Selasa, 03 Mei 2011

114. HALTE CINTA, TEMPAT PERSINGGAHAN HATINYA



                                                      Oleh : Hasbullah Said.-





Langkahmu terayun perlahan. Berat, lunglai, seolah digayuti ribuan prahara. Kau beranjak pergi, meninggalkan kenangan yang terpahat di Anjungan Pantai Losari. Senyummu patah, mengisyaratkan hati yang tersandung sendu.
Dengan berbekal hati nan lara, geletar katamu melantunkan kata pamit. Getir, serupa hatiku memandangi punggungmu yang menjauh perlahan, pergi dengan membawa sepenggal hatiku.
Setelah itu, kau tak kan lagi mendengar lagu sunyi ombak gemulai melapazkan tembang rindu. Atau pekik camar yang berkisah tentang dua hati yang merindu dalam bayang-bayang dilema.
Kamu akan pergi. Pergi menuju medan laga nun jauh disana. Mendidik dan mencerdaskan kehidupan anak negerimu. Memenuhi panggilan moralmu sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Akh, bilakah kita bersua lagi? Masih adakah catatan hari yang tersisa tempat kita menulis kisah-kisah biru di hari esok,..................?
***
KETIKA gerimis senja meluruh bumi dibulan Pebruari, lagi-lagi wajah Yanty Khairani datang menyergap hayalku. Masih terbayang patahan senyumnya yang lembut pada tiap kali mata ini membuka. Haru, bila tiba ingatan ini pada masa laluku.
Masa bersamaku dengannya, dia Yanty Khairani mahasiswi UNM Gunung Sari Makassar kelahiran tanah Ugi campuran Sunda.
Dua tahun telah terlampaui sejak hari itu. Sebuah kurun waktu yang tak boleh dikatakan pendek. Masa-masa indah yang sarat haru, jiwa yang tak akan terlupakan olehku untuk selamanya.
Anganku pecah berhamburan jauh, lalu mengembara melintasi jejak-jejak masa lalu dengannya. Dan, seperti biasa, selalu saja perih menggores dadaku manakala tiba ingatan ini, pada butir-butir waktu yang pernah kuhimpun dengannya.
Terkadang tanpa terasa air mataku luruh bila mengenangnya. Pedih, perih. Mungkin aku ini lelaki cengeng, melangkolik sentimentil. Tapi siapa yang peduli? Ini adalah realita. Aku selalu memejam pedih setiap kali mengingatnya.
Awal kukenal Yanty Khairani, ketika aku dan dia dikenalkan oleh teman karibku bernama Helmi Syarif lewat Hp-nya di Bandung sana. Kemudian ia lanjut kuliah di Fakultas Kedektoran UGM Yogyakarta. Teman seprofesi sebagai penulis cerpen ketika ia masih berada di Makassar sini, sebelum ia pindah ke Bandung mengikuti kedua orang tuanya yang bekerja di sana sebagai pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang Ekspor-Inport.
Dia kenal perempuan itu hanya secara kebetulan lewat jejaring sosial facebooknya. Awalnya, hubungan mereka hanya sebatas pertemanan biasa saja yang lazim terjadi lewat jejaring facebook, akan tetapi lama kelamaan berubah menjadi teman khusus, teman tempat berlabuh hatinya.
Helmi sering curhat padaku kalau tidak melalui jejaring facebooknya dia menghubungiku lewat ponselnya. Bercerita banyak tentang perempuan itu. Ia meminta padaku untuk menemui Yanty di kampus UNM Makassar tempatnya kuliah.
Sesudahnya aku akan sampaikan padanya secara rinci tentang hasil per-temuanku dengan Yanty.
Lewat ponsel aku segera menghubungi Yanty meminta untuk bertemu dengannya di kampus UNM Makassar, sesuai permintaan Helmi. Awal pertemuanku de-ngannya disaat kuliahnya telah usai.
Sore itu, ia lebih awal tiba. Duduk menungguku di tempat parkir didepan gedung Rektorat UNM Makassar yang berlantai 17. Dari jauh kutangkap sosoknya yang ceriah. Melempar senyum padaku setelah ia yakin bahwa akulah yang ingin menemuinya sesuai permintaanku sehari sebelumnya.
“Oh, kak Diash, ya.” tegurnya sambil menyalamiku mengenalkan dirinya.
“Kenalkan, Yanty Khairani.”
“Diash Asmara Dhara.” balasku sambil aku duduk disampingnya diatas tembok taman dikerindangan pepohonan memayungi halaman depan gedung Rektorat. Curhat bercerita panjang lebar tentang hubungannya dengan Helmi Syarif. Walau sesungguhnya ia belum pernah sua, bertemu muka dengan Helmi.
Kendati pertemuanku yang baru pertama kalinya itu, namun ia menyimpan sosok peribadi yang sangat menyenangkan bagiku. Dengan kostum islami yang ia kenakan begitu anggun aku memandangnya.
Akhirnya pertemuan kami berlanjut terus hingga kesekian kalinya. Beberapa bulan sesudahnya. Pertemuan kami dalam nuansa akrab sebagai teman biasa, tiba-tiba menjelma menjadi teman sangat dekat setelah ia bercerita tentang hubungan cintanya dengan Helmi yang sempat terputus, tanpa suatu alasan yang kurang jelas membuat ia sangat terpukul dibuatnya. Diperkuat dengan pembicaraanku dengan Helmi mengatakan bahwa ia tak ada hubungannya lagi dengan Yanti. Kecuali hubungannya hanya sebatas sebagai teman biasa saja.
Belakangan baru Yanti sadar, bahwa ia terjebak dalam kamuflase kepalsuan cinta lewat jejaring facebooknya. Ia terlena dalam bujuk rayu Helmi yang aduhai. Maklum dia seorang cerpenis, yang mampu membius seorang cewek dengan untaian kata-kata manis manja hingga ia terhipnotis bertekuk lutut diluar ambang sadar.
Yanty bercerita disertai isakan tangis sesunggukan tersayat lara. Aku ber-simpati atas kehilangan Helmi kekasihnya. Rupanya aku seorang lelaki yang tak kuasa melihat seorang perempuan menangis sesunggukan dihadapanku. Aku terseret jauh oleh kepedihan hatinya yang rapuh.
Namun akhirnya, lama kelamaan rasa simpatiku itu diartikan lain yang me-nempatkan aku sebagai pengganti Helmi untuk mengisi kekosongan jiwanya. Cinta pelarian,........Hanya sebuah persinggahan. Bagai halte tempat hatinya berlabuh...........
Sebenarnya masih cukup dini untuk menghapus sosok Helmi dalam jiwanya. Aku berupaya menegarkan hatinya untuk tabah menerima prahara cintanya yang kandas. Dan ia masih teringat akan kataku dulu, diakhir pertemuanku dengannya di kampus UNM Makassar mengatakan bahwa aku bersedia menyiapkan bahuku untuk me-nyandarkan suka ataupun dukanya, sebagai seorang sahabat.
Kini ia telah menghapus kisah cintanya dengan Helmi. Mengeluarkan ia dalam lingkar harapnya. Membuang jauh-jauh kedasar laut biru.
Sesudah itu, ia semakin akrab denganku. Aku sepertinya bayang-bayangnya. Dimanapun aku berada disitu nyari ada dia. Kadang-kadang kami membunuh waktu di bentangan pasir putihnya Tanjung Bira. Atau dinginnya alam Malino. Ataukah berburu kupu-kupu cantik di permandian alam Bantimurung.
“Aku tak kehilangan lagi. Lubang yang menganga lebar dihatiku bekas luka telah sembuh.” katanya disuatu waktu ketika kami berada diantara hamparan lumut-lumut gunung Bantimurung.
“Apamu yang hilang?” tanyaku bercanda.
“Permataku yang hilang kini kutemukan kembali.” jawabnya tulus dengan wajah sumringah.
“Permata jamrud berwarna biru yang paling sangat kau sayangi itu?” lagi aku bercanda. Ia senyum menatapku sambil merebahkan tubuhnya diatas pangkuanku. Ia merasa sangat berbahagia disore itu. Aku memeluknya mesra. Mesra sekali sambil kubisikkan ketelinganya.
“Aku pengganti permatamu yang hilang itu.”
***
Beberapa bulan kemudian, terakhir ia menelponku lagi meminta pertemuan selanjutnya dilakukan di dermaga Anjungan Pantai Losari.
Lahir tanya dibenakku mengapa harus di Anjungan Pantai Losari, bukan di kampus UNM Makassar sama seperti dihari-hari kemarin? Namun tak kutemukan jawab. Mungkin dia takut ditengarai oleh teman kampusnya, karena acap kali melihat kami duduk berduaan disitu layaknya sepasang kekasih yang sedang bermesraan.
Dan sore itu, Yanty datang lebih awal. Ia duduk diatas dermaga sambil menoropong jauh ketengah laut menatap hingga menembus batas pandang. Mungkin ia sedang menikmati panorama pantai yang bagitu indah. Atau mungkin juga sedang melamunkan kisah cintanya yang kandas. Entalah,.... aku tak tahu. Tapi kehadirannya kali ini lain.
Dengan wajah lusuh terlihat sosoknya bagai sedang dirundung sendu. Aku mencari jawab apa gerangan yang tengah melandanya. Tak seperti pertemuanku dengannya dihari-hari sebelumnya.
Kini ia tak lagi bercerita tentang kekasihnya Helmi, yg sempat terputus beberapa waktu lalu. Ia berupaya keras untuk melupakan semua masa lalunya bersama Helmi. Kini ia lebih banyak bercerita tentang dunia pendidikan. Dunia yang tengah digelutinya sekarang. Pahlawan tanpa tanda jasa. Kini ia telah sukses menyelesaikan pendidikannya di UNM Makassar dengan meraih gelar sarjana pendidikan. Tak lama iapun melamar kerja dan berhasil terangkat menjadi CPNS dan ditempatkan disuatu desa jauh terpencil.
Ia pamit padaku tanpa lalai melantunkan rasa terima kasihnya padaku karena katanya aku telah berjasa menegarkan hatinya atas kehilangan Helmi kekasihnya.
Kak, relakan aku pergi......”
Lho, kamu mau kemana?” aku menatapnya gamang.
Pergi untuk menunaikan dharma baktiku sebagai tenaga pengajar.” sahutnya lirih, menyembunyikan gemerlap air matanya dalam tunduk.
Selamat jalan dik Yanty, selamat bertugas sampai jumpa lagi.” kataku sambil menyalaminya. Aku menelan ludah getir. Dia akan pergi........ Entah kapan bisa menemukannya lagi. Dan hari-hari panjang nan sunyi seakan menantiku di depan. Aku akan menyusurinya sendiri. Tanpa dirinya lagi. Oh, betapa beratnya.
Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku harus merelakannya pergi. Terbang sendiri mengarungi langit kehadapan. Untuk masa depannya. Untuk hari esoknya.
Aku hanya bisa berharap, kapan dan dimanapun dia berada, seseorang yang bernama aku Diash, akan tetap dalam kenangannya.
Aku pamit, kak. Aku pergi untuk waktu yang cukup lama. Terima kasih untuk semuanya. Kakak sangat baik hati. Karena kakak, aku bisa tegak berdiri. Bisa tersenyum kembali,.........” begitu ujarnya sambil mengayunkan langkah lesu beranjak meninggalkanku.
***
Dua tahun berjalan sesudahnya. Dan dua tahun pula sudah aku me-ngenangnya. Berdoa disetiap kesempatan untuknya. Meski aku tak lagi pernah berhubungan dengannya karena kehilangan jejak, tapi aku masih terus melakukan itu. Aku tak pernah bosan. Aku terus berusaha membaca keberadaannya lewat telepon celluler, meski lagi-lagi mendapatkan sebuah kekosongan.
Mungkin sinyal susah didapatkan disebuah pedesaan jauh terpencil tempat dimana ia bertugas sebagai tenaga guru. Atau mungkin juga faktor lain. Aku tak tahu. Aku kebingungan mencarinya membuat aku telah patah arang. Cinta yang baru kurajut bersamanya belum lewat semusim kini telah pupus hilang entah kemana?
Dimana kau kini berada,..........? Siluetmu pun seolah tertelan hutan belantara. Tahukah kamu betapa besar rasa kehilanganku akan kamu? Aku kehilangan perempuan yang berpayung luka. Meski bagimu mungkin aku hanya serupa kamuflase, tapi sungguh,..... kehadiranmu sangat berarti bagiku. Dan, meski berteman sepi dalam lara, aku akan tetap menunggumu. Disini, dihalte cintaku yang sarat getar rindu tersayat pilu. Cinta pelarian,.........(*)


Makassar, 25 April 2011

Harian Palopo Pos, 30 April 2011
Harian Radar Sulbar, 07 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar