Selasa, 03 Mei 2011

106. D I L E M A

Oleh : Hasbullah Said.-


LEWAT TV, perempuan itu terkesima melihat berita yang ditayangkan oleh siaran TV pusat Jakarta. Didepan TV warna “21” inch miliknya, dia duduk ber-simpuh melantai diatas sebuah karfet yang digelarnya selalu diruang tengah rumahnya, seusai shalat maghrib. Rutin ia lalukan setiap malamnya. Mengikuti berita petang yang menarik, akan tetapi berita kali ini sangat memiriskan hatinya. Hubungan antara dua Negara bersahabat lagi bertetangga yaitu Malaysia dan Indonesia kini sedang memanas dan tegang.
Dari indera pendengaran dan penglihatannya ia mencerna baik dengan sempurna berita itu. Tiga orang petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP) di tangkap oleh Polisi Diraja Malaysia di pulau Bintang dan di-perlakukan tidak dengan manusiawi. Padahal, penangkapan petugas itu masih berada dalam bingkai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Atas kejadian itu, sangat disayangkan oleh beberapa elite politik dinegeri ini, atas tindakan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Diraja Malaysia yang tidak terpuji itu telah menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak
Ketegangan terjadi berawal dari sengketa perbatasan wilayah Indonesia dengan Malaysia. Kerajaan Malaysia mengclaim beberapa buah pulau kecil milik Indonesia di wilayah perbatasan hingga kini tak pernah usai. Pulau Ligitan dan Sipadan telanjur berpindah tangan ke Kerajaan Malaysia. Kini Blok Ambalat jadi bulan-bulanan lagi untuk direbut Malaysia.
Sungguh keterlaluan. Kedaulatan NKRI adalah harga mati, tak dapat ditawar-tawar lagi. Akibatnya, timbul protes keras dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat Indonesia dengan jiwa patriotisme serta rasa kebangsaan yang sangat mendalam.
Lewat TV dan Radio lagu perjuangan menggema keangkasa menggidik bulu-
roma bagi seluruh rakyat Indonesia. Membakar semangat juang yang berapi-api bagi siapa saja yang mendengarnya. Maju Tak Gentar, Halo-Halo Bandung, Satu Nusa Satu Bangsa begitu antara lain lagu-lagu perjuangan yang sering dikumandangkan menggema keangkasa raya.
Di sepanjang jalan penuh spanduk dipajang oleh mahasiswa yang ber-demonstrasi dengan kata hujatan terhadap Malaysia. Rakyat Indonesia hanya dua pilihan, putus hubungan diplomatik, atau pernyataan perang, kami siap pertaruhkan jiwa raga kami demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat kami cintai. Begitu antara lain bunyi spanduk yang digelar oleh mahasiswa di jalan-jalan protokol.
Dari berbagai pihak, timbul kekhawatiran akan terulang kembali peristiwa masa silam, ditahun enam puluhan, diera pemerintahan Soekarno. Telah terjadi pemutusan hubungan diplomatik dengan Negara tetangga kita Malaysia akibat komprontasi yang tak terelakkan. Hidup Indonesia,.........! Ganyang Malaysia,.........! Ganyang rambut sasak bersama Tun Razak,..........! begitu yel-yel terdengar di-teriakkan dimana-mana oleh demonstrans ketika itu.
Memang ada benarnya, seribu macam pelanggaran telah dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia termasuk pencaplokan budaya bangsa yang merupakan warisan dari leluhur bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini, dan batas-batas wilayah Indonesiapun turut dicaplok, centi demi centimeter hingga berpuluh-puluh kilometer bahkan beratus-ratus kilometer telah berpindah tangan secara ilegal.
Juga pelanggaran hak asazi manusia, seperti penganiayaan berat dengan kekerasan tanpa prikemanusiaan terhadap TKW yang bekerja disana kerap terjadi.
Surat diplomatik telah dilayangkan oleh Bapak Presiden SBY, kepada P.M. Malaysia namun tidak ditanggapi serius bahkan hingga kini belum juga ada balasan darinya.
Dengan rasa nasionalisme yang tinggi di hati perempuan itu secara spontanitas tiba-tiba lahir bergejolak. Mendadak rasa antipati datang mengepungnya. Ingin rasanya melumat negara tetangga Malaysia. Namun ada rasa kekhawatiran dalam jiwanya. Maka kini telah terjadi gejolak perang yang sangat sengit dibathinnya.
Dilematis menggerogoti pikirannya. Benci tapi rindu.
Pemutusan hubungan diplomatik, atau pernyataan perang didua negara bertetangga bila benar-benar terjadi, itu akan berakibat fatal yang imbasnya kepada -
rakyat kecil, terutama rakyat Indonesia yang tengah berada di Malaysia sana.
Bayangkan kurang lebih 2 juta jiwa TKI yang bekerja di Malaysia. Sedang pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu disana sekitar 13.000 orang. Itu berdasarkan data akurat dari instansi yang terkait.
Indonesia dan Malaysia punya hubungan emosional, budaya dan kekerabatan yang sangat erat dan kental, sudah terjalin sejak ratusan tahun lalu. Itu tak dapat kita pungkiri. Kita memiliki rasa tanggung jawab sejarah untuk memelihara dan melanjutkan tali persaudaraan kita. Hubungan Indonesia dengan Malaysia ibarat sebuah pilar penting yang sangat kuat bagai pondasi penopang bilateral yang kokoh di Asia Tenggara. Sebentuk rangkain kalimat yang sangat bijak yang dilontarkan oleh Bapak SBY Presiden Republik Indonesia pada pertemuan di tingkat elite pusat.
Mendengar berita itu, tiba-tiba lahir rasa kekhawatiran mengharui pikiran perempuan itu. Betapa tidak, jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka pupuslah sudah harapannya untuk bertemu kembali dengan sanak familimya yang ada di- Malaysia sana, terutama anaknya yang telah kawin dengan warga negara Malaysia tulen.
Didepan TV ia merenung. Membatin. Tak terasa ada butiran-butiran air bening mengambang dipelupuk matanya yang cekung tak dapat ia cegah. Dan dengan perlahan disekanya air matanya itu dengan ujung-ujung kain sarung plekat yang dikenakannya.
“Anakku,............ tak tahu apa yang bunda harus lakukan. Yang terpikirkan bagaimana nantinya sekiranya benar-benar terjadi pemutusan hubungan diplomatik atau terjadi perang antara Indonesia dengan Malaysia.” begitu desis perempuan itu keluar terlontar dari celah bibirnya dengan nada lirih.
Perempuan itu beranjak masuk kekamar tidurnya lalu dia raih Hp. mungilnya yang terletak diatas buffet kamarnya. Sesaat kemudian lewat Hp.-nya ia meng-hubungi anaknya yang telah lama menetap tinggal di Kuala Lumpur Malaysia.
“Halo, selamat malam anakku.” begitu ucapnya memberi salam.
”Selamat malam bunda.” sahut Gita Maya anaknya, terdengar sayup-sayup sampai dari balik Hp. mungilnya.
“Bagaimana kabar, anakku?” lanjutnya lagi dengan nada iba.
“Baik-baik saja bunda. Kalau bunda disana?” balik Gita anaknya bertanya. Sejenak bundanya terhenti bicara, kemudian ia menghela napas dalam-dalam.
“Halo,..........bunda, kenapa bunda?” desak Gita sekali lagi terdengar dari seberang sana karena lama bundanya baru menyahuti ujarnya.
“Bunda kini sedang nonton TV, anakku. Menyaksikan sebuah berita yang sangat memiriskan hati bunda.”
“Berita apa itu bunda?” lagi anaknya bertanya dengan nada penasaran.
“Apa anakku disana tidak nonton TV yang menyodorkan berita tentang Indonesia dengan Malaysia?”
“Ada apa Malaysia dengan Indonesia bunda?” lagi Gita bertanya tak sabaran sambil mengernyitkan dahinya..
“Memanas,...........kini telah terjadi ketegangan diantara dua negara sahabat yang bertetangga.”
“Ya, benar bunda, tapi disini biasa-biasa saja, namun anakda harap agar bunda tenang dan bersabar, tentu kedua negara bersahabat tidak akan mungkin tergopoh-gopoh mengambil suatu keputusan yang nantinya akan merugikan dikedua belah pihak.”
“Tapi ini harga diri, harkat dan martabat bangsa seluruh rakyat Indonesia seolah diinjak-injak anakku.” balas perempuan itu dengan nada sedikit emosi.
“Tentu kedua negara bersahabat akan menempuh jalan arif dan bijaksana untuk menyelesaikan perkara ini. Bunda tak usah risau.” bujuk Gita dengan nada perlahan.
“Setelah melihat berita itu di TV, bunda kini tak pernah merasa tenang lagi anakku, khawatir terulang kembali sama peristiwa masa silam diera rezim Soekarno. Anakku ketika itu belum lahir, jadi belum merasakan pahit getirnya apa yang dikatakan peperangan.” lanjut perempuan itu dengan nada terdengar serak pilu tertahan ditenggorokannya.
“Sekali lagi anakda harap, bunda tenang, tentu semuanya itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan segala-galanya. Badai kan pasti berlalu.” lagi Gita menenangkan bundanya.
Perempuan itu diam. Ia tak lagi lanjutkan bicaranya dengan Gita anaknya. Hp. mungilnya segera dinon aktifkan. Angin malam berhembus perlahan lewat kisi-kisi jendela kamarnya, begitu terasa sejuk di bulan September. Rintik hujanpun kini turun perlahan melantunkan nyanyian sunyi. Membelai pucuk-pucuk ranggas dahan plamboyant tumbuh dihalaman rumahnya, bergoyang lunglai.
Malam perlahan-lahan hendak menggapai larutnya. Perempuan itu masih duduk didepan TV-nya. Tengah asyik nonton film sinetron akhir pekan. Ketika Cinta
Bertasbih. Begitu judul film sinetron yang amat disukainya.
Walau tengah asyik nonton film sinetron, perempuan itu tak pernah hilang di-benaknya akan masalah Indonesia dan Malaysia yang tengah hangat diperbincangkan lewat media cetak dan elektronik. Kembali ia berpikir, kenapa mesti terjadi demikan, dan kapankah masalah ini usai? Begitu tanyanya dihati.
Bila benar-benar terjadi perang atau pemutusan hubungan diplomatik, maka otomatis Gita anaknya tak akan menginjakkakan kakinya lagi di bumi persada tanah air Indonesi tercinta ini. Tak lagi ia menyaksikan plamboyant yang sedang berbunga di halaman rumah. Bagai kipas angin raksasa membawa kesejukan membelai mengelus tubuhnya. Membuat ia sangat senang, dan betah bernaung berlama-lamaan dibawahnya kala musim kemarau tiba.
Dan sebaliknya, perempuan itupun tak lagi akan menyaksikan keindahan pulau Penang dengan panorama alamnya yang mempesonakan, Pantai Batu Feringhi dengan deburan ombaknya yang gemulai, Pulau Langkawi dengan pasir putihnya bak hamparan salju dimusim dingin, dan kesejukan puncak Genting Hayland di ketinggiannya, serta bentangan jembatan terpanjang yang menghubungkan pulau Penang dengan Semenanjung Malaysia dengan tehnologinya yang sangat canggih.
Kesemuanya itu, telah menjadi sebuah beban pikiran yang mengganjal tak pernah enyah dari benaknya. Terpisah jauh dengan Gita anaknya yang sangat ia sayangi. Kerinduan untuk bertemu dengan anaknya beserta kedua cucunya kini tiba-tiba membunca mengoyak relung hatinya. Kapankah kita dapat bertemu lagi anakku, betapa bunda merindukanmu? Begitu bisiknya dihati.
Tak putus-putusnya ia berdoa, semoga kesemuanya itu tidaklah menjadi se-
buah kenyataan pahit yang memilukan hati. Hanya pintanya, perempuan itu berharap agar rasa nasionalisme Gita Maya jangan begitu mudah enyah darinya, karena dia lahir dan dibesarkan dipersada tanah air Indonesia tercinta ini, kendati dia Gita anaknya telah bersuamikan dengan orang Malaysia tulen.
Begitu harapnya, kemudian perempuan itu bangkit dari duduknya lalu berlari masuk kedalam kamar tidurnya, karena malam perlahan hendak beranjak menuju titik larutnya. Menanti hari esok yang lebih cerah dari hari kemarin, aman dan tentram penuh kedamaian. Semogalah,.....................!.(*)


Makassar, 08 September 2010

Mingguan Inti Berita, 19 September 2010
Harian Radar Bulukumba, 31 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar