadaku.
Kulihat matanya sembab dan kuyu. Kuyu seperti mata pengemis di persimpangan jalan dekat lampu merah memohon sedekah bagi siapa saja yang melintas disitu. Aku diam tak menyahuti ujarnya, akhirnya kami diam bersama Sejenak tak ada suara diantara kami berdua. Kecuali jam dinding terdengar berdentang empat kali menandakan waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Akhirnya aku mulai bicara dengannya.
“Tak perlu kita saling memaafkan karena kurasa diantara kita berdua sama-sama tidak punya dosa.” ujarku lagi setelah sekian lama terdiam.
“Dengarlah dulu baik-baik bicaraku Niar, tolong berilah kesempatan padaku untuk bicara denganmu agar semuanya jelas.” ia memotong bicaraku memohon padaku untuk diberi kesempatan bicara, dengan nada yang terputus-putus.
“Bicaralah Aldy, katakanlah dengan sejujurnya padaku.“
“Bagini Niar,……” sejenak ia berhenti bicara, kemudian ia merunduk kearah bawah ubin, lama baru ia mengangkat wajahnya menatapku, kemudian ia lanjutkan bicaranya dengan suara serak.
Aku dilahirkan didunia ini dengan nasib yang kurang beruntung. Aku anak lelaki sulung dari tiga bersaudara, kedua adikku semuanya perempuan. Sejak kecil kami telah lama kehilangan ayah yang sangat kami kasihi. Hilang entah kemana perginya. Menurut cerita bundaku, ia pergi ke Nunukan mencari kerja disana, karena katanya disana tak sesulit disini untuk medapatkan pekerjaan tetap, hingga kini ia tak kunjung pulang-pulang. Tak ada berita darinya, hilang bagai ditelan bumi.Tinggallah kami berempat bersama bundaku yang amat kami cintai. Penopang hidup kami diharapkan hanyalah daku seorang sebagai anak lelaki sulung dari tiga bersaudara.
Setelah aku menginjak usia dewasa, tiba-tiba malapetaka menimpa keluarga kami. Aldy sejenak berhenti bicara, kemudian sesaat ia mengatur nafasnya yang tersendat di tonggorokannya. Kulihat wajahnya begitu sedih. Sepertinya ia sangat sulit untuk melanjutkan bicaranya. Lalu dengan perlahan ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Kemudian ia lanjutkan.
Saat itu, bundaku yang tersayang memaksaku untuk menikahi adik sepupuku dari pihak bundaku. Anak tunggal dari pamanku yaitu saudara bundaku. Aku kurang mengerti mengapa bundaku begitu mendesakku untuk segera menikahi keponakannya, padahal aku belum punya kesiapan untuk berkeluarga karena waktu itu, aku belum punya pekerjaan tetap.
Alasannya sangat sederhana mengatakan, bahwa harta pusaka yang dimiliki saudara sepupuku itu sayang jatuh ketangan orang lain, karena ia anak tunggal semata wayang, tentunya semua harta warisan jatuh padanya seorang. Sementara hidup kami berada dalam serba kesulitan sejak kami ditinggal ayah.
Belakangan baru aku tahu bahwa adik sepupuku itu dalam keadaan kecelakaan akibat pergaulan bebas, maklum anak tunggal sangat dimanja dan disayangi oleh kedua orang tuanya.
Waktu itu aku seolah makan sibuah malakama, dimakan ayah mati, tidak dimakan ibuku mati. Aku sangat kebingungan dibuatnya saat itu. Walau aku katakan bahwa aku telah mempunyai seorang kekasih bernama Asniar, begitu kusebut namamu waktu itu. Namun ibuku tak mau mengerti, tetap bersikeras untuk segera aku menikah dengan keponakannya.
Sebagai anak yang berbakti terhadapnya, tentunya aku tak ingin menanggung dosa bila aku menolaknya, maka terpaksa aku menuruti saja kemauannya, sekalipun hati didalam merintih pedih. Bundaku mengatakan bahwa ini adalah rasa malu yang kita tanggung bersama sebagai keluarga yang bermartabat. Aku dijadikan tumbal untuk menutupi rasa malu dalam bahasa Makassarnya, “Siri Napacce”*) dengan kata lain aku dijadikan sebagai, “Patongko Siri.” *)
Sesudahnya itu, sehabis aku nikah akupun pergi meninggalkannya jauh kesuatu tempat yang sangat kurahasiakan keberadaanku. Tiga tahun aku berada dalam pengasinganku meninggalkan segalanya termasuk bundaku yang amat kusayangi dan kedua adik perempuanku.
Dalam pelarianku itu, aku tak pernah luput mengenangmu, mengenang segalanya, masa-masa lalu kita berdua, disaat kita berada dipantai Losari, menyaksikan sun-set bergulir jatuh perlahan kedalam dasar laut biru. Diatas dermaga itu kita berikrar setia sehidup semati akan membangun sebuah mahligai rumah tangga kecil bahagia. Sungguh indah, dan sangat indah terasa dihati yang tak akan pernah terlupakan olehku.
Baru aku keluar dari persembunyianku, setelah kudenganr berita bahwa bundaku dalam keadaan sakit keras tengah dirawat dirumah sakit akibat terserang penyakit diabetes, yang akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu ceritanya Niar, agar kamu mengerti. Ia mengahkiri bicaranya dengan sesunggukan menahan kepedihan hatinya.
Mendengar tuturnya, hatiku terenyuh.Bathinku didalam goyah. Ada rasa iba tiba-tiba lahir menyelimuti hatiku. Perlahan-lahan kebencianku terhadapnya kini menghilang lenyap, hilang bersama hilangnya awan mendung bergelayut dicakrawala barat, berganti bayang-bayang merah menjemput malam yang kian kelam. Aku menatapnya lama. Lama sekali. Kemudian aku mengulurkan tanganku menyalami dia. Dipegangnya tanganku dengan erat. Sangat erat.
“Maafkan aku Aldy, lupakanlah semua itu.” begitu ucapku senyum.
“Terima kasih, terima kasih Niar.” balasnya dengan wajah sumringah.
“Marilah kita buat sebuah cerita baru, cerita yang paling indah dari hari kemarin, anggaplah semua peristiwa lalu itu tidak pernah terjadi.“ kataku menyabarkan dia.
“Sekali lagi, terima kasih Niar.” ujarnya sambil beranjak pergi mening- galkanku keluar berjalan di keremangan bayang-bayang senja yang kian memudar menjemput malam yang kian mendekat.(*)

Makassar,15 Oktober 1970

Mingguan Progresif, 30 Nopember 1970
Harian Radar Bulukumba, 28 April 2009
Harian Cermin Reformasi Ternate, 27 Juni 2009

*) Siri na pacce = Rasa malu disertai dendam
*) Pattongko siri’ = Menutupi rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar