Selasa, 03 Mei 2011

113. SEBUTIR CINTA TERSANDUNG DILEMA

Oleh : Hasbullah Said.-

Bilah-bilah hariku yang kulewati selalu berselimut rindu. Membayang lembut wajahnya dirundung sendu. Kilas pertemuanku dengannya yang berlanjut, bak tak pernah usai........... Ia ingin selalu bersamaku duduk cantik disampingku.
Mengabarkan padaku tentang prahara cinta yang melandanya dalam dekapan nuansa kalut mendera bathinnya.
Inikah cinta yang tak tergapai, karena di dera rasa rindu mendambakan sua yang tak kunjung terwujud? Entah kapan, ................
***
MASIH tentang gadis itu, Yanty Khairani. Dia memintaku lagi menemuinya. Ini untuk yang ke-tiga kalinya tanpa lalai melantunkan permohonan maafnya karena telah merepotkan dan menyita waktuku. Bedanya, kali ini dia berharap aku bertemu dengannya di Anjungan Pantai Losari saat sore memayungi kota Makassar. Itu di- lontarkannya padaku melalui poselnya.
Aku tak tahu apa yang akan dibicarakan lagi kepadaku. Aku menerka pem-bicaraannya itu masih berkisar tentang hubungan cintanya dengan Helmi Syarif, pacarnya di Bandung yang telah sempat terputus beberapa waktu lalu. Padahal kejadiaannya itu sudah cukup lama. Dan pertemuan itu kenapa mesti di Anjungan Pantai Losari.
Aku mencoba mencari jawab. Tapi tak kutemukan. Namun itu bukanlah suatu alasan untuk menolaknya. Mematikan harapnya. Aku sudah berjanji menyediakan bahuku tempat dia sandarkan dukanya, dulu, pada akhir suaku dengannya di kampus UNM Gunung Sari Makassar.
Sore itu, Yanty datang lebih awal. Dari jauh aku menangkap sosoknya menyendiri. Pandangannya meneropong jauh menembus batas laut. Mungkin sedang menikmati suasana pantai. Atau mungkin juga tengah melamunkan kisah cintanya. Entahlah.......... Segera kudekati dirinya.
Wajah Pantai Losari di malam minggu sangat semarak dan menarik. Pengunjungnya seolah tumpah datang dari berbagai arah. Berpasang-pasangan anak remaja tampak merapat mesra. Menepis jarak serupa menyatu. Pekik camar yang terlambat pulang ke sarangnya terdengar riuh.
Pengamen-pengamen dan gepeng bercerita tentang perolehan rezeki dimalam minggu jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Semua menyatu dalam irama Pantai Losari yang tak pernah sepi sepanjang malam.
“Maaf Yanty, aku sedikit terlambat.” sapaku setelah aku duduk disam-pingnya.
“Nggak apa-apa, santai aja deh.” sahutnya dengan nada sedikit riang sambil menatapku senyum, lalu ia memberiku ruang duduk disampingnya. Tak seperti pertemuanku terdahulu di kampus UNM. Dengan wajah lesuh ia tertunduk diam disampingku. Tak sepatah katapun terlontar dari mulutnya bagai terkunci rapat. Kalau bukan aku mendahului menyapanya. Sore ini kini jauh berbeda. Dengan wajah sumringah ia menatapku, sambil berujar.
“Maaf aku telah merepotkanmu lagi.”
“Ah, nggak apa-apa. Bagaimana Yanty, apakah kamu masih tetap kontak dengan Helmi?” tanyaku memulai bicara dengannya.
“Nggak lagi, sudah lama. Aku mohon agar kamu tak menyinggungnya lagi tentang Helmi. Kini telah kukeluarkan dia dalam lingkar harapku. Telah kukubur jauh dalam-dalam sedalam laut selat Makassar sini. Pintu hatiku telah kututup rapat-rapat untuknya.”
“Sekejam itu kamu padanya.”
“Siapa yang lebih kejam? Dia! Dia yang memberiku harapan cinta dan kerinduan kemudian melumatinya menjadi debu. Dia melukis pelangi indah dalam hidupku untuk kemudian mengirimkannya badai kepadaku. Dia yang telah me-maksaku menangis. Dia yang kejam..........”
“Oh,....... ya, aku sangka bahwa pertemuan kita akan berlanjut membicarakan tentang kehilanganmu dengannya. Maaf kalau begitu.”
“Nggak, disini banyak topik lain yang bisa kita perbincangkan sore ini, bukan hanya tentang asmara dan cinta melulu.”
“Oh ya, itu yang lebih baik, semisal remaja dan angan-angan.” kataku.
“Aku salut tentang remaja masa kini, remaja kreatif, remaja yang punya prinsif jauh kedepan sebagai pelanjut penerus cita-cita bangsa.”
“Asal jangan kita cerita tentang remaja yang prustrasi, karena gagal dalam bercinta.” kataku lagi bergurau menyindirnya.
Yanty diam, tak menyahuti gurauanku. Sekilas ia melempar pendanganya jauh ketengah laut biru. Dilihatnya sepasang burung camar syahdu keriangan terbang tinggi lalu menukik kebawah dengan lincahnya menjilat-jilat diatas permukaan laut.
Ada rasa cemburu lahir dihatinya melihat sepasang camar terbang beriringan bagai sepasang kekasih yang sangat mesra. Sementara gelombang laut begitu tenang menjemput malam. Setenang hati Yanty sore ini, penuh keceriaan.
Rupanya dia benar-benar telah ingin melupakan masa lalunya bersama Helmi. Ia sudah nekat menguburnya dalam-dalam sedalam laut selat Makassar sini.
“Sekali lagi, aku mohon jangan kamu ngomong begitu, sekiranya pem-bicaraan kita masih berkisar tentang dia, aku tak akan memanggilmu kesini, ditempat ini. Anjungan Pantai Losari yang eksotis indah dan menawan hati. Kini aku butuh ketenangan jiwa.”
“Maaf,.......maaf sekali lagi, Yanty.” ujarku dengan lantunan nada penyesalan.
Benar, kali ini rupanya ia tak menyinggungnya lagi tentang hubungannya dengan Helmi, ia lebih banyak bercerita tentang dunia pendidikan, dunia yang di-gelutinya sekarang sebagai seorang mahasiswa calon pendidik yaitu guru. Pahlawan tanpa jasa.
Ia bercita-cita ingin jadi seorang tenaga pengajar yang berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan, tanpa pamrih mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak dulu, dia sudah bercita-cita ingin jadi guru. Kini nasib guru tak lagi sama seperti dulu. Guru dipandang hanya sebelah mata saja. Menurutnya profesi guru adalah suatu perkerjaan yang sangat mulia, dibanding dengan pekerjaan lainnya.
Hari berganti. Berjalan terus tanpa henti. Tak terasa kini Yanty telah sukses menyelesaikan studynya di UNM dan meraih gelar Sarjana Pendidikan. Beberapa bulan kemudian dia melamar jadi guru dan berhasil terangkat sebagai Calon PNS dan ditempatkan di sebuah daerah pedalaman jauh terpencil.
Dengan sangat terpaksa ia menerima saja penempatannya, karena didaerah itu sangat membutuhkan tenaga guru. Angan-angan yang ia dambakan selama ini sudah jadi kenyataan. Meski dibalik kesuksesannya itu dia harus menyimpan nada-nada cintanya yang mengalun sumbang.
***
Pertemuan yang ke-empat kalinya. Masih ditempat ini, di Anjungan Pantai Losari. Pertemuan yang terakhir sebelum ia berangkat meninggalkan kota ini menuju tempat tugasnya yang baru. Pertemuan kali ini ia hanya meminta terima kasih yang sebesar-besarnya kepadaku, karena katanya aku telah banyak membantunya memberi semangat saran dan pendapat sehingga ia telah berhasil menemukan ketenangan jiwa serta ketegaran hati yang hampir rapuh. Kini hatinya telah tegar kembali dan kokoh. Setegar kuat batu karang ditengah laut sana, kendati gelombang tsunami yang maha dahsyat datang menerjangnya.
“Terima kasih,........!” ucapnya senyum sambil menyalamiku. Ada rasa iba dan haru lahir di hatiku melihatnya.
Kisah pertemuanku dengan Yanty dari awal hingga terakhir kalinya selalu kusampaikan kepada sahabatku Helmi di Bandung.
Kepada sahabatku Helmi,.......tolong lanjutkan kisah ini, dengan ending yang suprice dan bahagia. Aku tak dapat berbuat banyak. Tak dapat melanjutkannya lagi karena tak tahu akhir dari kisah ini. Kecuali, rasa iba dan kasihan selalu datang menyergapku bila aku mengenangnya.
Ada semacam gejolak rasa sayang padanya. Yaitu perasaan cinta...... Lebih tepatnya sebuah cinta pelarian. Seperti Oase ditengah gurun pasir. Aku hanya sebuah persinggahan. Sebab, masih cukup dini untuk menghapus sosok Helmi dalam hatinya.
Bukan aku berbuat khianat kepadamu sobat. Pasti dihatimu lahir rasa cemburu, mengatakan pagar makan tanaman, menggunting dalam lipatan membuat kamu marah besar kepadaku bila kamu mendengar kisahku ini. Permohonan maafku yang sedalam-dalamnya karena ini lahir spontanitas dari nuraniku yang tulus suci terhadapnya tak dapat aku cegah.
Walau sesungguhnya aku belum tahu pasti, apakah dia juga menyimpan suatu perasaan sama sepertiku. Yaitu perasaan Cinta Pelarian,......darinya. Tapi apa artinya kalau dia sudah menjauh dariku, jauh menghilang ketengah hutan belantara seolah ia buang diri menghindar dari prahara cinta yang gagal. Kendati kini ia telah menjadi Abdi Negara. Pahlawan tanpa tanda jasa.
***
Masih terasa sentuhan lembut tanganku mengusap kepalanya yang terbungkus rapi oleh jilbab warna kuning telur. Kutergarkan hatinya agar dia bersabar menerima cobaan ini.
“Sudahlah dik Yanty,...! Mungkin dia itu bukan milikmu lagi.Tuhan memang Maha Sutradara mengatur segalanya. Bisa melakukan segala macam cara yang di-kehendaki-Nya. Suka dan duka itu tak ada bedanya. Sama-sama anugerah Tuhan. Sama seperti takdir baik dan buruk wajib kita menyakininya.” begitu kataku dikala itu memperingatinya.
Ia mengangguk samar menerima harapku. Angin petang berhembus lembut dari balik gedung Rektorat UNM berlantai 17. Saat itu aku duduk bersamanya diatas sebuah bangku-bangku disamping gedung Rektorat. Tak putus-putusnya ia mengucap terima kasih padaku. Hanya satu harapan baginya, disuatu waktu ia bisa membuka lembaran baru dengan lelaki yang lain. Lelaki yang baik hati yang bisa me-nyayanginya setulus hati dan memberi bahagia yang tak bisa ia dapatkan dari Helmi.
***
Sesudahnya, keburu Yanty pamit padaku, karena ia akan menyiapkan segalanya, bahan bekal kepergiannya esok pagi ditempat tugasnya yang baru. Aku berharap suatu saat aku dapat bertemu kembali dengannya di tempat ini, di Anjungan Pantai Losari yang menyimpan kenangan manis bersamanya.
“Selamat jalan Yanty,........selamat bertugas, sampai jumpa lagi.” kataku sam-bil melambaikan tangan padanya.
Biar kusimpan cinta ini didasar hati yang terpencil. Cinta terpendam dilema. Membawanya melewati musim hingga waktu yang berkuasa memupus getarnya dalam sukma,...........lanjutku kali ini hanya dalam hati.
Kupandangi punggungnya yang menjauh perlahan dariku. Dialah perempuan berpayung luka. Yang kalah dalam cinta. Dan telah membawaku hanyut dalam pekat salah diri karena demi cinta yang tak kuasa kutampik.
Ah, semoga kisah ini mampu lebih mendewasakan kita semua.(*)


Makassar, 25 Maret 2011

Harian Palopo Pos, 02 April 2011
Harian Radar Sulbar, 16 April 2011
Mingguan Inti Berita, 17 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar