Selasa, 03 Mei 2011

109. AKHIR DARI SEBUAH PENANTIAN

Oleh : Hasbullah Said.-


ISYARAT pesan singkat (SMS) via ponselku, mengusik keseharianku datang dari seseorang yang masih sangat asing bagiku. Berulang kali kucoba menyibak kabut misteri yang menirainya. Menyingkap sosok yang bersembunyi dibalik untaian SMS-nya. Tetapi selalu gagal. Setiap kali kuhubungi untuk bicara langsung dengannya, tapi kalau ponselnya aktif dia me-nonaktifkannya. Dia lebih memilih menjadi pemuja rahasia. Seperti yang dikatakannya pada SMS perdananya membuatku penasaran.
“Telah banyak kubaca cerpenmu yang dimuat diberbagai media. Bagus sekali, bahkan mungkin tak berlebihan kalau aku katakan super bagus. Aku terpesona dengan gaya bahasamu bercerita. Aku memujamu. By Pipit Senja, si -pemuja rahasia.”
Begitu bunyi SMS perdananya yang dikirimkan kepadaku. Kontan saja aku segera membalasnya.
“Terima kasih banyak Pipit. Tapi, namamu itu sangat manis bagiku. Aku gemas. Boleh nggak aku tahu profesimu apa dan domosilimu dimana?” tanyaku serius ingin tahu.
“Namaku memang manis, semanis es krim. Pasti banyak orang me-nyukainya. Tapi sebaliknya, aku senang dimanja dan dirayu.” begitu jawabnya.
Diberanda rumah, sore hari seusai gerimis, tirai hujan tergerai tipis dari atas langit sana. Ketika SMS itu datang lagi, aku tengah membaca cerpen berjudul Kehilangan di koran Mingguan Inti Berita. Masih orang yang sama. Orang yang sangat misterius dan telah mengusik rasa penasaranku. Siapa dia? Seperti apa rupa wajahnya? Sungguh, sosoknya dalam tanda tanya itu telah menyita banyak lamunanku.
Tercenung aku sesaat. Lalu aku berpikir lama. Membathin. Aku penasaran berat dibuatnya. Siapa gerangan sang Pipit Senja itu? Kupikir itu hanya sekadar na -
ma comotan.
Sangat membingungkan bagiku, karena ia sembunyikan identitasnya dan tak mau bicara langsung denganku via ponselnya. Sangat misterius. Inginnya dia bicara hanya lewat SMS, kayak berkiriman surat saja layaknya, surat cinta,....................
Awalnya aku merasa kecewa, karena setiap aku coba menghubunginya via ponselnya namun selalu gagal, karena ia tak pernah mengangkatnya, terkesan ia sangat tertutup dan misterius. Namun akhirnya aku mengalah juga, setiap ia mengirim SMS padaku aku tetap membalasnya dengan setulus hatiku.
“Dimana kamu baca tulisanku? Dan sudah berapa banyak kamu baca?” tanyaku lagi.
“Di beberapa koran terbitan dimana-mana. Oow, sudah banyak.....buanyak sekali.........!” Sesaat aku berhenti membalasnya. Keesokan harinya baru aku balas SMS-nya.
“Hei,..... Pipit Senja, boleh nggak kau nampakkan dirimu agar aku puas memandangmu, akan kemolekan wajahmu, sayapmu, warna bulumu, kemilau tertimpa mentari senja kala dikau terbang diangkasa bebas tak bertepi dengan gerak lunglai. Kepak sayapmu yang begitu indah, bagai sang bidadari yang sedang menari-nari dibawah lengkungan pelangi indah warna-warni di kaki langit..”
Kuyakin pasti dia merasa senang akan kata-kataku, karena diawal SMS perdananya mengatakan ia senang dimanja dan dirayu. Kuayunkan langkahku berjalan perlahan diantara gemulai ombak melagu syahdu. Nyanyian sunyi. Bagai penyair yang dirundung rasa kebimbangan. Berjalan dan berjalan lagi, diatas pasir putih sekadar untuk menghilangkan rasa penasaranku kepada si Pipit Senja.
Angin pantai barat berhembus lembut, mengelus tubuhku yang jangkung menerawang jauh keangkasa tak bertepi. Matahari petang perlahan rebah ber-sembunyi dibalik pepohonan rimbun menuju gelapnya malam. Purnama malam di- ufuk Timur kini telah mulai mengintip diantara celah pepohanan rimbun seolah senyum manis menatapku.
Wahai rembulan malam, dan angin lalu,...............! tolong sampaikan salamku kepada si Pipit Senja, dan katakan padanya nampakkan wujudmu agar aku tidak ke-bimbangan dalam belenggu hayal yang menderaku. Begitu desisku perlahan seolah aku terbuai dialam mimpi indah dalam pelukan malam. Selanjutmya inilah per-cakapanku dengan Pipit Senja via SMS sebagai berikut :
Aku : Nikmati karya tulisku selanjutnya di media cetak karena kutahu ke-cintaanmu membaca itu sangat besar sama sepertinya engkau mencintaiku, memujaku sepanjang masa.
Pipit : Aku menjelajah diruang sukmamu, pujanggaku. Dimanapun me-dianya sayapku mampu membaca arahnya. Kecintaanku membaca karyamu membuat aku rela tertikam badik leluhurmu, hai pujanggaku.
Aku : Terima kasih tak terhingga atas pernyataan Pipitku sayang, aku tak dapat membalasnya dengan apapun bentuknya, kecuali aku berharap semoga cinta kita abadi untuk selama-lamanya.
Pipit : Marilah kita terbang bersama wahai, sang pujanggaku. Akan kubawa dikau menembus mimpi. Dalam rindu dendam yang tak bertepi. Namamu selalu kupuja wahai pujanggaku. Diash Asmara Dhara namamu begitu sangat indah selalu terlukis dalam benakku.
Aku : Ada rasa haru yang tersimpan rapat dalam telaga hatiku yang bening mendengar siulanmu yang melenakanku. Aku akan ikut bersamamu terbang jauh keangkasa mimpi yang tak bertepi. Berharap mimpi indah segera kuraih merajut tali kasih yang abadi.
Pipit : Musim semi belum berakhir pujanggaku. Masih banyak waktu untuk kita reguk nafas-nafas birahi nikmat di selangkanganku. Menanti mimpi indah itu terwujud, sama seperti yang kau harapkan. Bersabarlah hai, pujanggaku...............!
Aku : Tentu aku bersabar sayang, menanti dikau dipadang cinta dengan degup jantung yang berpacu kencang. Wahai Pipit Senja,........ ! kapan aku dapat dengar wujud siulanmu yang patent lagi merdu, sementara aku tak sabaran lagi menantimu ditengah padang asmara kehausan akan siraman air cinta darimu.
Pipit : Tunggu aku di Anjungan Pantai Losari, hai,........ pujanggaku. Nikmati aku diantara gairah gelombang cinta disana. Cumbu rayu aku dalam detak puncak asmara merindu. Biar aku terkulai layu lemas, dipintu kenikmatan tubuhmu................
Aku : Ada air mata haru mengambang dipelupuk mataku atas statemen Pipitku sayang, segera kubergegas berlari menuju Anjungan Pantai Losari untuk memenuhi janjimu, namun aku tak menemukanmu disana, diantara riak gairah gelombang asmara yang kau janjikan. Lama aku menunggumu. Terpaksa kupulang kerumah dengan membawa hati kecewa yang terluka parah,...........Luka itu kubawa berlari. Amat perih. Pedih sekali terasa melebamkan sekujur permukaan jantung hatiku. Namun kuberharap suatu ketika kita dapat bertemu.
Waktu begitu cepat berganti. Sudah seminggu berlalu, namun Pipit Senja tak lagi berkirim SMS padaku. Aku menunggu lama, dengan debar hati penuh tanda tanya.
Akhirnya, aku yang mendahului berkirim SMS kepadanya. Menanyakan tentang keadaannya. Namun ia tak lagi membalasnya. Ada apa denganmu wahai Sang Pipit Senja? Kenapa siulanmu yang begitu merdu tak lagi meriuhi keseharianku? Dimana kau kini berada? Begitu bathinku bertanya selalu.
Disuatu senja yang basah, disaat aku tengah duduk santai diteras rumahku menikmati panorama senja yang indah. Tiba-tiba terdengar dering ringtone dari balik
ponselku mengusik lamun sepiku.
“Halo Kak. Diash....! Aku Pipit.” katanya dengan nada sangat lembut dipen-dengaranku. Selembut hembusan angin senja bertiup perlahan dari balik perbukitan -
dibelakang rumah. Sontak aku kaget. Segera kujawab.
“Halo juga, dik Pipit, apa kabar?” balasku bertanya dengan nada riang, karena baru kali ini aku dengar suaranya begitu lembut dari balik ponselku.
“Sejak lama aku rindukan suaramu sayang, kenapa baru kali ini kau lantunkan suaramu yang begitu sangat merdu dipendengaranku?” lanjutku lagi bertanya.
Sesaat ia tak menyahuti ujarku. Dalam diam. Lama baru ia bicara denganku. Sepertinya ia menghela nafas perlahan resah.
“Kak Diash, aku kini tengah berbaring lemas diruang ICCU disebuah rumah sakit. Akibat penyakit kanker ganas yang menyerangku. Dokter yang menanganiku telah pasrah walau dengan segala daya upaya untuk menyembuhkanku. Penyakit kanker ganas payudara memang berhasil diangkat, namun penyakit lain timbul lebih parah lagi seuasi dioporasi............
Mimpi buruk selalu datang dalam tidurku yang gelisah. Kulihat almarhumah ibuku datang memanggilku untuk terbang jauh bersamanya disuatu tempat yang sangat indah. Tapi aku tolak. Aku katakan padanya, bahwa aku sedang menunggu kedatangan seseorang. Permohonan maafku padamu Kak Diash. Kini aku sedang dalam perjalanan jauh menuju batas usiaku.............. Hanya Tuhanlah menentukan segala-galanya. Doamu kutunggu selalu.” begitu balasnya dengan nada yang tersendat-sendat ditenggorokannya nyaris tak terdengar olehku.
Hatiku didalam hancur luluh mendengar ucapnya. Segera kuberanjak dari dudukku berlari menuju kebeberapa rumah sakit mencarinya. Tak satupun yang memberikan jawaban memuaskan padaku tentang keberadaannya. Mereka me-ngatakan tak ada pasien yang bernama Pipit Senja. Mungkin ada nama lain yang dia miliki yang tak sempat ia beberkan kepadaku. Begitu pikirku dihati.
Terpaksa aku pulang kerumah dengan membawa hati yang amat perih. Sesaat kemudian terdengar kembali ringtone dari balik ponselku. Suara perempuan paruh baya terdengar sayup-sayup lirih, mengatakan bahwa Pipit kini telah tiada....... Dia telah pergi mendahului kita semua untuk selama-lamanya........Inna Lillah........begitu teriakku keras meraung. Tanpa kusadari, membuat ponselku terlepas luruh dari genggamanku hancur berantakan diatas ubin keramik.
Setiap saat aku berdoa, Ya Allah,...........! perempuan yang selalu membaca tulisanku ini adalah seorang perempuan sholeha, baik hati lagi penyabar, dan aku sangat menyayanginya sebagai seorang kekasih yang setia walau hanya lewat Hp.nan semu kamuflase dipadang fatamorgana.
Tolong ampuni segala dosa-dosanya. Lapangkanlah dia didalam kuburnya. Berilah ketabahan hati kepada seluruh keluarganya yang ditinggalkan. Amin..............! Begitu doaku selalu setiap saat seusai shalat, dan kuakhiri dengan bacaan surah Al-Fatihah.(*)

( Kepada Sang Pipit Senja, keluarlah engkau dari peraduanmu, nampakkanlah wujudmu dan berilah kesempatan kepadaku, untuk dapat melihat kepak sayapmu yg -
begitu indah lunglai gemulai, dikala engkau terbang diangkasa tak bertepi walau ha-
nya sekejap saja )

Makassar, 22 November 2010

Harian Palopo Pos, 27 November 2010
Minguan Inti Berita, 28 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar